Kamis, 23 Juni 2016

Membangun Industri Kreatif dari Sekolah

Membangun indsutri kreatif perlu dimulai dari unit terkecil dari masyarakat. Diantaranya, sekolah sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia memiliki peranan sangat penting untuk keberlangungan industri kreatif di masa depan. Industri kreatif perlu dibangun dengan menumbuhkan kreatifitas para pekerjanya. Dan, kreatifitas itu perlu dipupuk sejak dini.

Darimana Kreatifitas Datang?
Darimanakah kreatifitas itu datang? Itulah pertanyaan yang pertama kali muncul dalam pikiran saya ketika akan menulis artikel ini. Saya mencoba untuk mencari-cari sumber jawaban dari pertanyaan tersebut. Di internet, di buku pun saya mengalami kesulitan untuk mendapatkan jawaban yang 'memuaskan'. Namun, ketika dipikir-pikir ternyata mencari jawaban yang tidak memuaskan adalah awal mula suatu kreatifitas. Ya, ketidakpuasan akan realita di sekitarnya!
Seperti ada desakan dari dalam, kreatifitas itu  muncul begitu saja. Pikiran kita akan membawa pada sesuatu yang 'baru' dalam hidup. Manusia seakan dipaksa untuk terus mengubah  diri dan sekitarnya untuk sekedar bertahan hidup. Sebagaimana kita tahu, peradaban yang mandeg dan tidak menginginkan perubahan hanya akan menjadi korban dari zaman itu sendiri. Itu pulalah panggilan bagi orang-orang kreatif untuk senantiasa mengekspresikan apa yang ada dalam pikirannya.
Ilmu pengetahuan tidak selalu bisa menjawab keresahan ummat manusia. Tetapi, disitulah kreatifitas bermunculan. Banyak ilmu-ilmu baru, penemuan baru dan karya-karya baru yang bisa mengubah wajah suatu negeri dalam waktu singkat. Saya mencoba menyimpulkan bahwa, kreatifitas tidak berdasarkan otak sadar kita. Kreatifitas lahir dari 'kelapangan jiwa kita untuk menerima bahwa dunia dan seisinya ada yang menciptakan'. Kreatifitas datang dari 'kerendahan hati' seorang manusia, karena kreatifitas datang dari 'sesuatu yang lain'.
Sikap 'ketidakpuasan' seperti disampaikan diatas, lahir dari pribadi-pribadi yang melihat dunia dengan cara mereka sendiri. Orang-orang seperti itu senantiasa resah ketika melihat ketidaksesuaian antara kenyataan dengan apa yang diinginkan. Frustasi, membuat pikiran menjadi tidak tentram. Mereka senantiasa terdorong untuk membuat suatu perubahan.
Orang-orang Barat, dengan corak budayanya, mengobati rasa ketidakpuasannya dengan mengadakan segala macam pencarian/discovery ke berbagai belahan penjuru dunia. Orang Barat menjadikan alam sebagai media untuk mengekspresikan diri. Dalam pikiran Barat, alam adalah sebagai sarana bagi manusia untuk mencapai kesejahteraan hidup, baik moril maupun materil.
Berbeda dengan orang Timur, sikap ketidakpuasan itu tidak banyak menampakan wujudnya di permukaan. Orang Timur senantiasa merasa puas dengan apa yang ada. Rasa frustasi, kalau pun ada, cukup terobati dengan 'mendekatkan diri pada sesuatu yang lain di luar dirinya'. Menikmati hidup ketika masih ada di dunia adalah suatu prinsip yang sering kita dengar.
Namun, tidak semua orang Timur berpikir demikian. Kita bisa melihat kreatifitas dalam budaya Cina dan Jepang. Berdasarkan apa yang saya baca, kedua negara dengan budaya yang hampir sama itu selalu mengandalkan suatu filsafat hidup yang membawa pada kemakmuran negerinya. Keseimbangan antara 'kemakmuran' jiwa dan raga menjadi motif bagi berkembangnya kehidupan di segala aspek. Filsafat hidup seperti apa yang dimaksud, anda bisa membukanya di berbagai media karena tidak cukup ruang untuk menerangkannya di sini.
Filsafat hidup yang memiliki hubungan dengan kreatifitas juga disampaikan oleh James T. McCay. Dia berpendapat bahwa manusia kreatif harus bisa melihat berbagai kemungkinan dari zaman dahulu hingga kemungkinan di abad 21. Ya, itulah orang kreatif. Mereka bisa melihat berbagai kemungkinan dimana jalan hidup tidak hanya terbentang  dalam satu jalur. Menciptakan filsafat yang dapat dilaksanakan di abad 21 ini maka itulah cikal-bakal bagi orang kuat.
Jika seseorang bisa melihat berbagai kemungkinan, maka jalan untuk suatu kreatifitas telah terbuka. Mereka bisa membuka "jalan baru" dan tidak melulu mengikuti jalan yang sudah ada. Mereka bisa menjadi diri sendiri dengan bimbingan 'sesuatu yang lain' dalam dirinya.  Sebagai orang Islam, saya selalu percaya sesuatu yang membimbing itu adalah Alloh SWT. Meskipun kreatifitas itu datang dari seorang atheis, Alloh sebenarnya memberinya rahmat pada mereka sebagai wujud kasih sayang pada setiap makhluk-Nya.
Reformasi Budaya menuju Budaya Industri
Membicarakan kreatifitas seorang manusia, maka membicarakan budaya dari manusia itu sendiri. Di atas telah disinggung bahwa persepsi budaya orang Timur memiliki banyak perbedaan dengan orang Barat. Apabila diantara kita ingin memiliki kreatifitas yang tinggi, maka mengubah budaya yang ada adalah suatu keharusan.
Budaya yang tidak mununjang kreatifitas harus di ubah dengan meletakan dasar yang tepat bagi perubahan itu. Sebagaimana yang sering disampaikan para ahli, budaya manusia pada dasarnya erat kaitannya dengan 'isi otak'-nya. Hanya saja perubahan seperti apa yang ingin dicapai, itulah yang akan kita bicarakan.
Budaya kreatif muncul diantara orang-orang yang memiliki tujuan hidup. Sikap gigih dan berdaya cipta erat kaitannya dengan pencarian tujuan hidup. Sikap mengambang dan meniru sepertinya tidak akan menimbulkan pribadi yang kreatif. Dalam budaya kita, sikap meniru ini seakan mendapatkan penghargaan yang lebih tinggi dibandingkan orang yang berani tampil beda. Orang-orang takut untuk berbeda dengan yang lain, maka biarlah seseorang memiliki tujuan hidup yang 'khas' dalam dirinya_maka dia akan mengaktualisasikan dirinya dengan optimal.
Apakah masyarakat kita memiliki tujuan hidup? Tentu saja punya. Hanya saja apa yang dituju terlalu sama dengan yang lain. Seragam. Keseragaman ini tidak bisa merangsang seseorang untuk menelorkan ide dan mewujudkannya dalam kenyataan. Tujuan hidup yang 'hampir sama' dengan yang lain membuat masyarakat enggan menampilkan kemampuannya di depan umum. "Buat apa kita berbeda dengan yang lain? Apa untungnya?". Ya, tidak ada untungnya kita berbeda. Itulah alasan kenapa orang enggan tampil beda.
Saya masih curiga pada kesalahan kita memahami agama. Orang  atheis selalu menyalahkan agama karena menumpulkan kreatifitas. Orang beragama terlalu bergantung pada  'sesuatu yang lain' dalam hidupnya. Padahal, dalam Islam kreatifitas adalah wujud bakti kita pada Alloh SWT yang dinilai dengan pahala yang besar.  
Kita sering melihat agama sebagai doktrin semata. Agama belum bisa menjadi dinamisator bagi kebangkitan hidup manusia.  Dalam budaya kita, agama hanya dijadikan obat mujarrab bagi keresahan jiwa manusia dikala menghadapi dunia yang 'ruwet'. Agama tidak dijadikan pemantik bagi kemajuan seseorang atau masyarakat pada umumnya. Bahkan, yang menyedihkan agama tidak dijadikan dasar bagi berkembangnya industri dimasyarakat.
Hah, agama masuk dalam dunia industri? Itulah yang senantiasa ingin saya tekankan. Apabila kita membahas industri kreatif, pada dasarnya kita sedang mebicarakan bagaimana kita menjadikan agama sebagai 'modal dasar' bagi perkembangannya. Budaya yag menjauhkan agama hanya akan 'kebingungan' mencari inspirasi. Sebagaimana disampaikan di atas, kreatifitas itu datangnya dari 'sesuatu yang lain' di luar manusia. Apakah orang menyebutnya inspirasi, ilham, instuisi atau kecerdasan tak terbatas –apa pun itu- maka  sesungguhnya manusia membutuhkan 'pembantu' yang bisa menemukan jawaban atas keresahan yang dirasakannya.
Sepertinya semua sepakat bahwa perubahan budaya dari tradisional-bertani menjadi budaya yang mengutamakan inudustri sebagai roda penggerak, memerlukan instrumen penting yakni pendidikan. Baik pendidikan formal atau pendidikan non-formal, semuanya harus memiliki prinsip yang bisa mengajak semua orang untuk menjadi 'pemikir' bukan sekedar 'pengumpul informasi'.
Mengoptimalkan potensi otak dan indera dalam diri seseorang adalah cara yang mesti ditempuh dalam proses pendidikan tersebut. Sebagaimana kita ketahui, kreatifitas ada dalam otak manusia maka mengoptimalkannya menjadi modal dasar untuk membentuk budaya baru dalam masyarakat. Apabila proses pengajaran melulu memberikan ilmu yang dianggap 'penting' tetapi tidak mengajak untuk berpikir, maka jangan terlalu berharap akan datang generasi kreatif di masa depan.
Otak manusia mampu mencermati lingkungannya dan memberika respon sesuai dengan kemampuan. Dengan begitu, seorang manusia bisa memilah dan memilih budaya mana yang harus dipertahankan dan mana yang harus diubah. Dengan bantuan instuisi yang dimilikinya, jiwanya akan menuntun pada suatu jalan menuju perubahan yang diinginkannya. Seriing berjalannya waktu, keresahan yang dirasakannya akan berubah menjadi ketentraman dan kepuasan hati.
Mengubah budaya tidaklah harus melulu dalam konteks nasional bahkan global _walaupun itu sangat diperlukan_ tetapi dapat dimulai dari konteks lokal. Memperhatikan lingkungan tempat tinggal kemudian memberikan 'sedikit' sentuhan kemajuan maka begitulah cara manusia belajar. Kreatifitas akan muncul dengan sendirinya karena adanya kesadaran akan kekurangan dalam budaya yang dimilikinya. Membangun kesadaran ini butuh proses dimana seseorang harus 'didekatkan' dengan realita yang sebenarnya.
Saya miris ketika pendidikan kita terlalu menjauhkan diri dari realita. Sekolah seakan menjadi tempat bersembunyi dari realita kemudian mengkhayalkan kondisi yang ideal tetapi tidak ada usaha untuk menuju ke arah sana. Saya percaya bahwa orang-orang kreatif lahir dari 'keterpurukan realita' dimana kondisi ideal yang berlum tercapai. Justru, untuk menuju kondisi ideal itu manusia akan berpikir bagaimana menempuhnya. Orang-orang kreatif memang seakan seperti pengkhayal, tetapi mereka juga berusaha untuk mewujudkan khayalannya.
Di negara maju sekali pun, orang-orang kreatif itu lahir dalam skala kecil. Hanya saja, karena banyak orang kreatif maka seakan kemajuan itu datang dari suatu negara. Kita tengok Amerika, di desa ada petani yang kreatif hingga bisa membangun pertanian yang maju. Di kota, ada pusat bisnis dan pusat hiburan yang menghasilkan jutaan dollar. Itu semua tidak terjadi dalam sekejap. Pepatah mengatakan bahwa Roma tidak dibangun dalam satu malam! Semua dimulai dari hal sederhana.
Setelah kita bicara banyak mengenai kreatifitas, mari kita renungkan kembali " apa tujuan pendidikan kita" yang selama ini diagung-agungkan. Pendidikan di negeri ini seakan sesuatu yang sakral bahkan menganggap suatu kehormatan apabila berprofesi menjadi seorang pendidik. Hanya saja, tujuan pendidikan kita menjadi sangat kabur bahkan tidak memiliki arah yang pasti.
Ketidakpastian tujuan ini bisa jadi berakar dari budaya kita yang 'mengambang' dalam menjalani kehidupan. Perjalanan hidup di dunia ini tanpa rencana jangka panjang karena menganggap hidup di dunia hanya sementara. Filsafat ini begitu mengakar dalam pikiran kita, sehingga agak sulit untuk mengajak para pemangku kepentingan untuk menetapkan secara jelas apa yang ingin dituju ketika mengajarkan ilmu pengetahuan pada peserta didik.
Tujuan pendidikan sepertinya tidak ditujukan untuk membangun peradaban dalam memenuhi kesejahteraan ummat manusia. Apalagi di pedesaan, dimana kemajuan zaman belum begitu terasa. Tidak heran jika para pendidik tidak mengarahkan ilmu pengetahuan untuk kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Ilmu pengetahuan seakan menjadi suatu cara untuk sekedar 'meningkatkan derajat manusia di mata Tuhannya'. Ilmu belum menjadi suatu sarana praktis dalam rangka menata lingkungan terdekatnya.
Saya sering mendengar bahwa tujuan kita berpendidikan hanya untuk meningkatkan 'strata' seseorang dalam masyarakat.  Alhasil, keadaan itu menjadi jenuh dimana pendidikan formal seakan menjadi tidak berguna karena perubahan persepsi masyarakat tentang pendidikan. Sudah menjadi hal yang lumrah, masyarakat di desa hanya melihat pendidikan sebagai bentuk 'ikut-ikutan' belaka. Tida heran, apabila peserta didik belum bisa memaknai ilmu pengetahuan yang dimiliki. Masih jauh apabila mereka bisa menerapkan ilmu pengetahuan dalam kesehariannya.
Dalam budaya kita, alam hanyalah sebagai sarana untuk tempat tinggal. Kita belum memiliki kesadaran akan pentingnya memanfaatkan alam untuk kesejahteraan. Nah, saya pikir untuk itulah tujuan pendidikan. Dalam sekala lokal kita harus punya niat untuk memanfaatkan alam sekitar untuk kepentingan kita. Dalam skala nasional, Insya Alloh akan terbentuk budaya industri sebagaimana masyarakat Barat atau masyarakat  Asia Timur. Ketika itu terjadi, maka kita bisa menghadapi tantangan global.
Lahirnya Insan Kreatif
Sudah menjadi hal lumrah, saat ini kecenderungan ekonomi global mengarah pada ekonomi berbasis teknologi informasi. Dimana-mana terjadi komputerisasi. Baru tadi pagi saya menonton peluncuran Satelit Brisat milik Bank Rakyat Indonesia. Itu menandakan bahwa negeri ini sedang mengikuti kecenderungan dunia untuk menggunakan teknologi tinggi dalam membangun sosial, ekonomi bahkan politik.
Di era IT ini, sangat dibutuhkan orang-orang yang orisinil. Mereka sangat dihargai ide dan kreatifitasnya. Bahkan, orang seperti ini memiliki strata tersendiri dalam dunia bisnis. Mereka bukan pekerja kelas dua yang bisa disuruh-suruh begitu saja oleh si boss. Pekerja kreatif ini 'menjual' hasil pemikiran kreatif ke perusahaan-perusahaan bahkan pemerintah. Meskipun secara struktural mereka adalah bagian dari organisasi perusahaan/pemerintah tetapi sebenarnya mereka adalah orang-orang independen. Jiwanya tidak mudah dikendalikan, justru orang seperti ini butuh kebebasan dari tekanan dalam menjalankan pekerjaannya.
Mereka ini adalah orang-orang yang berada dalam strata pekerja kreatif diantaranya bekerja di bidang:  periklanan, arsitektur, pasar barang seni dan kerajinan, desain, fesyen, video/film/fotografi, permainan interaktif, musik, seni pertunjukan, penerbitan/percetakan, layanan komputer dan piranti, TV dan radio, penelitian dan pengembangan (R&D), kuliner.
Dalam industri kreatif _yang sedang kita bicarakan_ mereka tidak muncul begitu saja. Pekerja 'kelas khusus' ini muncul dari sistem pendidikan yang menunjang mereka untuk berpikir kreatif.  Mereka lahir dari situasi belajar yang merangsang untuk terus melakukan inovasi. Mereka tidak lahir dari cara belajar yang monoton dan mematikan kreatifitas. Mereka dibentuk oleh filosofi pendidikan yang sangat memperhatikan personalitas dan potensi individu.
Tentu saja, filosofi itu belum terlaksanakan dalam praktek pendidikan_setidaknya sebagian besar_negeri ini. Banyak ahli pendidikan yang mengatakan bahwa  gaya belajar masyarakat kita yang selalu 'disuapi' sudah harus diubah demi keberlangsungan negeri ini. Ya, negeri ini membutuhkan orang-orang unggul dimana mereka memiliki daya saing tinggi, inovatif, kreatif dan siap menghadapi tantangan lokal, regional maupun global.  Apabila cara belajar kita masih monotan maka jangan terlalu berharap akan muncul pekerja kreatif yang dibutuhkan di abad ini.
Pernah mendengar filsafat konstruktifisme dan humanisme dalam pendidikan? Walaupun sebenarnya saya tidak percaya filsafat, tetapi bolehlah ini menjadi rujukan bagi berkembangnya pendidikan bagi orang kreatif. Filosofi ini berkembang di negara-negara Barat dan kita sulit untuk memungkiri bahwa konsep pendidikan mereka melahirkan begitu banyak orang kreatif.
Secara garis besar kedua filsafat ini sangat mengedepankan potensi setiap manusia. Peserta dianggap sebagai individu yang unik dan tidak sama. Filsafat ini menentang penyeragaman kemampuan yang selama ini berlaku di sekolah-sekolah.
Dalam konstruktifisme, peserta didik diarahkan untuk memiliki kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri. Dan, itulah yang diinginkan dunia industri kreatif. Intelektual pekerja yang menjadi modal, sudah dipupuk sejak dini. Para pemikir ini menjadi motor bagi berhasil atau tidaknya usaha yang dijalankan. Di sekolah, menjadi sarana untuk belajar bagaimana 'memikirkan' dunia ini dan tidak hanya memikirkan hidupnya sendiri.
Berangkat dari kedua filsafat di atas, maka gaya belajar pun disesuaikan agar tujuan belajar dapat tercapai. Pendekatan belajar terarah pada bagaimana seseorang punya semangat berpikir di masa depan. Industri kreatif adalah industri 'para pemikir' maka harus ada rangsangan supaya seseorang gemar berpikir. Kegiatan berpikir sudah menjadi bagian dari hidupnya.
Dalam konteks pedesaan, sudah selayaknya ada gaya belajar sendiri yang sesuai dengan karakter orang desa. Orang desa bisa menjadikan alam sebagai sumber belajar. Karifan lokal menjadi bahan bagi berkembangnya pola pikir seseorang. Siapa tahu, orang desa bisa menjadi insan-insan kreatif yang siap mengisi perkembangan industri kreatif nasional.

Sumber:
Ahmad Mustafid, Hidup dengan Perilaku Islam, h. 25.
Ayi Olim, Teori Antropologi Pendidikan dalam Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, h. 263.
James T. McCay, Manajemen Waktu, h.10;190
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, h. 258.
Soerjono Soekanto, Sosiologi, h.245


Sabtu, 18 Juni 2016

Mengolah Informasi dan Menyebarkannya

"Setiap permasalahan tidak akan persis sama, begitupun cara penyelesaiannya. Maka biarkan setiap generasi belajar untuk menyelesaikan permasalahnya sendiri."

Mengolah Informasi
Kegiatan mengolah informasi merupakan suatu tugas yang 'tidak mudah', apalagi di tengah kekalutan global seperti sekarang ini. Begitu banyak informasi berseliweran di jagat dunia maya dimana kita tidak tahu mana yang relevan dengan situasi yang sedang kita hadapi. Mengolah informasi menjadi pekerjaan 'maha penting' apabila banyak informasi sampah yang dianggap 'penting' bagi sebagian orang tetapi dianggap tidak penting bagi yang lainnya.
Mengolah informasi juga begitu krusial ketika ada banyak pihak yang mencoba untuk menguasai informasi. Celakanya, tidak hanya informasi yang sifatnya 'kabar berita' semata tetapi informasi penting mengenai sains dan teknologi yang secara jelas bisa mengubah tatanan kehidupan ummat manusia. Informasi yang dikuasai oleh segelintir orang itu akan 'mengubah' arah hidup banyak orang. Maka dari itu, perlu orang yang punya keluasan pengetahuan untuk bertindak memilah-milah informasi yang relevan dan tidak.
Saya pribadi mengalami sendiri bagaimana kesalahan besar bisa diperbuat apabila tidak ada pengolahan informasi. Ketika sekolah dulu, saya menganggap bahwa apa yang tertulis di buku pelajaran adalah benar adanya. Bahkan saya percaya begitu saja. Bahkan, apa yang disampaikan oleh guru di ruang kelas seakan adalah suatu kebenaran yang mutlak. Saya membabi buta dalam menerima pengetahuan, walaupun tidak tahu entah darimana sumbernya. Pada akhirnya, sekarang saya mulai menemukan bahwa apa yang dibaca dan didengar tidaklah seluruhnya benar. Banyak diantaranya adalah kebohongan yang terstruktur untuk mengelabui anak muda. Entah apa tujuan dari semua itu.
Contohnya, teori kontroversial dari Charles Darwin yang mengatakan bahwa makhluk hidup mengalami evolusi hingga mengalami perubahan bentuk. Di kemudian hari, saya menemukan bahwa makhluk hidup diciptakan apa adanya seperti yang kita temui sekarang. Mereka tidak mengalami perubahan morfologi. Yang ada, makhluk hidup mengalami kepunahan dan pada akhirnya yang berhasil bertahan hiduplah yang kita temui sekarang.
Kegiatan mengolah informasi harus dilakukan oleh orang yang benar-benar paham akan arti penting sebuah informasi. Apabila informasi itu dianggap tidak relevan bahkan merusak maka sudah sepantasnya dimusnahkan. Informasi itu dikumpulkan dan direka ulang. Selayaknya ini menjadi tugas para ilmuwan dan kaum cendekiawan. Hanya saja, kesibukan kaum cendekia hanya tertuju pada kegiatan administratif dan rutin yang menjemukan. Kreatifitas mereka untuk memilah informasi dan merekontruksinya menjadi sangat tumpul.
Sangat disayangkan, kaum cendikia di lingkungan kita menjadi semacam 'pembawa kabar berita' semata bukan menjadi 'mesin pemilah informasi' yang handal. Tugas mereka, hanya menyampaikan kembali apa yang sudah diterimanya di perguruan tinggi atau media yang dibacanya. Mereka belum menjadi seorang editor yang bisa 'menentukan' mana informasi yang harus disampaikan kembali dan mana yang tidak boleh.
Kesadaran akan 'pemilahan informasi' ini perlu terus digaungkan. Jangan sampai para ilmuwan, guru, dosen, ulama dan staf humas di berbagai instansi fungsinya tidak jauh berbeda dengan pengeras suara yang menyampaikan informasi secara 'terlalu apa adanya'. Secara mental, para informan ini mesti memiliki common sense yang bisa memilah dengan bantuan Alloh SWT. Ya, apabila kita hanya mengandalkan logika dalam setiap usaha pemilahan ini maka akan terjadi begitu banyak perdebatan. Setiap individu akan memiliki cara pandang yang berbeda terhadap suatu problematika.
Pemahaman seseorang terhadap suatu informasi berbeda-beda, untuk itu harus ada suatu lembaga yang terdiri dari orang-orang yang memiliki pengetahuan luas. Di dalamnya, didiskusikan mana yang bisa akan menjadi suatu pengetahuan dan disebarkan ke khalayak. Orang-orang ini datang dari berbagai kalangan dan latar belakang profesi. Mereka tidak dibatasi oleh usia dan strata pendidikan formalnya. Mereka tidak boleh bekerja di bawah tekanan. Sekumpulan orang ini bisa saja ada sekolah, lembaga pemerintahan atau perusahaan. Mereka bisa saja ditempatkan di perpustakaan atau Pusati Informasi Terpadu dengan situasi kerja terpisah dengan bagian lain. Mereka bukan tipe orang yang mudah terpengaruh oleh lingkungan, mereka independen. Justru, mereka adalah orang –orang yang punya visi untuk mengendalikan situasi.
Hasil dari proses pemilahan itu, dijadikan rujukan bagi pembangunan peradaban dimana pun. Para 'pengolah informasi' ini menjadi orang-orang di belakang layar dengan kedudukan sangat prestisius. Mereka orang-orang pilihan yang dekat dengan pemerintah, pengusaha, investor bahkan rakyat kebanyakan. Mereka bukanlah orang-orang yang menjauh dari kehidupan nyata masyarakat tetapi justru menyelaminya seakan menyatu dengan masayarakat. Baik dan buruknya kehidupan masyarakat berada di pundak mereka.

….

Memilah Informasi
Informasi datang begitu saja entah darimana sumbernya. Di era digital seperti saat ini sangat diperlukan upaya pemilahan informasi dengan seksama. Jika tidak ada proses pemilahan itu, maka dikhawatirkan akan terjadi kebingungan di tengah masyarakat. Lebih parah lagi, jika setiap orang merasa 'paling benar' karena menerima informasi dari sumber 'yang dapat dipercaya'.
Setiap informasi yang kita terima dapat dipastikan memiliki  maksud tertentu untuk apa disampaikan ke khlayak. Maka dari itu, hal yang bijaksana jika tetap berhati-hati untuk tidak menerima begitu saja setiap informasi yang diterima. Darimana saja. Jangankan dari internet dengan banyaknya informasi yang tidak 'tersensor', dari buku yang ditulis oleh 'pakar' sekalipun kita mesti mempertanyakan kebenaran informasi itu.
Dalam hal upaya kita membangun masyarakat, ada nilai-nilai yang terkandung dalam informasi. Berkenaan dengan ilmu pembangunan, sudah menjadi kewajaran apabila didasari oleh ideologi-ideologi tertentu. Apabila informasi itu datang dari negara dengan ideologi sosialisme sudah dapat diterka  itu menjadi suatu upaya propaganda. Begitu pun dengan ideologi Kapitalisme, maksud informasi itu disampaikan dan disebarkan tidak akan lepas  dari kepentingan penganutnya. 
Sebagai warga desa, terkadang kita tidak paham mana yang menjadi corak suatu ideologi. Apa yang kita anggap ilmu pengetahuan maka itulah yang diterima. Sebaiknya tidaklah begitu. Perlu ada proses 'penyesuaian' dengan nilai-nilai yang telah dianut oleh masyarakat perdesaan sejak lama. Mungkin banyak orang tua kita yang 'menyuruh' menimba ilmu ke berbagai pusat perdaban tetapi tidak memperhatikan latar belakang dari lahirnya ilmu itu. Tidaklah mengherankan apabila generasi penerusnya sok tahu mengenai bagaimana 'mengurus masyarakat'. Namun, mereka mengalami banyak kegagalan.
Kebanggaan orang tua kita akan ilmu dari kota justru bisa menjadi boomerang bagi kehidupan desa itu sendiri.  Hal yang tidak mengherankan apabila banyak desa yang tergerus oleh derap langkah pembangunan orang kota. Kepercayaan berlebihan pada orang kota membuat orang desa seakan tertipu. Padahal, itu hanyalah sifat kurang hati-hati. Karena, realitanya kita tidak bisa menutup diri akan perubahan yang terjadi. Hanya saja, kita perlu filter untuk mempertegas dan memperjelas _mana yang boleh dan mana yang tidak boleh.
Informasi yang dipilah dan disajikan tidak hanya ditujukan untuk menunjukan mana kebenaran tetapi juga sebagai cara kita untuk memberikan motifasi. Pembangunan di suatu daerah, bagaimanapun perlu pribadi-pribadi yang termotifasi untuk membangun. Informasi bisa ditujukan sebagai usaha untuk mendidik masyarakat. Agen-agen pembangunan tidaklah lahir begitu saja tetapi perlu adanya upaya penyadaran untuk itu.
Memilah informasi yang memotifasi memang tidaklah mudah. Mesti ada suatu pola tertentu yang bisa menerka mana yang bisa menjadi motifasi dan mana yang justru menciutkan nyali. Apalagi di pedesaan, informasi yang disampaikan tidaklah bisa serampangan. Dimana, karakter warga desa yang bisa mudah mengacuhkan informasi. Berbeda dengan warga kota, dimana masih banyak informasi dianggap angin lalu saja.  Dalam usaha kita membangun desa, informasi ditujukan untuk memperjelas arah pembangunan itu sendiri. Ketika informasi itu menciutkan nyali, jangan terlalu berharap arah pembangunan akan sesuai dengan rencana yang telah disusun.
Pola informasi yang bisa memotifasi adalah informasi yang 'mengubah budaya'. Apabila di suatu daerah memiliki budaya yang tidak mendukung usaha pembangunan maka informasi yang dapat mengubahnya layak untuk dipilah dan disebarkan. Hal yang sudah lumrah, apabila pola komunikasi yang dirancang memang ditujukan untuk mengubah budaya suatu masyarakat. Hanya saja, dalam rangka membangun masyarakat maka informasi yang dianggap bisa membawa pada kemajuan itulah yang layak untuk disampaikan.
Di atas telah disampaikan bahwa menjadi peran ilmuwan, para pendidik dan pustakawan untuk bisa menentukan arah perubahan budaya yang dimaksud. Misalnya, dalam budaya Timur masih ada anggapan bahwa bekerja ada suatu 'keterpaksaan'. Untuk itu, perlu adanya pengumpulan informasi yang bisa menentang pemikiran demikian. Coba kita kumpulkan bagaimana suatu budaya yang menganggap bekerja adalah bagian dari gaya hidup maka merekalah yang bisa membangun bangsanya.
Ketika pemilahan itu masih berjalan, maka  masyarakat terus mengalami perubahan. Perubahan-perubahan dalam masyarakat harus 'dikawal' oleh para pengolah informasi. Mereka bertugas untuk menentukan mana perubahan yang semestinya terjadi dan mana yang tidak semestinya terjadi. Mereka laksana pengingat bagi agen pembangunan yang lain bahwa perubahan yang baik adalah perubahan yang membawa pada kemajuan, bukan sebaliknya.

Perlu ada pencirian dan penilaian kembali kebutuhan-kebutuhan informasi di dalam strategi pembangunan menyeluruh.  ….

Menyebarkan Informasi
Ketika informasi disebarkan ke khalayak, ada kemungkinan akan diterima atau mungkin ditolak. Kemungkinan untuk ditolak karena tidak sesuai dengan etika dan nilai yang dianut masyarakat. Agar informasi dapat diterima, maka harus ada maksud dan tujuan yang selaras dengan audien. Informasi yang disampaikan dengan serampangan hanya akan menghasilkan rasa frustasi. Harapan yang tidak sesuai dengan kenyataan membuat masyarakat bisa tidak percaya pada informasi, meskipun itu merupakan informasi penting.
Sebagai contoh, pada ulama begitu sering menyampaikan informasi keagamaan. Namun, begitu sering juga ummat menolaknya begitu saja. Kenapa? Mungkin cara ulama tersebut menyampaikan informasi tidak sesuai dengan 'kebutuhan' masyarakat. Di abad 21 ini, ummat tidak hanya membutuhkan pengetahuan mengenai kehidupan di akhirat kelak tetapi sangat membutuhkan bagaimana seharusnya membangun kehidupan di dunia. Ketidakpercayaan sebagian masyarakat pada agama bukan karena mereka tidak percaya akan adanya Sang Maha Pencipta. Tetapi, ummat masih mempertanyakan _apakah agama bisa menjadi solusi atas permasalahan hidup yang sedang dihadapinya?
Jika komunikasi sesuai dengan harapan dan aspirasi, etika dan nilai, serta maksud dan tujuan penerimanya, maka ia berpengaruh. Informasi yang disesuaikan dengan 'kebutuhan' masyarakat justru menjadi pendorong kemajuan. Saya selalu mencari cara bagaimana mendorong kemajuan masyarakat pedesaan, dan ternyata salah satunya dengan memberikan informasi yang tepat. Mempengaruhi masyarakat dengan informasi harus berdiri di atas prinsip bahwa manusia  mempunyai kemampuan untuk mencari sendiri informasi yang sesuai dengan kebutuhannya. Bagi pribadi yang 'haus informasi', tidaklah perlu mereka disuapi justru mereka akan mencari sendiri.
Ada satu sisi yang menari dari pola penyebaran informasi di tengah-tengah masyarakat. Informasi yang disampaikan akan sangat bermakna apabila adanya keterlibatan dalam proses alih informasi. Suatu informasi yang berguna bahkan akan disebarkan lagi ke orang lain. Menyebar secara spontan. Masyarakat merasa bahwa informasi yang diterima begitu penting dan harus disebarkan kembali. Informasi-informasi ini menjadi 'bekal' bagi usaha kita membangun kehidupan warga.
Masyarakat bisa menatap masa depan dengan diterimanya informasi dari para informan. Gambaran masa depan yang utuh ini bisa terbentuk apabila disertai bagaimana cara untuk mencapainya. Gambaran masa depan tidak hanya sekedar khayalan tetapi sebagai visi menatap masa depan. Tidaklah heran apabila informasi dianggap tidak penting apabila belum bisa memberikan gambaran masa depan seseorang. Walaupun informasi tidak melulu mengenai sesuatu yang belum terjadi, tetapi warga di pedesaan memiliki harapan yang sulit tercapai. Nah, harapan-harapan itulah yang mesti dipelihara.
Komunikasi menuntut penerimanya  untuk terlibat, untuk melakukan sesuatu, untuk menjadi sesuatu, dan untuk mempercayai sesuatu. Suatu ilmu pengetahuan akan 'nyantol' di otak dan hati apabila kita sudah percaya pada ilmu itu. Informasi yang disampaikan bukanlah bualan belaka. Dengan informasi, akan ada keterpaduan pola pikir masyarakat sehingga tercipta rasa kebersamaan untuk mengubah keadaan.

Sumber:
Ziaduddin Sardar, Tantang Dunia Islam Abad 21 : Menjangkau Informasi, Mizan, Bandung: 1988.


Senin, 13 Juni 2016

Indigeneous Learning Styles : Pijakan Indigeneous Science & Technology

Dalam usaha kita membangun desa, perlu ada suatu pola belajar yang dapat menunjang pembangunan pedesaan. Pola belajar itu harus bisa mengenalkan bagaimana menyelesaikan masalah di pedesaan. Dengan begitu, diharapkan ada sumberdaya manusia yang bisa memberikan solusi atas permasalahan yang terjadi di pedesaan.

Indigenous learning styles adalah berupa pendekatan dan strategi dalam memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang tumbuh kembang pada setiap entitas, yang pada umumnya digunakan dalam mempelajari perilaku pembelajaran individual dan kelompok yang menyatu dengan akar budayanya sendiri. Indigenous learning styles dirumuskan dalam : (1) belajar melalui observasi dan imitasi; (2) belajar melalui pengalaman keseharian; (3) belajar melalui coba dan salah (trial and error);  (4) lebih menekankan pada keterampilan untuk tugas tertentu; (5) lebih menekankan pada kemanusiaan dan hubungan.
Sedangkan pengetahuan indegenous memiliki makna yang mencakup : (1) pengetahuan indegenous bersifat simpel dan praktis; (2) pengetahuan indegenous merupakan cara pandang penganutnya dan menjadikan alat untuk mempertahankan diri baik secara sosial, ekonomi, politik dan spiritual; (3) kata kunci dari pengetahuan indegenous adalah kemampuan orang-orang untuk memahami dunia dari pandangan yang paling sederhana dari sisi kemanusiaan; (4) pengetahuan indegenous mengatur hubungan manusia dengan alam, termasuk dalam memelihara keberlangsungan keduanya.
Tidak Sekuler
Beranjak dari prinsip 'tidak sekuler', tidak memisahkan agama dan kehidupan bermasyarakat. Dengan prinsip ini proses pembelajaran tidak akan menganggap bahwa belajar 'doktrin agama' lebih penting daripada 'belajar memanfaatkan alam'. Dalam Islam, memberdayakan lingkungan merupakan suatu ibadah yang berpahala. Bentuk ibadah aktual ini, menjadi 'doktrin' yang bisa diterapkan dalam kehidupan nyata.
Prinsip pembelajaran ini memang perlu ditegaskan sejak awal. Apabila tidak, sasaran pembelajaran akan mengalami pembiasan. Coba kita perhatikan, ketika peserta didik mengalami 'kebingungan' karena apa yang dipelajari di sekolah tidak bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Para tokoh masyarakat seperti Kyai atau pengusaha memiliki peran sangat penting dalam menentukan prinsip pembelajaran ini. Dengannya, akan terlihat nyata sebuah contoh bagi peserta didik bagaimana seharusnya memperoleh pengetahuan dan mengamalkan pengetahuan. Ilmu pengetahuan tidak hanya dihapal di luar kepala kemudian dilupakan begitu saja. Aplikasi teori ini menjadi sangat penting dalam proses belajar. Para tokoh yang menjadi contoh sekaligus sebagai sumber pengetahuan sepertinya akan lebih ditiru/diduplikasi. Anak muda bisa mempunyai gambaran mengenai  bagaimana dan seperti apa penerapan ilmu pengetahuan di kemudian hari.

Pemecahan Masalah
Ketika ada masalah menghadang kita, hal wajar akan terasa kebingungan. Kita bingung bagaimana menyelesaikan suatu masalah. Apalagi setiap orang memiliki permasalahannya sendiri, berbeda satu sama lain.  Cara yang bisa kita tempuh adalah, bertanya pada orang lain atau mencari tahu pemecahannya di buku, internet atau sumber lain. Setelah melakukan 'pencarian solusi', maka jangan aneh ketika solusi yang kita temukan tidak bisa begitu saja digunakan. Mengapa?
Ya, setiap orang memiliki solusi sendiri. Apabila kita belajar pada orang lain, belum tentu suatu solusi bisa persis sama dan 'siap pakai' untuk kita.  Perlu banyak penyesuaian. Untuk kondisi seperti inilah indigenous learning style ada. Kita dituntut untuk lebih beradaptasi dengan lingkungan sekitar dan berusaha untuk beradaptasi dengan masalah kita sendiri.
Kemampuan budaya belajar individu atau kelompok sosial dalam memecahkan berbagai persoalan yang timbul di lingkungannya sangat dipengaruhi oleh tiga hal yaitu : perilaku belajar yang adaptif, strategi belajar yang adaptif dan tindakan belajar yang adaptif (Bennet, 1976 dalam Ayi Olim, 2007).
Tidaklah mengherankan, apabila banyak diantara kita yang sulit untuk 'beradaptasi' dengan problematika yang ada karena sejak kecil tidak belajar untuk itu. Dalam proses belajar, sering kita dijauhkan dari realitas di sekitar  sehingga tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kita hanya tahu atas apa yang terlihat secara kasat mata. Namun, jarang diajarkan untuk memahami makna dari setiap peristiwa yang ada.
Misalnya, ketika musim hujan tiba di desa kita sering terjadi banjir. Hal yang kita tahu adalah peristiwa banjir yang dimana terjadi banyak genangan air di mana-mana. Sebaiknya, setiap anak diajarkan bagaimana memahami 'kenapa terjadi banjir' dan 'bagaimana menghadapi banjir' itu. Hal yang wajar, ketika banjir terus melanda apabila setiap generasi belum bisa memahami makna dari peritiwa banjir tersebut. Dan, banjir yang terjadi di desa kita belum tentu penyebabnya sama persis dengan banjir di daerah lain. Untuk itu, perlu pembelajaran yang 'sesuai' denga kebutuhan lokal.

Merekontruksi Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan dibangun oleh manusia dimana saja dan kapan saja. Saya cenderung mengikuti pemahaman bahwa ilmu pengetahuan tidak ada yang bisa mendominasi. Apakah ilmu itu datang dari peradaban lain ataupun datang dari peradaban kita sendiri. Hal terpenting adalah bagaimana ilmu itu bisa bermanfaat bagi kehidupan.
Apabila banyak diantara yang masih 'mengagungkan' ilmu pengetahuan dari Barat, maka sudah seharusnya kembali untuk 'mempertanyakan' relevansi ilmu pengetahuan itu dengan kebutuhan kita sendiri. Untuk mencapai relevansi itu, sudah selayaknya kita menelisik kembali ilmu apa yang telah dimiliki oleh budaya sendiri.
Indegenoeus Learning Style mencoba untuk mencari relevansi pengetahuan dengan realita masyarakat lokal. Gaya belajar ini tidak 'menelan bulat-bulat' ilmu dari buku atau media massa begitu saja tetapi mencobanya terlebih dahulu pada situasi lokal yang dihadapi. Ketika kita sudah 'menemukan' formula yang cocok untuk permasalahan yang kita hadapi, maka terlahirlah 'ilmu baru' yang cocok dengan konsep pembangunan yang sedang dijalani.
Pemahaman seseorang mengenai dunia di sekitarnya akan berbeda satu sama lain. Dalam usaha kita merekontruksi ilmu pengetahuan, maka peserta didik diajak untuk memahami realitas dari pengalaman langsung. Kegiatan belajar dan mengajar secara aktif. Melihat siswa sebagai pihak yang aktif dan harus dikembangkan peluangnya dalam mengkontuksi pemikiran. Kebenaran adalah sesuatu yang aktif dikonstruksi berdasarkan makna perseorangan dan bukan dibentuk oleh pihak lain. Merangsang pemikiran yang kritis. Pemahaman mengenai ide yang besar bukan pada kenyataan faktual. Lebih menekankan pada bagaimana belajar dan bukan pada penguasaan fakta. Siswa belajar bagaimana ia membentuk pemahaman mengenai dunia di sekitarnya. Ada motifasi spiritual dalam kegiatan belajar. Motifasi spiritual itulah yang menggerakan otak berpikir.

"Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur."
(QS. An-Nahl : 78)
"Dan Dialah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian, pendengaran, penglihatan dan hati. Amat sedikitlah kamu bersyukur."
(QS. Al-Mu'minuun : 78)

Ketika ilmu pengetahuan terbentuk dari seseorang, maka disitulah penting usaha pencatatan. Setelah menerima ilham atau inspirasi, ilmu pengetahuan yang ditemukan selayaknya didokumentasikan secara resmi di Pusat Informasi Terpadu yang dimiliki desa. Memang, akan ada perdebatan mengenai 'keabsahan' ilmu yang telah dicatatat. Tetapi, kita harus tahu bahwa ilmu pembangunan pedesaan merupakan ilmu yang bersifat subyektif. Artinya, ilmu tersebut tidak lahir dari kenyataan yang sudah ada secara kasat mata tetapi bisa datang dari pemahaman dari realita tidak nyata.

"Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur. "
(QS. Al – A'rof : 10)


Sumber :
Amien Rais dkk., Krisis Ilmu-ilmu Sosial dalam Pembangunan Di Dunia Ketiga, PLP2M, Yogyakarta: 1984.
Ayi Olim dkk., Teori Antropologi Pendidikan dalam Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, FIP-UPI, Imtima, Bandung: 2007.
Bahri Ghazali, Pesantren Berwawasan Lingkungan, Prasasti, Jakarta: 2003.
Napoleon Hill dan Harold Keown, Hidup Sukses dan Berhasil Melalui Keyakinan, Cahaya Abadi: 1978.
Nazwar Syamsu, Al-Qur'an tentang Al-Insaan, Ghalia Indonesia, Jakarta: 1983.
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat (Buku I), Cetakan 3, Bulan Bintang, Jakarta: 1981
Sulthon Masyud dkk., Manajemen Pondok Pesantren, Diva Pustaka, Jakarta: 2003.
Ziaduddin Sardar, Tantang Dunia Islam Abad 21 : Menjangkau Informasi, Mizan, Bandun

Minggu, 12 Juni 2016

Membangun Desa: Menggunakan Imajinasi atau Teori

Membangun desa memerlukan suatu 'daya khayal' yag tinggi mengenai kondisinya di masa depan. Sebagai warga desa, sangat tidak dianjurkan untuk sekedar duduk termangu dan diam saja menanti sebuah perubahan datang dari luar. Saat ini, model pembangunan pedesaan sangat bergantung pada inisiatif warga desa sendiri. Peran Pemerintah pusat hanyalah sebagai penyedia dana dan mengurus masalah administratif saja. Eksekusinya, warga desa sendiri yang berperan aktif.
Peran aktif itu tidaklah datang begitu saja, tetapi diawali dengan 'gambaran' masa depan yang tertanam dalam pikiran. Permasalahan timbul ketika 'gambaran' itu tidak mempunyai dasar ilmu pengetahuan yang cukup dari warga desa sendiri. Misalnya, seorang Kepala Desa menginginkan membangun pasar tetapi dia tidak mempunyai pengetahuan yang cukup untuk membaca potensi konsumen yang ada di sana.
Dilematis, ketika begitu banyak keinginan namun tidak dibarengi dengan dasar pengetahuan yang cukup untuk itu. Lalu, disinilah peran imajinasi lebih ditekankan dibandingkan ilmu pengetahuan. Mengapa begitu? Ya, karena tidak ada suatu jaminan yang pasti bahwa ilmu pembangunan yang telah ada bisa menjadi solusi bagi pembangunan desa itu sendiri.
Ada begitu banyak teori yang diadopsi oleh Perguruan Tinggi sebagai sandaran ditetapkannya suatu pola pembangunan. Tetapi, apakah ada yang 'sesuai' dengan situasi dari desa yang akan dibangun? Ketika teori-teori itu dikumpulkan dan dipertimbangkan manakah yang akan dipakai maka akan terjadi 'kebingungan' untuk menentukan mana yang akan dipakai dan mana yang akan disisihkan. Ditengah kebingungan inilah, imajinasi menjadi sangat berperan.
Imajinasi bukanlah sekedar khayalan tanpa arti. Buat saya, imajinasi adalah anugerah Illahi yang bisa menjadi jalan bagi bertumbuhnya peradaban yang tinggi. Ketika ilmu pasti belum bisa memecahkan masalah kehidupan maka imajinasi adalah 'penuntun menuju kehidupan yang lebih baik'. Ketika ilmu pengetahuan hanya bisa diperdebatkan maka imajinasi sudah jauh melampaui ilmu pengetahuan itu sendiri. Maka dari itu, ada yang menganggap imajinasi ini sebagai ranah 'filsafat' karena sulitnya ilmu pengetahuan menggapainya.
Imajinasi bukanlah pemikiran yang tidak bersandar tetapi merupakan 'perbaikan' bagi kehidupan selanjutnya. Dalam Islam, imajinasi sangat berguna bagi sesuatu yang sudah bersandar pada prinsip-prinsip pembangunan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Untuk itu, dalam usaha kita membangun desa kiranya mengalami banyak kesulitan ketika harus menerapkan teori yang sudah ada. Apalagi, teori itu tidak berpijak pada 'fitrah kita sebagai manusia'.
Menjadi tantangan tersendiri ketika kita memilah-milah begitu banyak teori yang disajikan dalam berbagai buku dan jurnal ilmiah. Ketika tangan menekan tombol komputer maka terbukalah informasi di internet mengenai model-model pembangunan pedesaan. Ketika dikumpulkan, informasi itu bisa jadi hanyalah sebuah masukan ilmu pengetahuan bagi kita. Informasi yang diakses belum bisa menjadi sarana untuk memecahkan masalah di lingkungan kita.
Kesimpangsiuran informasi inilah yang harus dipilah. Otak kita memiliki keterampilan untuk itu. Arus informasi yang begitu deras bukan saja memudahkan kita, tetapi bisa membuat kita kesulitan memilahnya. Atau, bisa jadi informasi itu hanyalah 'sampah' yang numpang lewat begitu saja. Disinilah proses 'berpikir' dimulai.
Keterampilan kita untuk mengolah informasi memang memerlukan latihan yang panjang. Hanya mereka yang terbiasa mengolah informasi sajalah yang bisa 'menentukan' mana informasi berguna dan mana informasi 'yang kurang berguna'. Kenapa begitu? Karena sering kita mempersepsikan informasi terbaik dan dapat dipercaya berasal dari 'Barat' atau berasal dari para sarjana yang pernah 'belajar di Barat'. Sering juga, kita 'tertipu' oleh informasi yang datang dari 'orang pintar' padahal mereka pun sebenarnya tidak 'benar-benar memahami' realita di sekitar mereka.
Ada kala suatu teori tidak sesuai dengan kebutuhan kita sebagai masyarakat desa. Sebagaimana kita ketahui, teori pembangunan lebih banyak berasal dari Eropa dan Amerika dengan kultur yang jauh berbeda dengan negara kita. Mungkin, itulah sebabnya mengapa suatu teori yang dipelajari di Perguruan Tinggi sulit sekali untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Disadari atau tidak, suatu teori 'import' diterima begitu saja tanpa mengalami banyak penyaringan.
Ketika teori itu begitu sulit diterapkan maka disitulah imajinasi berguna. Teori-teori itu tentu saja dibangun atas dasar penelitian yang tidak sebentar tetapi tentu saja bukan di tempat kita. Jika sebuah teori dilahirkan dari masyarakat kita, boleh saja menjadi suatu referensi utama. Namun, ini ilmu sosial yang mesti mengalami banyak 'penyesuaian'.
Kita mesti ingat bahwa tidak suatu teori pembangunan yang bebas nilai. Ada saja ideologi yang menjadi dasar pemikirannya. Tentu saja, akan berbeda teori pembangunan desa di negara kapitalis dengan negara sosialis. Maka dari itu, saya sangat menganjurkan untuk menjadikan Islam sebagai dasar pemikiran dalam upaya kita membangun pedesaan. Mengapa? Karena teori pembangunan Islam sangat memperhatikan aspek materil dan aspek spiritual sehingga tidak terjadi ketimpangan diantara keduanya. Teori Islam juga bukan lahir dari suatu filsafat yang bisa saja berubah-ubah dari waktu ke waktu. Islam sangat relevan untuk setiap zaman.
Saya memahami, bahwa Islam mengajak ummatnya untuk 'berpikir' dalam banyak hal. Artinya, suatu imajinasi sangat dihargai oleh Islam. Islam hanya memberikan prinsip-prinsipnya saja, selebihnya manusia bisa menentukan apa yang akan dia tentukan.
Imajinasi bagi Sartre berarti mengingkari suatu kenyataan, dan sekaligus mengkonstruksi suatu obyek baru yang bersandar pada kenyataan. Dunia kenyataan tetap menjadi latar belakang persepsi, tetapi malahan menciptakan makna pada dunia nyata tersebut, dan saling mempengaruhi.
Imagi adalah suatu atribut kognitif. Ia bisa berupa ingatan tentang kejadian masa lalu, fakta atau pendapat. Namun imagi didasarkan hanya pada kepercayaan, tradisi, sistem nilai dan kultur. Ia merupakan produk konstruksi-sosial pengetahuan yang dibentuk oleh pandangan-dunia. Karakter nasional, pola kelembagaan dan filsafat pribadi kita. Inilah sebabnya kita memberikan jalan bagi imagi-imagi untuk membentuk kehidupan dan gaya hidup kita dan membentuk pula banyak dari lingkungan kita.


Sumber:
Amien Rais dkk., Krisis Ilmu-ilmu Sosial dalam Pembangunan Di Dunia Ketiga, PLP2M, Yogyakarta: 1984.
Napoleon Hill dan Harold Keown, Hidup Sukses dan Berhasil Melalui Keyakinan, Cahaya Abadi: 1978.
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat (Buku I), Cetakan 3, Bulan Bintang, Jakarta: 1981
Ziaduddin Sardar, Tantang Dunia Islam Abad 21 : Menjangkau Informasi, Mizan, Bandung: 1988.