Senin, 13 Juni 2016

Indigeneous Learning Styles : Pijakan Indigeneous Science & Technology

Dalam usaha kita membangun desa, perlu ada suatu pola belajar yang dapat menunjang pembangunan pedesaan. Pola belajar itu harus bisa mengenalkan bagaimana menyelesaikan masalah di pedesaan. Dengan begitu, diharapkan ada sumberdaya manusia yang bisa memberikan solusi atas permasalahan yang terjadi di pedesaan.

Indigenous learning styles adalah berupa pendekatan dan strategi dalam memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang tumbuh kembang pada setiap entitas, yang pada umumnya digunakan dalam mempelajari perilaku pembelajaran individual dan kelompok yang menyatu dengan akar budayanya sendiri. Indigenous learning styles dirumuskan dalam : (1) belajar melalui observasi dan imitasi; (2) belajar melalui pengalaman keseharian; (3) belajar melalui coba dan salah (trial and error);  (4) lebih menekankan pada keterampilan untuk tugas tertentu; (5) lebih menekankan pada kemanusiaan dan hubungan.
Sedangkan pengetahuan indegenous memiliki makna yang mencakup : (1) pengetahuan indegenous bersifat simpel dan praktis; (2) pengetahuan indegenous merupakan cara pandang penganutnya dan menjadikan alat untuk mempertahankan diri baik secara sosial, ekonomi, politik dan spiritual; (3) kata kunci dari pengetahuan indegenous adalah kemampuan orang-orang untuk memahami dunia dari pandangan yang paling sederhana dari sisi kemanusiaan; (4) pengetahuan indegenous mengatur hubungan manusia dengan alam, termasuk dalam memelihara keberlangsungan keduanya.
Tidak Sekuler
Beranjak dari prinsip 'tidak sekuler', tidak memisahkan agama dan kehidupan bermasyarakat. Dengan prinsip ini proses pembelajaran tidak akan menganggap bahwa belajar 'doktrin agama' lebih penting daripada 'belajar memanfaatkan alam'. Dalam Islam, memberdayakan lingkungan merupakan suatu ibadah yang berpahala. Bentuk ibadah aktual ini, menjadi 'doktrin' yang bisa diterapkan dalam kehidupan nyata.
Prinsip pembelajaran ini memang perlu ditegaskan sejak awal. Apabila tidak, sasaran pembelajaran akan mengalami pembiasan. Coba kita perhatikan, ketika peserta didik mengalami 'kebingungan' karena apa yang dipelajari di sekolah tidak bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Para tokoh masyarakat seperti Kyai atau pengusaha memiliki peran sangat penting dalam menentukan prinsip pembelajaran ini. Dengannya, akan terlihat nyata sebuah contoh bagi peserta didik bagaimana seharusnya memperoleh pengetahuan dan mengamalkan pengetahuan. Ilmu pengetahuan tidak hanya dihapal di luar kepala kemudian dilupakan begitu saja. Aplikasi teori ini menjadi sangat penting dalam proses belajar. Para tokoh yang menjadi contoh sekaligus sebagai sumber pengetahuan sepertinya akan lebih ditiru/diduplikasi. Anak muda bisa mempunyai gambaran mengenai  bagaimana dan seperti apa penerapan ilmu pengetahuan di kemudian hari.

Pemecahan Masalah
Ketika ada masalah menghadang kita, hal wajar akan terasa kebingungan. Kita bingung bagaimana menyelesaikan suatu masalah. Apalagi setiap orang memiliki permasalahannya sendiri, berbeda satu sama lain.  Cara yang bisa kita tempuh adalah, bertanya pada orang lain atau mencari tahu pemecahannya di buku, internet atau sumber lain. Setelah melakukan 'pencarian solusi', maka jangan aneh ketika solusi yang kita temukan tidak bisa begitu saja digunakan. Mengapa?
Ya, setiap orang memiliki solusi sendiri. Apabila kita belajar pada orang lain, belum tentu suatu solusi bisa persis sama dan 'siap pakai' untuk kita.  Perlu banyak penyesuaian. Untuk kondisi seperti inilah indigenous learning style ada. Kita dituntut untuk lebih beradaptasi dengan lingkungan sekitar dan berusaha untuk beradaptasi dengan masalah kita sendiri.
Kemampuan budaya belajar individu atau kelompok sosial dalam memecahkan berbagai persoalan yang timbul di lingkungannya sangat dipengaruhi oleh tiga hal yaitu : perilaku belajar yang adaptif, strategi belajar yang adaptif dan tindakan belajar yang adaptif (Bennet, 1976 dalam Ayi Olim, 2007).
Tidaklah mengherankan, apabila banyak diantara kita yang sulit untuk 'beradaptasi' dengan problematika yang ada karena sejak kecil tidak belajar untuk itu. Dalam proses belajar, sering kita dijauhkan dari realitas di sekitar  sehingga tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kita hanya tahu atas apa yang terlihat secara kasat mata. Namun, jarang diajarkan untuk memahami makna dari setiap peristiwa yang ada.
Misalnya, ketika musim hujan tiba di desa kita sering terjadi banjir. Hal yang kita tahu adalah peristiwa banjir yang dimana terjadi banyak genangan air di mana-mana. Sebaiknya, setiap anak diajarkan bagaimana memahami 'kenapa terjadi banjir' dan 'bagaimana menghadapi banjir' itu. Hal yang wajar, ketika banjir terus melanda apabila setiap generasi belum bisa memahami makna dari peritiwa banjir tersebut. Dan, banjir yang terjadi di desa kita belum tentu penyebabnya sama persis dengan banjir di daerah lain. Untuk itu, perlu pembelajaran yang 'sesuai' denga kebutuhan lokal.

Merekontruksi Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan dibangun oleh manusia dimana saja dan kapan saja. Saya cenderung mengikuti pemahaman bahwa ilmu pengetahuan tidak ada yang bisa mendominasi. Apakah ilmu itu datang dari peradaban lain ataupun datang dari peradaban kita sendiri. Hal terpenting adalah bagaimana ilmu itu bisa bermanfaat bagi kehidupan.
Apabila banyak diantara yang masih 'mengagungkan' ilmu pengetahuan dari Barat, maka sudah seharusnya kembali untuk 'mempertanyakan' relevansi ilmu pengetahuan itu dengan kebutuhan kita sendiri. Untuk mencapai relevansi itu, sudah selayaknya kita menelisik kembali ilmu apa yang telah dimiliki oleh budaya sendiri.
Indegenoeus Learning Style mencoba untuk mencari relevansi pengetahuan dengan realita masyarakat lokal. Gaya belajar ini tidak 'menelan bulat-bulat' ilmu dari buku atau media massa begitu saja tetapi mencobanya terlebih dahulu pada situasi lokal yang dihadapi. Ketika kita sudah 'menemukan' formula yang cocok untuk permasalahan yang kita hadapi, maka terlahirlah 'ilmu baru' yang cocok dengan konsep pembangunan yang sedang dijalani.
Pemahaman seseorang mengenai dunia di sekitarnya akan berbeda satu sama lain. Dalam usaha kita merekontruksi ilmu pengetahuan, maka peserta didik diajak untuk memahami realitas dari pengalaman langsung. Kegiatan belajar dan mengajar secara aktif. Melihat siswa sebagai pihak yang aktif dan harus dikembangkan peluangnya dalam mengkontuksi pemikiran. Kebenaran adalah sesuatu yang aktif dikonstruksi berdasarkan makna perseorangan dan bukan dibentuk oleh pihak lain. Merangsang pemikiran yang kritis. Pemahaman mengenai ide yang besar bukan pada kenyataan faktual. Lebih menekankan pada bagaimana belajar dan bukan pada penguasaan fakta. Siswa belajar bagaimana ia membentuk pemahaman mengenai dunia di sekitarnya. Ada motifasi spiritual dalam kegiatan belajar. Motifasi spiritual itulah yang menggerakan otak berpikir.

"Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur."
(QS. An-Nahl : 78)
"Dan Dialah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian, pendengaran, penglihatan dan hati. Amat sedikitlah kamu bersyukur."
(QS. Al-Mu'minuun : 78)

Ketika ilmu pengetahuan terbentuk dari seseorang, maka disitulah penting usaha pencatatan. Setelah menerima ilham atau inspirasi, ilmu pengetahuan yang ditemukan selayaknya didokumentasikan secara resmi di Pusat Informasi Terpadu yang dimiliki desa. Memang, akan ada perdebatan mengenai 'keabsahan' ilmu yang telah dicatatat. Tetapi, kita harus tahu bahwa ilmu pembangunan pedesaan merupakan ilmu yang bersifat subyektif. Artinya, ilmu tersebut tidak lahir dari kenyataan yang sudah ada secara kasat mata tetapi bisa datang dari pemahaman dari realita tidak nyata.

"Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur. "
(QS. Al – A'rof : 10)


Sumber :
Amien Rais dkk., Krisis Ilmu-ilmu Sosial dalam Pembangunan Di Dunia Ketiga, PLP2M, Yogyakarta: 1984.
Ayi Olim dkk., Teori Antropologi Pendidikan dalam Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, FIP-UPI, Imtima, Bandung: 2007.
Bahri Ghazali, Pesantren Berwawasan Lingkungan, Prasasti, Jakarta: 2003.
Napoleon Hill dan Harold Keown, Hidup Sukses dan Berhasil Melalui Keyakinan, Cahaya Abadi: 1978.
Nazwar Syamsu, Al-Qur'an tentang Al-Insaan, Ghalia Indonesia, Jakarta: 1983.
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat (Buku I), Cetakan 3, Bulan Bintang, Jakarta: 1981
Sulthon Masyud dkk., Manajemen Pondok Pesantren, Diva Pustaka, Jakarta: 2003.
Ziaduddin Sardar, Tantang Dunia Islam Abad 21 : Menjangkau Informasi, Mizan, Bandun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar...