Minggu, 12 Juni 2016

Membangun Desa: Menggunakan Imajinasi atau Teori

Membangun desa memerlukan suatu 'daya khayal' yag tinggi mengenai kondisinya di masa depan. Sebagai warga desa, sangat tidak dianjurkan untuk sekedar duduk termangu dan diam saja menanti sebuah perubahan datang dari luar. Saat ini, model pembangunan pedesaan sangat bergantung pada inisiatif warga desa sendiri. Peran Pemerintah pusat hanyalah sebagai penyedia dana dan mengurus masalah administratif saja. Eksekusinya, warga desa sendiri yang berperan aktif.
Peran aktif itu tidaklah datang begitu saja, tetapi diawali dengan 'gambaran' masa depan yang tertanam dalam pikiran. Permasalahan timbul ketika 'gambaran' itu tidak mempunyai dasar ilmu pengetahuan yang cukup dari warga desa sendiri. Misalnya, seorang Kepala Desa menginginkan membangun pasar tetapi dia tidak mempunyai pengetahuan yang cukup untuk membaca potensi konsumen yang ada di sana.
Dilematis, ketika begitu banyak keinginan namun tidak dibarengi dengan dasar pengetahuan yang cukup untuk itu. Lalu, disinilah peran imajinasi lebih ditekankan dibandingkan ilmu pengetahuan. Mengapa begitu? Ya, karena tidak ada suatu jaminan yang pasti bahwa ilmu pembangunan yang telah ada bisa menjadi solusi bagi pembangunan desa itu sendiri.
Ada begitu banyak teori yang diadopsi oleh Perguruan Tinggi sebagai sandaran ditetapkannya suatu pola pembangunan. Tetapi, apakah ada yang 'sesuai' dengan situasi dari desa yang akan dibangun? Ketika teori-teori itu dikumpulkan dan dipertimbangkan manakah yang akan dipakai maka akan terjadi 'kebingungan' untuk menentukan mana yang akan dipakai dan mana yang akan disisihkan. Ditengah kebingungan inilah, imajinasi menjadi sangat berperan.
Imajinasi bukanlah sekedar khayalan tanpa arti. Buat saya, imajinasi adalah anugerah Illahi yang bisa menjadi jalan bagi bertumbuhnya peradaban yang tinggi. Ketika ilmu pasti belum bisa memecahkan masalah kehidupan maka imajinasi adalah 'penuntun menuju kehidupan yang lebih baik'. Ketika ilmu pengetahuan hanya bisa diperdebatkan maka imajinasi sudah jauh melampaui ilmu pengetahuan itu sendiri. Maka dari itu, ada yang menganggap imajinasi ini sebagai ranah 'filsafat' karena sulitnya ilmu pengetahuan menggapainya.
Imajinasi bukanlah pemikiran yang tidak bersandar tetapi merupakan 'perbaikan' bagi kehidupan selanjutnya. Dalam Islam, imajinasi sangat berguna bagi sesuatu yang sudah bersandar pada prinsip-prinsip pembangunan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Untuk itu, dalam usaha kita membangun desa kiranya mengalami banyak kesulitan ketika harus menerapkan teori yang sudah ada. Apalagi, teori itu tidak berpijak pada 'fitrah kita sebagai manusia'.
Menjadi tantangan tersendiri ketika kita memilah-milah begitu banyak teori yang disajikan dalam berbagai buku dan jurnal ilmiah. Ketika tangan menekan tombol komputer maka terbukalah informasi di internet mengenai model-model pembangunan pedesaan. Ketika dikumpulkan, informasi itu bisa jadi hanyalah sebuah masukan ilmu pengetahuan bagi kita. Informasi yang diakses belum bisa menjadi sarana untuk memecahkan masalah di lingkungan kita.
Kesimpangsiuran informasi inilah yang harus dipilah. Otak kita memiliki keterampilan untuk itu. Arus informasi yang begitu deras bukan saja memudahkan kita, tetapi bisa membuat kita kesulitan memilahnya. Atau, bisa jadi informasi itu hanyalah 'sampah' yang numpang lewat begitu saja. Disinilah proses 'berpikir' dimulai.
Keterampilan kita untuk mengolah informasi memang memerlukan latihan yang panjang. Hanya mereka yang terbiasa mengolah informasi sajalah yang bisa 'menentukan' mana informasi berguna dan mana informasi 'yang kurang berguna'. Kenapa begitu? Karena sering kita mempersepsikan informasi terbaik dan dapat dipercaya berasal dari 'Barat' atau berasal dari para sarjana yang pernah 'belajar di Barat'. Sering juga, kita 'tertipu' oleh informasi yang datang dari 'orang pintar' padahal mereka pun sebenarnya tidak 'benar-benar memahami' realita di sekitar mereka.
Ada kala suatu teori tidak sesuai dengan kebutuhan kita sebagai masyarakat desa. Sebagaimana kita ketahui, teori pembangunan lebih banyak berasal dari Eropa dan Amerika dengan kultur yang jauh berbeda dengan negara kita. Mungkin, itulah sebabnya mengapa suatu teori yang dipelajari di Perguruan Tinggi sulit sekali untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Disadari atau tidak, suatu teori 'import' diterima begitu saja tanpa mengalami banyak penyaringan.
Ketika teori itu begitu sulit diterapkan maka disitulah imajinasi berguna. Teori-teori itu tentu saja dibangun atas dasar penelitian yang tidak sebentar tetapi tentu saja bukan di tempat kita. Jika sebuah teori dilahirkan dari masyarakat kita, boleh saja menjadi suatu referensi utama. Namun, ini ilmu sosial yang mesti mengalami banyak 'penyesuaian'.
Kita mesti ingat bahwa tidak suatu teori pembangunan yang bebas nilai. Ada saja ideologi yang menjadi dasar pemikirannya. Tentu saja, akan berbeda teori pembangunan desa di negara kapitalis dengan negara sosialis. Maka dari itu, saya sangat menganjurkan untuk menjadikan Islam sebagai dasar pemikiran dalam upaya kita membangun pedesaan. Mengapa? Karena teori pembangunan Islam sangat memperhatikan aspek materil dan aspek spiritual sehingga tidak terjadi ketimpangan diantara keduanya. Teori Islam juga bukan lahir dari suatu filsafat yang bisa saja berubah-ubah dari waktu ke waktu. Islam sangat relevan untuk setiap zaman.
Saya memahami, bahwa Islam mengajak ummatnya untuk 'berpikir' dalam banyak hal. Artinya, suatu imajinasi sangat dihargai oleh Islam. Islam hanya memberikan prinsip-prinsipnya saja, selebihnya manusia bisa menentukan apa yang akan dia tentukan.
Imajinasi bagi Sartre berarti mengingkari suatu kenyataan, dan sekaligus mengkonstruksi suatu obyek baru yang bersandar pada kenyataan. Dunia kenyataan tetap menjadi latar belakang persepsi, tetapi malahan menciptakan makna pada dunia nyata tersebut, dan saling mempengaruhi.
Imagi adalah suatu atribut kognitif. Ia bisa berupa ingatan tentang kejadian masa lalu, fakta atau pendapat. Namun imagi didasarkan hanya pada kepercayaan, tradisi, sistem nilai dan kultur. Ia merupakan produk konstruksi-sosial pengetahuan yang dibentuk oleh pandangan-dunia. Karakter nasional, pola kelembagaan dan filsafat pribadi kita. Inilah sebabnya kita memberikan jalan bagi imagi-imagi untuk membentuk kehidupan dan gaya hidup kita dan membentuk pula banyak dari lingkungan kita.


Sumber:
Amien Rais dkk., Krisis Ilmu-ilmu Sosial dalam Pembangunan Di Dunia Ketiga, PLP2M, Yogyakarta: 1984.
Napoleon Hill dan Harold Keown, Hidup Sukses dan Berhasil Melalui Keyakinan, Cahaya Abadi: 1978.
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat (Buku I), Cetakan 3, Bulan Bintang, Jakarta: 1981
Ziaduddin Sardar, Tantang Dunia Islam Abad 21 : Menjangkau Informasi, Mizan, Bandung: 1988.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar...