Membangun indsutri kreatif perlu dimulai dari
unit terkecil dari masyarakat. Diantaranya, sekolah sebagai sarana untuk
meningkatkan kualitas sumberdaya manusia memiliki peranan sangat penting untuk
keberlangungan industri kreatif di masa depan. Industri kreatif perlu dibangun
dengan menumbuhkan kreatifitas para pekerjanya. Dan, kreatifitas itu perlu
dipupuk sejak dini.
Darimana Kreatifitas Datang?
Darimanakah kreatifitas itu datang? Itulah
pertanyaan yang pertama kali muncul dalam pikiran saya ketika akan menulis
artikel ini. Saya mencoba untuk mencari-cari sumber jawaban dari
pertanyaan tersebut. Di internet, di buku pun saya mengalami kesulitan untuk
mendapatkan jawaban yang 'memuaskan'. Namun, ketika dipikir-pikir ternyata
mencari jawaban yang tidak memuaskan adalah awal mula suatu kreatifitas. Ya, ketidakpuasan akan realita di sekitarnya!
Seperti ada desakan dari dalam, kreatifitas
itu muncul begitu saja. Pikiran kita
akan membawa pada sesuatu yang 'baru' dalam hidup. Manusia seakan dipaksa untuk
terus mengubah diri dan sekitarnya untuk
sekedar bertahan hidup. Sebagaimana kita tahu, peradaban yang mandeg dan tidak
menginginkan perubahan hanya akan menjadi korban dari zaman itu sendiri. Itu pulalah
panggilan bagi orang-orang kreatif untuk senantiasa mengekspresikan apa yang
ada dalam pikirannya.
Ilmu pengetahuan tidak selalu bisa menjawab keresahan
ummat manusia. Tetapi, disitulah kreatifitas bermunculan. Banyak ilmu-ilmu
baru, penemuan baru dan karya-karya baru yang bisa mengubah wajah suatu negeri
dalam waktu singkat. Saya mencoba menyimpulkan bahwa, kreatifitas tidak berdasarkan
otak sadar kita. Kreatifitas lahir dari 'kelapangan jiwa kita untuk menerima
bahwa dunia dan seisinya ada yang menciptakan'. Kreatifitas datang dari 'kerendahan
hati' seorang manusia, karena kreatifitas datang dari 'sesuatu yang lain'.
…
Sikap 'ketidakpuasan' seperti disampaikan
diatas, lahir dari pribadi-pribadi yang melihat dunia dengan cara mereka
sendiri. Orang-orang seperti itu senantiasa resah ketika melihat
ketidaksesuaian antara kenyataan dengan apa yang diinginkan. Frustasi, membuat
pikiran menjadi tidak tentram. Mereka senantiasa terdorong untuk membuat suatu
perubahan.
Orang-orang Barat, dengan corak budayanya,
mengobati rasa ketidakpuasannya dengan mengadakan segala macam pencarian/discovery
ke berbagai belahan penjuru dunia. Orang Barat menjadikan alam sebagai media
untuk mengekspresikan diri. Dalam pikiran Barat, alam adalah sebagai sarana
bagi manusia untuk mencapai kesejahteraan hidup, baik moril maupun materil.
Berbeda dengan orang Timur, sikap ketidakpuasan
itu tidak banyak menampakan wujudnya di permukaan. Orang Timur senantiasa
merasa puas dengan apa yang ada. Rasa frustasi, kalau pun ada, cukup terobati
dengan 'mendekatkan diri pada sesuatu yang lain di luar dirinya'. Menikmati
hidup ketika masih ada di dunia adalah suatu prinsip yang sering kita dengar.
Namun, tidak semua orang Timur berpikir
demikian. Kita bisa melihat kreatifitas dalam budaya Cina dan Jepang. Berdasarkan
apa yang saya baca, kedua negara dengan budaya yang hampir sama itu selalu
mengandalkan suatu filsafat hidup yang membawa
pada kemakmuran negerinya. Keseimbangan antara 'kemakmuran' jiwa dan raga
menjadi motif bagi berkembangnya kehidupan di segala aspek. Filsafat hidup
seperti apa yang dimaksud, anda bisa membukanya di berbagai media karena tidak
cukup ruang untuk menerangkannya di sini.
Filsafat hidup yang memiliki hubungan dengan
kreatifitas juga disampaikan oleh James T. McCay. Dia berpendapat bahwa manusia
kreatif harus bisa melihat berbagai kemungkinan dari zaman dahulu hingga
kemungkinan di abad 21. Ya, itulah orang kreatif. Mereka bisa melihat berbagai kemungkinan dimana jalan hidup tidak hanya
terbentang dalam satu jalur. Menciptakan
filsafat yang dapat dilaksanakan di abad 21 ini maka itulah cikal-bakal bagi
orang kuat.
Jika seseorang bisa melihat berbagai kemungkinan,
maka jalan untuk suatu kreatifitas telah terbuka. Mereka bisa membuka
"jalan baru" dan tidak melulu mengikuti jalan yang sudah ada. Mereka
bisa menjadi diri sendiri dengan bimbingan 'sesuatu yang lain' dalam dirinya. Sebagai orang Islam, saya selalu percaya
sesuatu yang membimbing itu adalah Alloh SWT. Meskipun kreatifitas itu datang
dari seorang atheis, Alloh sebenarnya memberinya rahmat pada mereka sebagai
wujud kasih sayang pada setiap makhluk-Nya.
…
Reformasi Budaya menuju Budaya Industri
Membicarakan kreatifitas seorang manusia, maka
membicarakan budaya dari manusia itu sendiri. Di atas telah disinggung bahwa
persepsi budaya orang Timur memiliki banyak perbedaan dengan orang Barat. Apabila
diantara kita ingin memiliki kreatifitas yang tinggi, maka mengubah budaya yang
ada adalah suatu keharusan.
Budaya yang tidak mununjang kreatifitas harus
di ubah dengan meletakan dasar yang tepat bagi perubahan itu. Sebagaimana yang
sering disampaikan para ahli, budaya manusia pada dasarnya erat kaitannya
dengan 'isi otak'-nya. Hanya saja perubahan seperti apa yang ingin dicapai,
itulah yang akan kita bicarakan.
Budaya kreatif muncul diantara orang-orang yang
memiliki tujuan hidup. Sikap gigih dan berdaya cipta
erat kaitannya dengan pencarian tujuan hidup. Sikap mengambang dan meniru
sepertinya tidak akan menimbulkan pribadi yang kreatif. Dalam budaya kita,
sikap meniru ini seakan mendapatkan penghargaan yang lebih tinggi dibandingkan
orang yang berani tampil beda. Orang-orang takut untuk berbeda dengan yang
lain, maka biarlah seseorang memiliki tujuan hidup yang 'khas' dalam
dirinya_maka dia akan mengaktualisasikan dirinya dengan optimal.
Apakah masyarakat kita memiliki tujuan hidup?
Tentu saja punya. Hanya saja apa yang dituju terlalu sama dengan yang lain.
Seragam. Keseragaman ini tidak bisa merangsang seseorang untuk menelorkan ide
dan mewujudkannya dalam kenyataan. Tujuan hidup yang 'hampir sama' dengan yang
lain membuat masyarakat enggan menampilkan kemampuannya di depan umum.
"Buat apa kita berbeda dengan yang lain? Apa untungnya?". Ya, tidak
ada untungnya kita berbeda. Itulah alasan kenapa orang enggan tampil beda.
Saya masih curiga pada kesalahan kita memahami
agama. Orang atheis selalu menyalahkan
agama karena menumpulkan kreatifitas. Orang beragama terlalu bergantung
pada 'sesuatu yang lain' dalam hidupnya.
Padahal, dalam Islam kreatifitas adalah wujud bakti kita pada Alloh SWT yang
dinilai dengan pahala yang besar.
Kita sering melihat agama sebagai doktrin
semata. Agama belum bisa menjadi dinamisator bagi kebangkitan hidup manusia. Dalam budaya kita, agama hanya dijadikan obat
mujarrab bagi keresahan jiwa manusia dikala menghadapi dunia yang 'ruwet'.
Agama tidak dijadikan pemantik bagi kemajuan seseorang atau masyarakat pada
umumnya. Bahkan, yang menyedihkan agama tidak dijadikan dasar bagi
berkembangnya industri dimasyarakat.
Hah, agama masuk dalam dunia industri? Itulah
yang senantiasa ingin saya tekankan. Apabila kita
membahas industri kreatif, pada dasarnya kita sedang mebicarakan bagaimana kita
menjadikan agama sebagai 'modal dasar' bagi perkembangannya. Budaya yag
menjauhkan agama hanya akan 'kebingungan' mencari inspirasi. Sebagaimana
disampaikan di atas, kreatifitas itu datangnya dari 'sesuatu yang lain' di luar
manusia. Apakah orang menyebutnya inspirasi, ilham, instuisi atau kecerdasan
tak terbatas –apa pun itu- maka sesungguhnya
manusia membutuhkan 'pembantu' yang bisa menemukan jawaban atas keresahan yang
dirasakannya.
…
Sepertinya semua sepakat bahwa perubahan budaya
dari tradisional-bertani menjadi budaya yang mengutamakan inudustri sebagai
roda penggerak, memerlukan instrumen penting yakni pendidikan.
Baik pendidikan formal atau pendidikan non-formal, semuanya harus memiliki
prinsip yang bisa mengajak semua orang untuk menjadi 'pemikir' bukan sekedar
'pengumpul informasi'.
Mengoptimalkan potensi otak dan indera dalam
diri seseorang adalah cara yang mesti ditempuh dalam proses pendidikan
tersebut. Sebagaimana kita ketahui, kreatifitas ada dalam otak manusia maka
mengoptimalkannya menjadi modal dasar untuk membentuk budaya baru dalam
masyarakat. Apabila proses pengajaran melulu memberikan ilmu yang dianggap
'penting' tetapi tidak mengajak untuk berpikir, maka jangan terlalu berharap akan
datang generasi kreatif di masa depan.
Otak manusia mampu mencermati lingkungannya dan
memberika respon sesuai dengan kemampuan. Dengan begitu, seorang manusia bisa
memilah dan memilih budaya mana yang harus dipertahankan dan mana yang harus
diubah. Dengan bantuan instuisi yang dimilikinya, jiwanya akan menuntun pada
suatu jalan menuju perubahan yang diinginkannya. Seriing berjalannya waktu,
keresahan yang dirasakannya akan berubah menjadi ketentraman dan kepuasan hati.
…
Mengubah budaya tidaklah harus melulu dalam
konteks nasional bahkan global _walaupun itu sangat diperlukan_ tetapi dapat
dimulai dari konteks lokal. Memperhatikan lingkungan tempat tinggal kemudian
memberikan 'sedikit' sentuhan kemajuan maka begitulah cara manusia belajar.
Kreatifitas akan muncul dengan sendirinya karena adanya kesadaran akan
kekurangan dalam budaya yang dimilikinya. Membangun kesadaran ini butuh proses
dimana seseorang harus 'didekatkan' dengan realita yang sebenarnya.
Saya miris ketika pendidikan kita terlalu menjauhkan
diri dari realita. Sekolah seakan menjadi tempat
bersembunyi dari realita kemudian mengkhayalkan kondisi yang ideal tetapi tidak
ada usaha untuk menuju ke arah sana. Saya percaya bahwa orang-orang
kreatif lahir dari 'keterpurukan realita' dimana kondisi ideal yang berlum
tercapai. Justru, untuk menuju kondisi ideal itu manusia akan berpikir
bagaimana menempuhnya. Orang-orang kreatif memang seakan seperti pengkhayal,
tetapi mereka juga berusaha untuk mewujudkan khayalannya.
Di negara maju sekali pun, orang-orang kreatif
itu lahir dalam skala kecil. Hanya saja, karena banyak orang kreatif maka
seakan kemajuan itu datang dari suatu negara. Kita tengok Amerika, di desa ada
petani yang kreatif hingga bisa membangun pertanian yang maju. Di kota, ada pusat
bisnis dan pusat hiburan yang menghasilkan jutaan dollar. Itu semua tidak
terjadi dalam sekejap. Pepatah mengatakan bahwa Roma tidak dibangun dalam satu
malam! Semua dimulai dari hal sederhana.
…
Setelah kita bicara banyak mengenai
kreatifitas, mari kita renungkan kembali " apa tujuan pendidikan
kita" yang selama ini diagung-agungkan. Pendidikan di negeri ini seakan
sesuatu yang sakral bahkan menganggap suatu kehormatan apabila berprofesi
menjadi seorang pendidik. Hanya saja, tujuan pendidikan kita menjadi sangat
kabur bahkan tidak memiliki arah yang pasti.
Ketidakpastian tujuan ini bisa jadi berakar
dari budaya kita yang 'mengambang' dalam menjalani kehidupan. Perjalanan hidup
di dunia ini tanpa rencana jangka panjang karena menganggap hidup di dunia
hanya sementara. Filsafat ini begitu mengakar dalam pikiran kita, sehingga agak
sulit untuk mengajak para pemangku kepentingan untuk menetapkan secara jelas
apa yang ingin dituju ketika mengajarkan ilmu pengetahuan pada peserta didik.
Tujuan pendidikan sepertinya tidak ditujukan
untuk membangun peradaban dalam memenuhi kesejahteraan ummat manusia. Apalagi
di pedesaan, dimana kemajuan zaman belum begitu terasa. Tidak heran jika para pendidik
tidak mengarahkan ilmu pengetahuan untuk kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Ilmu
pengetahuan seakan menjadi suatu cara untuk sekedar 'meningkatkan derajat
manusia di mata Tuhannya'. Ilmu belum menjadi suatu sarana praktis dalam rangka
menata lingkungan terdekatnya.
Saya sering mendengar bahwa tujuan kita
berpendidikan hanya untuk meningkatkan 'strata' seseorang dalam masyarakat. Alhasil, keadaan itu menjadi jenuh dimana
pendidikan formal seakan menjadi tidak berguna karena perubahan persepsi
masyarakat tentang pendidikan. Sudah menjadi hal yang lumrah, masyarakat di desa
hanya melihat pendidikan sebagai bentuk 'ikut-ikutan' belaka. Tida heran,
apabila peserta didik belum bisa memaknai ilmu pengetahuan yang dimiliki. Masih
jauh apabila mereka bisa menerapkan ilmu pengetahuan dalam kesehariannya.
Dalam budaya kita, alam hanyalah sebagai sarana
untuk tempat tinggal. Kita belum memiliki kesadaran akan pentingnya
memanfaatkan alam untuk kesejahteraan. Nah, saya pikir untuk itulah tujuan
pendidikan. Dalam sekala lokal kita harus punya niat untuk memanfaatkan alam
sekitar untuk kepentingan kita. Dalam skala nasional, Insya Alloh akan
terbentuk budaya industri sebagaimana masyarakat Barat atau masyarakat Asia Timur. Ketika itu terjadi, maka kita bisa
menghadapi tantangan global.
…
Lahirnya Insan Kreatif
Sudah menjadi hal lumrah, saat ini
kecenderungan ekonomi global mengarah pada ekonomi berbasis teknologi
informasi. Dimana-mana terjadi komputerisasi. Baru tadi pagi saya menonton
peluncuran Satelit Brisat milik Bank Rakyat Indonesia. Itu menandakan bahwa negeri
ini sedang mengikuti kecenderungan dunia untuk menggunakan teknologi tinggi
dalam membangun sosial, ekonomi bahkan politik.
Di era IT ini, sangat dibutuhkan orang-orang
yang orisinil. Mereka sangat dihargai ide dan kreatifitasnya. Bahkan, orang seperti
ini memiliki strata tersendiri dalam dunia bisnis. Mereka bukan pekerja kelas
dua yang bisa disuruh-suruh begitu saja oleh si boss. Pekerja kreatif ini
'menjual' hasil pemikiran kreatif ke perusahaan-perusahaan bahkan pemerintah.
Meskipun secara struktural mereka adalah bagian dari organisasi
perusahaan/pemerintah tetapi sebenarnya mereka adalah orang-orang independen.
Jiwanya tidak mudah dikendalikan, justru orang seperti ini butuh kebebasan dari
tekanan dalam menjalankan pekerjaannya.
Mereka ini adalah orang-orang yang berada dalam
strata pekerja kreatif diantaranya bekerja di bidang: periklanan, arsitektur, pasar barang seni dan
kerajinan, desain, fesyen, video/film/fotografi, permainan interaktif, musik,
seni pertunjukan, penerbitan/percetakan, layanan komputer dan piranti, TV dan
radio, penelitian dan pengembangan (R&D), kuliner.
Dalam industri kreatif _yang sedang kita
bicarakan_ mereka tidak muncul begitu saja. Pekerja 'kelas khusus' ini muncul
dari sistem pendidikan yang menunjang mereka untuk berpikir kreatif. Mereka lahir dari situasi belajar yang
merangsang untuk terus melakukan inovasi. Mereka tidak lahir dari cara belajar
yang monoton dan mematikan kreatifitas. Mereka dibentuk oleh filosofi
pendidikan yang sangat memperhatikan personalitas dan potensi individu.
Tentu saja, filosofi itu belum terlaksanakan
dalam praktek pendidikan_setidaknya sebagian besar_negeri ini. Banyak ahli
pendidikan yang mengatakan bahwa gaya
belajar masyarakat kita yang selalu 'disuapi' sudah harus diubah demi keberlangsungan
negeri ini. Ya, negeri ini membutuhkan orang-orang unggul dimana mereka
memiliki daya saing tinggi, inovatif, kreatif dan siap menghadapi tantangan
lokal, regional maupun global. Apabila
cara belajar kita masih monotan maka jangan terlalu berharap akan muncul
pekerja kreatif yang dibutuhkan di abad ini.
…
Pernah mendengar filsafat konstruktifisme dan
humanisme dalam pendidikan? Walaupun sebenarnya saya tidak percaya filsafat,
tetapi bolehlah ini menjadi rujukan bagi berkembangnya pendidikan bagi orang
kreatif. Filosofi ini berkembang di negara-negara Barat dan kita sulit untuk
memungkiri bahwa konsep pendidikan mereka melahirkan begitu banyak orang
kreatif.
Secara garis besar kedua filsafat ini sangat
mengedepankan potensi setiap manusia. Peserta dianggap sebagai individu yang
unik dan tidak sama. Filsafat ini menentang penyeragaman kemampuan yang selama
ini berlaku di sekolah-sekolah.
Dalam konstruktifisme, peserta didik diarahkan
untuk memiliki kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri. Dan, itulah
yang diinginkan dunia industri kreatif. Intelektual pekerja yang menjadi modal,
sudah dipupuk sejak dini. Para pemikir ini menjadi motor bagi berhasil atau
tidaknya usaha yang dijalankan. Di sekolah, menjadi sarana untuk belajar
bagaimana 'memikirkan' dunia ini dan tidak hanya memikirkan hidupnya sendiri.
…
Berangkat dari kedua filsafat di atas, maka
gaya belajar pun disesuaikan agar tujuan belajar dapat tercapai. Pendekatan
belajar terarah pada bagaimana seseorang punya semangat berpikir di masa depan.
Industri kreatif adalah industri 'para pemikir' maka harus ada rangsangan
supaya seseorang gemar berpikir. Kegiatan berpikir sudah menjadi bagian dari
hidupnya.
Dalam konteks pedesaan, sudah selayaknya ada gaya belajar sendiri yang sesuai dengan karakter orang
desa. Orang desa bisa menjadikan alam sebagai sumber belajar. Karifan lokal
menjadi bahan bagi berkembangnya pola pikir seseorang. Siapa tahu, orang desa
bisa menjadi insan-insan kreatif yang siap mengisi perkembangan industri
kreatif nasional.
Sumber:
Ahmad
Mustafid, Hidup dengan Perilaku Islam, h. 25.
Ayi
Olim, Teori Antropologi Pendidikan dalam Ilmu dan Aplikasi Pendidikan,
h. 263.
James
T. McCay, Manajemen Waktu, h.10;190
Koentjaraningrat,
Pengantar Ilmu Antropologi, h. 258.
Soerjono
Soekanto, Sosiologi, h.245
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar...