Saya mencoba untuk
memahami apa yang dipikirkan oleh orang desa pada umumnya. Apa yang saya
teliti, terbatas pada realita di tempat tinggal saya di Desa Sukamerang,
Kecamatan Kersamanah, Kabupaten Garut. Maka dari itu, tidak bisa menjadi
'generalisasi' dari kondisi orang desa di Indonesia secara keseluruhan. Namun,
denga bantuan kepustakaan maka saya bisa menarik garis besar mental orang desa
pada umumnya.
Sebagai manusia, baik orang desa maupun orang
kota, mempunyai keunikan tersendiri yang tidak bisa disamaratakan begitu saja.
Pendekatan generalisasi karakter tidak saya lakukan karena itu akan mendapatkan
banyak 'penolakan'. Termasuk saya, tidak setuju apabila harus memahami isi
pikiran orang desa harus menggunakan 'teori-teori' yang sudah ada. Bisa jadi,
teori itu menyesatkan siapa pun yang menggunakannya. Alhasil, ketika akan
menelorkan kebijakan mengenai pembangunan pedesaan kita cenderung 'pukul rata'.
Mendeskripsikan/memaparkan fenomena suatu
masyarakat desa dengan keunikannya itu lebih bijaksana dibandingkan memaparkan 'opini-opini'
yang muncul. Misalnya, opini mengenai orang desa yang cenderung 'bodoh' karena
rendahnya pendidikan. Pendapat itu tidak bisa diterima begitu saja karena tidak
ada ukuran yang jelas mengenai kebodohan. Lagipula, ilmu pengetahuan bisa
didapat dimana saja tanpa harus mengenyam pendidikan formal, dengan pegalaman,
misalnya.
Berdasarkan opini ini, Pemerintah dan masyarakat
umum ramai-ramai menggalakan pendidikan di pedesaan dengan harapan membentuk
manusia yang 'pintar'. Namun, ternyata begitu banyak jebakan pengetahuan yang
diterima orang desa itu sendiri. Misalnya, begitu banyak ilmu yang tidak
relevan dengan kehidupan pedesaan. Sehingga, naiknya tingkat pendidikan tidak
serta merta menaikan tingkat kesejahteraan warga desa. Masih jauh, apabila
selaras dengan laju pertumbuhan di desa tersebut. Tidaklah heran jika
Pemerintah sendiri sangat menyarankan untuk melakukan 'penyesuaian-penyesuaian'
dalam kurikulum pendidikan yang berlaku.
Apa yang Ada Dalam Pikiran Manusia?
Beberapa hal akan saya uraikan mengenai apa
yang ada dalam pikiran manusia pada umumnya. Kemudian, secara subjektif mencoba
untuk menelaah apa yang dipikirkan warga desa di tempat saya tinggal. Memang,
alangkah sulit mengetahui 'isi otak' manusia namun hal itu bisa dipahami dengan
memperhatikan ekspresi-ekspresi yang terlihat dari luar.
Menelaah suatu budaya berdasarkan keumuman
mulai ditinggalkan banyak peneliti karena dianggap tidak 'fair'. Hanya saja,
demi efisiensi penelitian tetap dilakukan pada sebagian warga dengan cara sampling.
Agar terlihat realisitis, saya coba memaparkan contoh dengan tokoh nyata
layaknya suatu laporan jurnalistik.
Berdasarkan Ilmu Budaya Dasar ada beberapa hal
yang 'biasa dipikirkan' manusia dalam dirinya, diantaranya cinta kasih,
keindahan, penderitaan, keadilan, pandangan hidup, tanggung jawab, kegelisahan,
harapan, kematian dan keyakinan. Saya akan membahasnya beberapa diantaranya
hanya untuk menggambarkan apa yang terjadi.
Harapan : Pesimisme vs Optimisme
Manusia memiliki harapan, sebagai orang normal.
Apa yang diharapkan setiap orang sangatlah berbeda. Entah darimana datangnya
suatu harapan itu. Ada yang menyatakan bahwa harapan datang dari persepsi
seseorang mengenai kehidupan dunia ini. Persepsi itu bisa kita sebut filsafat
hidup, prinsip hidup atau apa pun itu. Persepsi-persepsi dia bisa dipengaruhi
oleh pemahaman agama, ilmu pengetahuan, lingkungan keluarga, lingkungan kerja
dsb..
Harapan dalam kehidupan manusia merupakan
cita-cita, keinginan, penantian, kerinduan akan sesuatu supaya itu terjadi.
Dalam menantikan adanya sesuatu yang terjadi dan diharapkan, manusia melibatkan
menusia lain atau kekuatan lain di luar dirinya supaya sesuatu terjadi, selain
hasil usahanya yang telah dilakukan dan ditunggu hasilnya. Jadi, yang
diharapkan itu adalah hasil jerih payah dirinya dan bantuan kekuatan lain. Bahkan,
harapan itu tidak bersifat egosentris, berbeda dengan keinginan yang menurut
kodratnya bersifat egosentris, usahanya ialah memiliki. Harapan tertuju kepada
"Engkau", sedangkan keinginan kepada "Aku". Harapan itu
ditujukan kepada orang lain atau kepada Tuhan. Keinginan itu untuk kepentingan
dirinya, meskipun pemenuhan keinginan itu melalui pemenuhan keinginan orang
lain.
Menurut macamnya, ada harapan yang optimis dan
ada harapan yang pesimis (tipis harapan). Harapan yang optimis artinya seseuatu
yang akan terjadi itu sudah memberikan tanda-tanda yang dapat dianalisis secara
rasional, bahwa sesuatu yang akan terjadi bakal muncul. Dalam harapan yang
pesimistis ada tanda-tanda rasional bakal tidak terjadi.
…
Mengenai optimisme ini, saya pernah mendengar
langsung pengalaman teman saya. Suatu ketika dia menempelkan gambar kendaraan,
gedung mewah, Ka'bah dan banyak harapan hidupnya ditempel di dinding kamar.
Lucunya, suadara laki-lakinya memberikan nasihat yang justru memberikan kesan
pesimis, "Jangan berharap terlalu tinggi, nanti bisa gila."
Hah, mendengar itu saya agak geli. Kok, begitu
ya, ketika suatu harapan tinggi ada dalam benak seseorang justru ada 'bisikan
halus' yang malah menurunkan harapan itu. Parahnya, penurunan itu ke tingkat
terendah. Saya mulai bertanya, apakah sebagian besar orang di desa saya seperti
itu. Mereka takut berharap banyak akan masa depannya sendiri dan masa depan
orang lain.
Teman saya itu memang memiliki pola pengharapan
yang tinggi karena diajarkan begitu oleh gurunya ketika di pesantren. Dengan
pemahaman agama yang 'khas' maka dia menggantungkan harapan setinggi yang dipikirkannya.
Sedangkan kakaknya belum mendapatkan pemahaman seperti itu dari sumber mana
pun. Dapat dimengerti, bahwa interaksi seseorang dengan lingkungan turut
mempengaruhi cara berpikir manusia.
…
Pesimisme kalau sudah berjangkit pada jiwa
seseorang maka akan membuatnya menjadi lamban bergerak karena setiap langkahnya
akan senantiasa dipengaruhi oleh khayalan-khayalan dan bayangan-bayangan yang
menakutkan dan mengecewakan yang dikhayalkan akan menimpa dirinya, maka
akibatnya sikapnya menjadi ragu dan langkahnya tak pernah mantap.
Sebaliknya, optimisme membuat orang senantiasa
tegar, penuh harapan dalam menatap masa depannya, jauh dari bayangan kekecewaan
dan kecemasan. Kalau timbul problema akan dipecahkan dengan cara yang wajar dan
rasional atau kembali kepada tuntunan Illahi.
Tentang pesimisme dan optimisme ini Nabi SAW
pernah bersabda:
"Siapa yang
(rencana/tujuannya) dapat digagalkan oleh tathoyyur (pesimisme) maka
benar-benar ia telah syirik." (HR. Ahmad dan Thobroni)
Pernah
disebut-sebut (pesimisme) di sisi Nabi SAW, lalu ia bersabda demikian :
"Yang lebih baik adalah optimisme dan hendaknya tathoyyur (pessimisme) itu
tidak sampai menggagalkan (tujuan/rencana) seorang Muslim." (HR. Abu Daud)
Nabi Ya'qub sebagaimana dikisahkan dalam
Al-Qur'an menasihati putra-putranya demikian:
"Dan
janganlah kalian berputus asa dari (meraih) rahmat Alloh karena sesungguhnya
tidak biasa berputus asa dari (meraih) rahmat Alloh melainkan orang-orang
kafir." (QS. 12:87 )
…
Memahami harapan seorang manusia memang
tidaklah mudah, maka dari itu saya mencoba 'merasakan' apa yang sebenarnya
dirasakan oleh orang desa dalam situasi yang kurang lebih sama dengan mereka.
Menjadi petani dengan penghasilan yang tidak menentu, juga berhadapan langsung
dengan suasana alam yang kurang bersahabat.
Setelah beberapa lama berada dalam situasi itu,
saya mulai mencoba merasakan seperti apa kiranya bila menjadi orang desa dengan
segala 'kesulitan' yang dihadapinya. Hal yang bisa dipahami apabila banyak yang
mengeluh betapa kehidupan di desa belum bisa dijadikan andalan untuk
meningkatkan kesejahteraan. Alasan yang bisa diterima jika banyak orang desa
pergi meninggalkan tempat kelahirannya untuk bisa meraih apa yang
diharapkannya.
Sebagaimana yang sering disinggung banyak
orang, harapan kesejahteraan menjadi 'topik utama' pembicaraan orang desa.
Harapan akan hasil panen yang melimpah, harapan akan pekerjaan yang mapan,
harapan akan keuntungan dalam perdagangan atau harapan akan pendidikan anak
yang tinggi supaya bisa mengangkat status keluarga.
Harapan-harapan itu seakan menjadi hal yang
umum dan lumrah bagi banyak orang. Apakah tidak lagi yang diharapkan selain
itu? Apakah ada orang yang berharap desanya menjadi makmur di kemudian hari?
Ataukah adakah yan berharap desanya menjadi pusat bisnis di masa depan? Dalam
hal ini jarang kita temui. Kalau pun ada yang berharap desanya maju, hanya
tercetus dari pada 'tokoh' masyarakat yang jumlahnya sedikit.
Harapan-harapan yang 'standar' itu muncul bisa
jadi karena belum adanya rangsangan yang bisa meningkatkan harapan mereka ke
tingkat yang lebih tinggi. Apakah warga desa _pada umumnya_ belum bisa meresapi
bahwa tugasnya hidup di dunia ini tidak hanya melulu mengurusi kebutuhan rumah
tangga tetapi juga mempunyai tanggung jawab untuk mengurus komunitas dan alam
sekitarnya. Tingginya harapan, bukan sebagai pengejawantahan dari 'khayalan
tidak karuan' tetapi juga sebagai 'wujud keinginan untuk mengabdikan diri lebih
optimal' lagi. Bukankah kita ingin pahala yang besar di sisi Alloh SWT?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar...