Minggu, 18 Oktober 2020

Sikap 'Bertahan' Di Tengah Peradaban, Sungguh Merugikan

 

Taktik sepakbola menyerang. (Ilustrasi: Bandit Football)

"Taktik terbaik untuk bertahan adalah menyerang."


Ditengah peradaban yang serba kompleks, sekedar "bertahan" untuk hidup hanyalah kerugian. Saya, tumbuh di tengah peradaban yang lebih banyak bertahan dibanding menyerang.

Sebagai orang Sunda, bertahan dari serbuan bangsa lain sudah menjadi bagian dari budaya. Berdasarkan sejarah yang saya baca, sikap orang Sunda ini malah menjadi prinsip yang dilihat sebagai kekuatan tetapi nyatanya adalah bentuk kelemahan.

Bertahan dari serbuan budaya lain, tepatnya dominasi peradaban bangsa lain, hanya bisa bertahan dalam jangka pendek. Juga, hanya berlaku pada manusia-manusia idealis yang jumlahnya sedikit. Lama-kelamaan kemampuan bertahan itu akan "bobol" juga.

Ketika pertahanan sudah rapuh, maka dengan mudah bangsa lain memporakporandakan bangunan budaya yang tercipta sejak lama. Lalu, kita hanya gigit jari dan merasakan penyesalan teramat dalam karena tidak menyerang balik sejak awal.

***

Saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa sikap bertahan ala orang Sunda malah membuat orang Sunda terasing dari akar budayanya sendiri. Semua aspek "kalah telak", sehingga menyerah begitu saja. Mulai dari ekonomi, politik hingga teknologi, orang Sunda hanya menjadi bangsa yang kalah. Hampir tidak ada lagi yang bisa dibanggakan.

Lucunya, kekalahan ini malah ditimpakan menjadi kesalahan orang lain. Menyalahkan orang Cina bahkan menyalahkan Tuhan. Sungguh keterlaluan!

Orang Sunda tidak berdaya untuk bangkit lagi dari kekalahan. Tertunduk lesu. Orang Sunda hanya bisa menjadi bangsa "setengah budak" dari bangsa lain yang berdatangan ke tanah Pajajaran. Kami, menjadi mayoritas yang terpinggirkan. Hanya bangga dengan kuantitas tetapi memalukan secara kualitas. ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar...