Selasa, 29 Agustus 2023

Merasa Terjebak Dalam Budaya yang Tidak Sesuai Keinginan

 

Burung Cekakak Sungai

Pernahkah anda berpikir jika diri anda terlahir di tempat yang salah? 

Merasa dilingkupi oleh budaya yang tidak membuat raga tak nyaman serta hati tak tenteram. Orang-orang di sekitar menjadi pihak yang senantiasa bertolak belakang dalam berbagai prinsip dan cara pandang terhadap dunia sekitarnya. 

Saya pun terkadang merasa demikian. Merasa sulit untuk menerima jika ada "gap" antara harapan dan kenyataan. Bahkan terpikir jika diri ini salah tempat lahir. Dunia di sekitar kita malah menjadi beban psikologis bukannya pemicu untuk tetap berpikir maju. 

Ada banyak hal yang tidak disetujui ketika mencermati budaya negeri sendiri. Misalnya, warga tidak peduli kepada masalah kerapihan dan kebersihan. 

Di negeri ini, problematika sampah akan terus bergulir hingga generasi selanjutnya. Permasalahan bukan hanya dalam tataran teknis. Namun, saya yakin jika ini sudah menjadi masalah psikologis. Dimana setiap individu warga memang tidak berpikir jika kebersihan merupakan salah satu cara untuk meningkatkan harga diri agar lebih dihormati.

Ada contoh lain yang membuat saya merasa terjebak dalam lingkungan budaya yang tidak dikehendaki. Budaya kolektif kita sangat mengunggulkan tren dibandingkan keunikan pribadi. Warga pun sangat mengedepankan tren sesaat bukan berusaha menggali potensi setiap diri.

Dalam keadaan demikian, saya merasa bingung. Apakah harus mengikuti arus budaya atau "beda sendiri" diantara keseragaman tipe manusia?


Mencari Keunikan 

Saya pikir, daripada marah-marah serta menyalahkan keadaan mendingan kita mencari keunikan dari lingkungan sekitar.  Kendalikan pikiran, jangan sampai emosi sesaat malah mengaburkan masalah sebenarnya yang kita hadapi. 

Diantara sekian banyak hal yang tidak  disukai dari sekitar, saya yakin ada satu atau dua hal yang kita sukai. 

Mensyukuri hal yang  disukai tersebut sambil menegaskan dalam hati, "oh, ternyata masih ada hal yang patut aku syukuri." Mungkin kita hidup di tengah tumpukan sampah yang membuat sesak namun ada barang bekas yang masih bisa dimanfaatkan. Bahkan, tumpukan sampah itu sendiri benar-benar menjadi berkah bagi orang yang pandai mengolah.

Diawali dengan "mengolah" pikiran. Lantaran, semua berawal dari sana. 

Terkadang, manusia hanya berfokus kepada sekumpulan fakta-fakta. Tumpukan fakta itu direspon dengan cara yang keliru. Kita tidak mengolah fakta-fakta tersebut sebagai sebuah informasi yang berguna. Alhasil, pikiran menjadi lelah tanpa tahu harus melakukan apa. 

Andaikan bisa mengolah informasi dengan baik, saya yakin kita bisa menemukan keunikan diantara tumpukan "sampah" informasi yang tersedia. Bisa saja kelakukan tetangga yang tidak berkenan di hati, polusi udara yang menyesakkan pernafasan atau konflik dengan saudara yang tak kunjung reda. Nah, sekumpulan fakta tersebut semestinya bisa kita olah sehingga bisa "menemukan" celah keunikannya. 

Saya sendiri akan menjadikan hal demikian sebagai sumber inspirasi untuk menulis naskah cerita. Terlepas dari dinamika di sekitar, pada realitanya keputusan ada di tangan kita. Apakah akan menjadikannya sebagai sumber kesulitan atau sumber pendapatan?


Senin, 07 Agustus 2023

Minat dan Bakat sebagai Modal Membangun Desa

Gambar Anak

Saya menelaah cukup lama hubungan antara minat dan bakat dengan pembangunan di pedesaan. Tentu saja bukan telaah sebagaimana seorang peneliti dari lembaga ilmiah mengenai suatu objek namun sekedar telaah dengan pandangan mata. Semata berdasarkan pengamatan sederhana kemudian disimpulkan sementara agar memperoleh pelajaran penting dari pengamatan tersebut. 

Dalam beberapa waktu terakhir, saya mengamati jika orang-orang yang belum bisa menemukan minat dan bakatnya sejak dini memang akan dibingungkan oleh keadaan pedesaan yang minim stimulus. Di desa, rangsangan untuk berkreasi tidaklah sebanyak di perkotaan. Roda ekonomi yang berputar lambat ternyata tidak bisa menyadarkan seseorang akan minat dan bakatnya. 

Dalam pengamatan saya, jikalau seseorang tidak mengikuti minat dan bakatnya, ternyata membuat dia frustasi bahkan menjadi pemalas. Dalam kehidupan di desa, orang-orang yang enggan bergerak dan bertindak sungguh kentara. Kesehariannya hanya diisi dengan keluh kesah tentang banyak perkara.

Memang, bukan hal mudah menentukan apa minat dan bakat seseorang apalagi di tengah minimnya impuls dari sekitar. Hanya saja, ketika dia terus berusaha mencari maka disanalah produktifitas itu akan berlangsung. Tidak hanya diam menunggu seseorang mengajak atau malah menunggu "wangsit" turun dari langit. 

Berusaha mencari itu sendiri akan menimbulkan keadaan hidup yang lebih dinamis. Tidak stagnan sebagaimana seseorang yang duduk termangu. Pencarian merupakan kegiatan yang bisa berdampak, setidaknya pada pembentukan karakter mental seseorang. 

Apabila tidak ada kegiatan mencari, maka bisa dibayangkan tidak ada kegiatan yang berimbas kepada perubahan. Memang tidak akan terlihat dampaknya jika hanya dilakukan oleh satu orang. Tetapi, jika banyak orang berdiam diri maka akan jelas terlihat betapa kehidupan menjadi "mati".

Saya selalu percaya jika pencarian minat dan bakat bakat memberikan dampak kepada diri seseorang. Karena masa pencarian itu sendiri memberikan makna kepada dirinya sebagai individu. 

Manusia tercipta bukan tanpa alasan. Ketika dia hadir di muka bumi maka diharuskan menciptakan dampak bagi sekelilingnya. 

Hanya saja, kultur bisa menghambat seseorang menemukan minat dan bakatnya sendiri. Di kampung saya, seorang anak tidak diarahkan untuk mengenali minat dan bakatnya sejak dini. Wajar jika ketika dewasa dia tidak bisa menemukan "apa yang diinginkan dalam hidup".

Kami masih menganggap jika minat dan bakat hanya sebuah slogan semata. Minat dan bakat masih terkotak pada bidang-bidang yang menawarkan kemewahan serta gaji besar. Padahal, minat dan bakat bisa saja mengenai hal-hal sederhana.

Siapa tahu jika seorang anak terlahir berminat dan berbakat untuk menggali selokan? 

Apakah hal demikian hanya akan dianggap sebagai "angin lalu". Bahkan banyak orang dewasa melarangnya melakukan hal demikian karena dianggap sebagai pekerjaan kotor dan murahan. Alhasil, dia tidak menyadari jika membuat selokan di seantero desa memang sudah menjadi tugas dia serta menghasilkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan. 

Menurut saya, sekarang bukan zamannya lagi bagi orang dewasa untuk mengkotak-kotakkan minat dan bakat pada sebuah profesi. Karena besok-lusa pekerjaan yang didambakan banyak orang bisa saja sirna tergantikan oleh kecerdasan buatan. Mungkin ada "sesuatu yang baru" mengenai persepsi minat dan bakat itu sendiri. Karena alasan itu pula orang dewasa jangan menjadi pihak yang paling keras kepala dan merasa paling mengerti tentang masa depan anaknya. 

Saya percaya, minat dan bakat sangat unik bahkan spesifik pada setiap orang. Misalnya, saya suka menggambarkan apa yang ada dalam pikiran. Bukan berarti harus menjadi pelukis. Bisa saja menjadi seorang penulis. Andaikan sarana tidak memadai, kita bisa menggambarkan isi pikiran dalam sehelai daun atau di permukaan kayu sebagaimana orang-orang purba memahat ide-ide di permukaan batu.

Jadi, tidak ada alasan bagi siapa pun untuk tidak mencari apa minat dan bakatnya. Karena alasan hanya akan menjadi penghambat untuk membuat pikiran lebih terbuka pada setiap kesempatan yang ada ... di depan mata!