Saya pernah bertanya-tanya dalam hati, apa yang
sebenarnya diinginkan para orang tua bagi masa depan anak-anaknya? Ini penting
bagi saya karena ada banyak anak muda yang mengalami kebingungan ketika
membayangkan bagaimana masa depannya. Dalam kondisi begitu, para orang tua
mempunyai andil dengan memberikan mereka saran bahkan 'perintah' untuk
melangkah meniti jalan hidupnya.
Ketika ada keserasian antara pendapat orang tua
dan keinginan anak maka jalan hidup 'terasa mulus' berjalan. Tidak ada
pertentangan. Tetapi masalah timbul ketika adanya perbedaan pandangan dan
keinginan orang tua tentang bagaimana masa depan anaknya kelak. Misalnya, si
orang tua menginginkan anaknya menjadi seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS)
sedangkan anaknya ingin menjadi seorang musisi. Dan masih banyak contoh yang terjadi.
Ada perbedaan pandangan yang sangat mendasar
tentang bagaimana seseorang ingin 'menciptakan' masa depannya. Pertama, ada
orang yang senang menjalankan rencana orang lain yakni dengan menjadi
pekerja/karyawan. Kedua, ada orang yang senang menjalankan rencananya sendiri
yakni dengan menjadi seorang pengusaha/entreupreuneur. Perbedaan mendasar ini
jelas sangat mempengaruhi bagaimana orang tua mengarahkan anak-anaknya untuk
menempuh jalur pendidikan atau jalur profesi. Orang tipe Pertama, tentu saja
lebih yakin akan kesuksesan anaknya jika menjadi PNS. Sedangkan orang tipe
Kedua justru merasa yakin jika anaknya menjadi musisi karena hal itu yang
menjadi hasrat hidupnya.
Kenapa Orang Tua Enggan Menyarankan Anaknya Untuk Hidup Di Pedesaan
Pertanyaan di atas bisa terjawab apabila kita
mengetahui apa yang dikhayalkan para orang tua tentang masa depan anaknya.
Mungkin, para orang tua di pedesaan menginginkan anaknya sukses dan hidup
bahagia tetapi sepertinya bingung apabila itu dicapai di kampung sendiri. Pada
kenyataannya, kehidupan orang tua pun tidak kunjung membaik. Mereka didera
orang sikap putus asa akan kehidupan pedesaan yang tidak bisa memberikan
kesempatan lebih baik bagi taraf hidup generasi penerusnya.
Para orang tua sepertinya tidak mengkhayalkan
akan masa depan desanya yang semakin membaik di kemudian hari. Mereka
beranggapan bahwa kehidupan pedesaan tidak akan berubah menjadi lebih baik.
Sehingga, mereka khawatir anaknya bernasib sama dengannya. Alhasil, orang tua
menyuruh anaknya untuk merantau dan meninggalkan kampung halamannya. Dengan
alasan, sudah menjadi kewajiban _terutama lelaki dewasa_ untuk mencari kerja
(bukan menyiptakan lapangan kerja).
Anehnya, orang tua yang sudah punya usaha pun
tidak ingin anaknya meneruskan usahanya karena dianggap masih kecil dan tidak
memperoleh hasil yang diinginkan. Mereka lebih suka anaknya menempuh pendidikan
tinggi dan mencari kerja di perkotaan. Mungkin mereka berpikir jikalau usahanya
tidak bisa memberikan harapan lebih besar untuk kelangsungan hidup keluarganya.
Atau, memang para pengusaha kecil ini tidak ingin usahanya membesar dan
diteruskan oleh keturunannya untuk kesejahteraan banyak orang.
Saya melihat para orang tua di pedesaan memang
tidak mempersiapkan masa depan desa untuk anaknya. Apa yang sedang
dikerjakan sepertinya bukan dalam rangka
menyiapkan kehidupan yang lebih baik desanya. Ada banyak orang tua bekerja
sekedar memenuhi kebutuhan hidup jangka pendek. Sehingga, sudah bertahun-tahun
bekerja belum mendapatkan hasil maksimal karena memang tidak mengharapkan hasil
yang besar. Penyesalan terjadi ketika anak-anaknya tidak mendapatkan pekerjaan
yang diharapkan. Bisa jadi karena orang tua tidak berniat membuka lapangan
kerja baru untuk generasi penerusnya. Ingat, pembuka lapangan kerja baru bukan
pemerintah tetapi warga negera itu sendiri _para pengusaha.
Maka dari itu, sebagai generasi muda sudah
selayaknya kita menyiapkan segalanya untuk kehidupan kita di pedesaan. Kita
tidak sekedar memenuhi kebutuhan hidup saat ini tetapi berinvestasi bagi masa
depan. Islam pun sangat menganjurkan untuk membangun kehidupan dunia sebagai
bentuk ibadah tertinggi pada Yang Maha Kuasa.
Kegiatan Keseharian sebagai Investasi Masa Depan
Apakah ini menjadi bagian dari tradisi atau
bukan ketika orang desa melakukan kegiatan sehari-hari bukan bagian dari
persiapannya untuk menyambut masa depan. Semua berawal dari pikiran. Warga
lebih sering dikendalikan oleh keadaan bukan mengendalikan keadaan. Mungkin,
masyarakat desa tidak membiasakan diri untuk 'menyiptakan masa depannya
sendiri'. Justru, masa depan baginya adalah sesuatu yang buram. Dalam
bayangangannya, masa depan adalah ketidakpastian. Harapan pada Pemerintah
begitu kuat padahal masa depan ada di tangan mereka sendiri.
Mungkin, pemahaman agama yang keliru juga sangat
mempengaruhi cara berpikir kita. Orang berpikir jika masa depan ada di tangan
Yang Maha Kuasa jadi kita tidak boleh campur tangan akan 'rencana-Nya'. Padahal,
bukankah Alloh juga memberikan keleluasaan kepada manusia untuk menentukan
nasibnya sendiri. Lalu, kenapa kita tidak mencoba untuk memikirkan masa depan
demi generasi penerus kita.
Ada banyak cerita bagaimana para petani di
Amerika berjuang untuk menyiptakan masa depan mereka. Setiap detik waktu dan
tenaga yang dikeluarkan menjadi sarana untuk membuat kehidupan yang lebih baik
di kemudian hari. Apa yang mereka peroleh hari ini tidaklah dicapai dalam waktu
instan. Padahal mereka adalah para perantau dari negeri jauh yang sepertinya
memiliki kondisi 'yang tidak menentu'. Mereka yakin bahwa apa yang dilakukan
setiap hari adalah demi perbaikan kondisi untuk generasi setelahnya.
Bentang alam Indonesia yang indah ini, menjadi
modal tidak terkirakan dari Yang Maha Kuasa untuk sebuah kehidupan indah.
Tetapi, sampai kapan kita semua bisa menyadari ini semua. Keengganan anak muda
untuk mengolah lahan dan memanfaatkan alam mungkin buah dari keengganan para
orang tua untuk 'sekedar berkhayal' tentang generasi penerusnya. Bagi
kebanyakan kita, bongkahan batu ya sekedar batu. Bagi para pengkhayal batu
adalah tumpukan uang untuk membangun peradaban. Ya, semua memang berawal dari
apa yang kita pikirkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar...