Dalam usaha kita
membangun desa, perlu ada suatu pola belajar yang dapat menunjang pembangunan
pedesaan. Pola belajar itu harus bisa mengenalkan bagaimana menyelesaikan
masalah di pedesaan. Dengan begitu, diharapkan ada sumberdaya manusia yang bisa
memberikan solusi atas permasalahan yang terjadi di pedesaan.
Indigenous
learning styles adalah berupa
pendekatan dan strategi dalam memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang
tumbuh kembang pada setiap entitas, yang pada umumnya digunakan
dalam mempelajari perilaku pembelajaran individual dan kelompok yang menyatu
dengan akar budayanya sendiri. Indigenous learning styles dirumuskan
dalam : (1) belajar melalui observasi dan imitasi; (2) belajar melalui
pengalaman keseharian; (3) belajar melalui coba dan salah (trial and error);
(4) lebih menekankan pada
keterampilan untuk tugas tertentu; (5) lebih menekankan pada kemanusiaan dan
hubungan.
Sedangkan
pengetahuan indegenous memiliki makna yang mencakup : (1) pengetahuan
indegenous bersifat simpel dan praktis; (2) pengetahuan indegenous merupakan
cara pandang penganutnya dan menjadikan alat untuk mempertahankan diri baik
secara sosial, ekonomi, politik dan spiritual; (3) kata kunci dari pengetahuan
indegenous adalah kemampuan orang-orang untuk memahami dunia dari pandangan
yang paling sederhana dari sisi kemanusiaan; (4) pengetahuan indegenous
mengatur hubungan manusia dengan alam, termasuk dalam memelihara
keberlangsungan keduanya.
…
Tidak Sekuler
Beranjak
dari prinsip 'tidak sekuler', tidak memisahkan agama dan kehidupan bermasyarakat.
Dengan prinsip ini proses pembelajaran tidak akan menganggap bahwa belajar
'doktrin agama' lebih penting daripada 'belajar memanfaatkan alam'. Dalam
Islam, memberdayakan lingkungan merupakan suatu ibadah yang berpahala. Bentuk
ibadah aktual ini, menjadi 'doktrin' yang bisa diterapkan dalam kehidupan
nyata.
Prinsip
pembelajaran ini memang perlu ditegaskan sejak awal. Apabila tidak, sasaran
pembelajaran akan mengalami pembiasan. Coba kita perhatikan, ketika peserta
didik mengalami 'kebingungan' karena apa yang dipelajari di sekolah tidak bisa
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Para
tokoh masyarakat seperti Kyai atau pengusaha memiliki peran sangat penting
dalam menentukan prinsip pembelajaran ini. Dengannya, akan terlihat nyata
sebuah contoh bagi peserta didik bagaimana seharusnya memperoleh pengetahuan
dan mengamalkan pengetahuan. Ilmu pengetahuan tidak hanya dihapal di luar kepala
kemudian dilupakan begitu saja. Aplikasi teori ini menjadi sangat penting dalam
proses belajar. Para tokoh yang menjadi contoh sekaligus sebagai sumber
pengetahuan sepertinya akan lebih ditiru/diduplikasi. Anak muda bisa mempunyai
gambaran mengenai bagaimana dan
seperti apa penerapan ilmu pengetahuan di kemudian hari.
…
Pemecahan
Masalah
Ketika ada masalah menghadang kita, hal wajar
akan terasa kebingungan. Kita bingung bagaimana menyelesaikan suatu masalah.
Apalagi setiap orang memiliki permasalahannya sendiri, berbeda satu sama lain. Cara yang bisa kita tempuh adalah, bertanya
pada orang lain atau mencari tahu pemecahannya di buku, internet atau sumber
lain. Setelah melakukan 'pencarian solusi', maka jangan aneh ketika solusi yang
kita temukan tidak bisa begitu saja digunakan. Mengapa?
Ya, setiap orang memiliki solusi sendiri.
Apabila kita belajar pada orang lain, belum tentu suatu solusi bisa persis sama
dan 'siap pakai' untuk kita. Perlu
banyak penyesuaian. Untuk kondisi seperti inilah indigenous learning style ada.
Kita dituntut untuk lebih beradaptasi dengan lingkungan sekitar dan berusaha
untuk beradaptasi dengan masalah kita sendiri.
Kemampuan budaya belajar individu atau kelompok
sosial dalam memecahkan berbagai persoalan yang timbul di lingkungannya sangat
dipengaruhi oleh tiga hal yaitu : perilaku belajar yang adaptif, strategi
belajar yang adaptif dan tindakan belajar yang adaptif (Bennet, 1976 dalam Ayi
Olim, 2007).
Tidaklah mengherankan, apabila banyak diantara
kita yang sulit untuk 'beradaptasi' dengan problematika yang ada karena sejak
kecil tidak belajar untuk itu. Dalam proses belajar, sering kita dijauhkan dari
realitas di sekitar sehingga tidak
pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kita hanya tahu atas apa yang terlihat
secara kasat mata. Namun, jarang diajarkan untuk memahami makna dari setiap
peristiwa yang ada.
Misalnya, ketika musim hujan tiba di desa kita
sering terjadi banjir. Hal yang kita tahu adalah peristiwa banjir yang dimana
terjadi banyak genangan air di mana-mana. Sebaiknya, setiap anak diajarkan
bagaimana memahami 'kenapa terjadi banjir' dan 'bagaimana menghadapi banjir'
itu. Hal yang wajar, ketika banjir terus melanda apabila setiap generasi belum
bisa memahami makna dari peritiwa banjir tersebut. Dan, banjir yang terjadi di
desa kita belum tentu penyebabnya sama persis dengan banjir di daerah lain.
Untuk itu, perlu pembelajaran yang 'sesuai' denga kebutuhan lokal.
Merekontruksi
Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan dibangun oleh manusia dimana
saja dan kapan saja. Saya cenderung mengikuti pemahaman bahwa ilmu pengetahuan
tidak ada yang bisa mendominasi. Apakah ilmu itu datang dari peradaban lain
ataupun datang dari peradaban kita sendiri. Hal terpenting adalah bagaimana
ilmu itu bisa bermanfaat bagi kehidupan.
Apabila banyak diantara yang masih
'mengagungkan' ilmu pengetahuan dari Barat, maka sudah seharusnya kembali untuk
'mempertanyakan' relevansi ilmu pengetahuan itu dengan kebutuhan kita sendiri. Untuk
mencapai relevansi itu, sudah selayaknya kita menelisik kembali ilmu apa yang
telah dimiliki oleh budaya sendiri.
Indegenoeus Learning Style mencoba untuk
mencari relevansi pengetahuan dengan realita masyarakat lokal. Gaya belajar ini
tidak 'menelan bulat-bulat' ilmu dari buku atau media massa begitu saja tetapi mencobanya
terlebih dahulu pada situasi lokal yang dihadapi. Ketika kita sudah 'menemukan'
formula yang cocok untuk permasalahan yang kita hadapi, maka terlahirlah 'ilmu
baru' yang cocok dengan konsep pembangunan yang sedang dijalani.
Pemahaman seseorang mengenai dunia di
sekitarnya akan berbeda satu sama lain. Dalam usaha kita merekontruksi ilmu
pengetahuan, maka peserta didik diajak untuk memahami realitas dari pengalaman
langsung. Kegiatan belajar dan mengajar secara aktif. Melihat siswa sebagai
pihak yang aktif dan harus dikembangkan peluangnya dalam mengkontuksi
pemikiran. Kebenaran adalah sesuatu yang aktif dikonstruksi berdasarkan makna
perseorangan dan bukan dibentuk oleh pihak lain. Merangsang pemikiran yang
kritis. Pemahaman mengenai ide yang besar bukan pada kenyataan faktual. Lebih
menekankan pada bagaimana belajar dan bukan pada penguasaan fakta. Siswa
belajar bagaimana ia membentuk pemahaman mengenai dunia di sekitarnya. Ada
motifasi spiritual dalam kegiatan belajar. Motifasi spiritual itulah yang
menggerakan otak berpikir.
"Dan Allah
mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun,
dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu
bersyukur."
(QS.
An-Nahl : 78)
"Dan Dialah
yang telah menciptakan bagi kamu sekalian, pendengaran, penglihatan dan hati.
Amat sedikitlah kamu bersyukur."
(QS.
Al-Mu'minuun : 78)
Ketika ilmu pengetahuan terbentuk dari
seseorang, maka disitulah penting usaha pencatatan. Setelah menerima ilham atau
inspirasi, ilmu pengetahuan yang ditemukan selayaknya didokumentasikan secara
resmi di Pusat Informasi Terpadu yang dimiliki desa. Memang, akan ada
perdebatan mengenai 'keabsahan' ilmu yang telah dicatatat. Tetapi, kita harus
tahu bahwa ilmu pembangunan pedesaan merupakan ilmu yang bersifat subyektif.
Artinya, ilmu tersebut tidak lahir dari kenyataan yang sudah ada secara kasat
mata tetapi bisa datang dari pemahaman dari realita tidak nyata.
"Sesungguhnya
Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di
muka bumi (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur. "
(QS. Al – A'rof : 10)
Sumber
:
Amien
Rais dkk., Krisis Ilmu-ilmu Sosial dalam Pembangunan Di Dunia Ketiga,
PLP2M, Yogyakarta: 1984.
Ayi
Olim dkk., Teori Antropologi Pendidikan dalam Ilmu dan Aplikasi
Pendidikan, FIP-UPI, Imtima, Bandung: 2007.
Bahri
Ghazali, Pesantren Berwawasan Lingkungan, Prasasti, Jakarta: 2003.
Napoleon
Hill dan Harold Keown, Hidup Sukses dan Berhasil Melalui Keyakinan,
Cahaya Abadi: 1978.
Nazwar
Syamsu, Al-Qur'an tentang Al-Insaan, Ghalia Indonesia, Jakarta: 1983.
Sidi
Gazalba, Sistematika Filsafat (Buku I), Cetakan 3, Bulan Bintang,
Jakarta: 1981
Sulthon
Masyud dkk., Manajemen Pondok Pesantren, Diva Pustaka, Jakarta: 2003.
Ziaduddin Sardar, Tantang Dunia Islam Abad 21 : Menjangkau
Informasi, Mizan, Bandun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar...