Harapan : Pesimisme vs Optimisme
Manusia memiliki harapan, sebagai orang normal.
Apa yang diharapkan setiap orang sangatlah berbeda. Entah darimana datangnya
suatu harapan itu. Ada yang menyatakan bahwa harapan datang dari persepsi
seseorang mengenai kehidupan dunia ini. Persepsi itu bisa kita sebut filsafat
hidup, prinsip hidup atau apa pun itu. Persepsi-persepsi dia bisa dipengaruhi
oleh pemahaman agama, ilmu pengetahuan, lingkungan keluarga, lingkungan kerja
dsb..
Harapan dalam kehidupan manusia merupakan
cita-cita, keinginan, penantian, kerinduan akan sesuatu supaya itu terjadi.
Dalam menantikan adanya sesuatu yang terjadi dan diharapkan, manusia melibatkan
menusia lain atau kekuatan lain di luar dirinya supaya sesuatu terjadi, selain
hasil usahanya yang telah dilakukan dan ditunggu hasilnya. Jadi, yang
diharapkan itu adalah hasil jerih payah dirinya dan bantuan kekuatan lain. Bahkan,
harapan itu tidak bersifat egosentris, berbeda dengan keinginan yang menurut
kodratnya bersifat egosentris, usahanya ialah memiliki. Harapan tertuju kepada
"Engkau", sedangkan keinginan kepada "Aku". Harapan itu
ditujukan kepada orang lain atau kepada Tuhan. Keinginan itu untuk kepentingan
dirinya, meskipun pemenuhan keinginan itu melalui pemenuhan keinginan orang
lain.
Menurut macamnya, ada harapan yang optimis dan
ada harapan yang pesimis (tipis harapan). Harapan yang optimis artinya seseuatu
yang akan terjadi itu sudah memberikan tanda-tanda yang dapat dianalisis secara
rasional, bahwa sesuatu yang akan terjadi bakal muncul. Dalam harapan yang
pesimistis ada tanda-tanda rasional bakal tidak terjadi.
…
Mengenai optimisme ini, saya pernah mendengar
langsung pengalaman teman saya. Suatu ketika dia menempelkan gambar kendaraan,
gedung mewah, Ka'bah dan banyak harapan hidupnya ditempel di dinding kamar.
Lucunya, suadara laki-lakinya memberikan nasihat yang justru memberikan kesan
pesimis, "Jangan berharap terlalu tinggi, nanti bisa gila."
Hah, mendengar itu saya agak geli. Kok, begitu
ya, ketika suatu harapan tinggi ada dalam benak seseorang justru ada 'bisikan
halus' yang malah menurunkan harapan itu. Parahnya, penurunan itu ke tingkat
terendah. Saya mulai bertanya, apakah sebagian besar orang di desa saya seperti
itu. Mereka takut berharap banyak akan masa depannya sendiri dan masa depan
orang lain.
Teman saya itu memang memiliki pola pengharapan
yang tinggi karena diajarkan begitu oleh gurunya ketika di pesantren. Dengan
pemahaman agama yang 'khas' maka dia menggantungkan harapan setinggi yang
dipikirkannya. Sedangkan kakaknya belum mendapatkan pemahaman seperti itu dari
sumber mana pun. Dapat dimengerti, bahwa interaksi seseorang dengan lingkungan
turut mempengaruhi cara berpikir manusia.
…
Pesimisme kalau sudah berjangkit pada jiwa
seseorang maka akan membuatnya menjadi lamban bergerak karena setiap langkahnya
akan senantiasa dipengaruhi oleh khayalan-khayalan dan bayangan-bayangan yang
menakutkan dan mengecewakan yang dikhayalkan akan menimpa dirinya, maka
akibatnya sikapnya menjadi ragu dan langkahnya tak pernah mantap.
Sebaliknya, optimisme membuat orang senantiasa
tegar, penuh harapan dalam menatap masa depannya, jauh dari bayangan kekecewaan
dan kecemasan. Kalau timbul problema akan dipecahkan dengan cara yang wajar dan
rasional atau kembali kepada tuntunan Illahi.
Tentang pesimisme dan optimisme ini Nabi SAW
pernah bersabda:
"Siapa yang
(rencana/tujuannya) dapat digagalkan oleh tathoyyur (pesimisme) maka
benar-benar ia telah syirik." (HR. Ahmad dan Thobroni)
Pernah
disebut-sebut (pesimisme) di sisi Nabi SAW, lalu ia bersabda demikian :
"Yang lebih baik adalah optimisme dan hendaknya tathoyyur (pessimisme) itu
tidak sampai menggagalkan (tujuan/rencana) seorang Muslim." (HR. Abu Daud)
Nabi Ya'qub sebagaimana dikisahkan dalam
Al-Qur'an menasihati putra-putranya demikian:
"Dan
janganlah kalian berputus asa dari (meraih) rahmat Alloh karena sesungguhnya
tidak biasa berputus asa dari (meraih) rahmat Alloh melainkan orang-orang
kafir." (QS. 12:87 )
…
Memahami harapan seorang manusia memang
tidaklah mudah, maka dari itu saya mencoba 'merasakan' apa yang sebenarnya
dirasakan oleh orang desa dalam situasi yang kurang lebih sama dengan mereka.
Menjadi petani dengan penghasilan yang tidak menentu, juga berhadapan langsung
dengan suasana alam yang kurang bersahabat.
Setelah beberapa lama berada dalam situasi itu,
saya mulai mencoba merasakan seperti apa kiranya bila menjadi orang desa dengan
segala 'kesulitan' yang dihadapinya. Hal yang bisa dipahami apabila banyak yang
mengeluh betapa kehidupan di desa belum bisa dijadikan andalan untuk
meningkatkan kesejahteraan. Alasan yang bisa diterima jika banyak orang desa
pergi meninggalkan tempat kelahirannya untuk bisa meraih apa yang
diharapkannya.
Sebagaimana yang sering disinggung banyak
orang, harapan kesejahteraan menjadi 'topik utama' pembicaraan orang desa.
Harapan akan hasil panen yang melimpah, harapan akan pekerjaan yang mapan,
harapan akan keuntungan dalam perdagangan atau harapan akan pendidikan anak
yang tinggi supaya bisa mengangkat status keluarga.
Harapan-harapan itu seakan menjadi hal yang
umum dan lumrah bagi banyak orang. Apakah tidak lagi yang diharapkan selain
itu? Apakah ada orang yang berharap desanya menjadi makmur di kemudian hari?
Ataukah adakah yan berharap desanya menjadi pusat bisnis di masa depan? Dalam
hal ini jarang kita temui. Kalau pun ada yang berharap desanya maju, hanya
tercetus dari pada 'tokoh' masyarakat yang jumlahnya sedikit.
Harapan-harapan yang 'standar' itu muncul bisa
jadi karena belum adanya rangsangan yang bisa meningkatkan harapan mereka ke
tingkat yang lebih tinggi. Apakah warga desa _pada umumnya_ belum bisa meresapi
bahwa tugasnya hidup di dunia ini tidak hanya melulu mengurusi kebutuhan rumah
tangga tetapi juga mempunyai tanggung jawab untuk mengurus komunitas dan alam
sekitarnya. Tingginya harapan, bukan sebagai pengejawantahan dari 'khayalan
tidak karuan' tetapi juga sebagai 'wujud keinginan untuk mengabdikan diri lebih
optimal' lagi. Bukankah kita ingin pahala yang besar di sisi Alloh SWT?
Tanggung Jawab dan Keadilan : Kepada Siapakah?
Konsep tanggung jawab dalam suatu budaya bisa
membangun peradaban secara fisik. Ya, begitulah yang sering kita lihat di
sekitar kita. Tanggung jawab antara satu orang dengan orang lain atau dengan
dirinya sendiri membawa pada suatu ekspresi pemenuhan tanggung jawab itu.
Tanggung jawab seorang suami pada keluarganya menjadikan rumah sebagai tempat
berteduh. Tanggung jawab Pemerintah pada rakyatnya menjadikan jalan sebagai
penghubung bagi kemudahan mobilitas. Dan masih banyak lagi.
Manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang
bertanggung jawab (QS. 75:36). Dalam konteks sosial, manusia tidak dapat hidup
sendirian dengan perangkat nilai-nilai menurut selera sendiri. Nilai-nilai yang
diperankan seseorang dalam jalinan sosial harus dipertanggungjawabkan sehingga
tidak mengganggu konsensus nilai yang telah disetujui bersama.
Tanggung jawab dalam konteks pergaulan manusia
adalah 'keberanian'. Orang yang bertanggung jawab adalah orang berani
menanggung resiko atas segala yang menjadi tanggung jawabnya. Ia jujur
terhadap dirinya sendiri dan jujur terhadap orang lain, tidak pengecut dan
mandiri. Dengan rasa tanggung jawab, orang yang bersangkutan akan berusaha
melalui seluruh potensi dirinya. Orang yang bertanggung jawab adalah orang yang
mau berkorban demi kepentingan orang lain.
Tanggung jawab erat kaitannya dengan kewajiban.
Kewajiban adalah sesuatu yang dibebankan terhadap seseorang. Kewajiban
merupakan bandingan terhadap hak, dan dapat juga tidak mengacu kepada hak. Maka
tanggung jawab dalam hal ini adalah tanggung jawab terhadap kewajibannya.
Orang yang bertanggung jawab dapat memperoleh
kabahagiaan. Sebab, ia
menunaikan kewajibannya. Kebahagiaan tersebut dapat dirasakan oleh dirinya atau
oleh orang lain. Sebaliknya, orang yang tidak bertanggungjawab akan menghadapi
kesulitan, sebab ia tidak mengikuti aturan, norma atau nilai-nilai yang
berlaku.
…
Rasa keagamaan masyarakat desa membawa pada
karakter masyarakat yang bisa bertanggung jawab. Tidak hanya pada diri dan
keluarga, secara sosial orang desa terbiasa bertanggung jawab pada orang lain.
Karakter orang desa yang terkenal suka bergotong royong sebagai wujud dari
tanggung jawab sosial mereka dalam kehidupan bermasyarakat.
Sayangnya, kemajuan teknologi informasi membawa
efek negatif bagi persepsi warga akan tanggung sosialnya. Persepsi sebagian
warga akan tanggung jawab kepada sesamanya berubaha menjadi sekedar
"tanggung jawab sesama tetangga". Entah kenapa, orang desa kehilangan
rasa 'senasib sepenanggungan' yang selama ini menjadi ciri khasnya. Saat ini,
orang desa sibuk dengan urusannya sendiri.
Sikap ini tidak hanya ada dalam urusan
pekerjaan, tetapi juga sudah menjalar hingga urusan keagamaan. Jika masalah
pekerjaan, bisa dimengerti, karena saat ini desa tempat saya tinggal tidak
melulu bergantung pada pertanian. Profesi warga sudah beragam. Namun, ketika
masalah keagamaan sudah 'menjadi urusan masing-masing' maka saya berpendapat ini
sudah seperti 'orang kota'.
Orang desa tidak menganggap bahwa masalah
ibadah seseorang tidaklah menjadi urusannya. "Biarlah mereka dengan amal
mereka dan amal saya dengan saya.", begitulah yang sering terdengar.
Apakah permasalahan hidup yang begitu kompleks mempengaruhi rasa tanggung jawab
sosial orang desa. Urusan hidup menjadi begitu 'ruwet' sehingga tidak memiliki
waktu dan energi untuk memikirkan nasib orang lain, begitukah?
Apabila di kota, ada banyak 'fokus sosial'
penduduk seperti industri, pemerintahan, pendidikan dsb., maka tanggung jawab
pun hanya terfokus diantara sesama orang dalam fokus sosial yang sama. Tetapi,
di desa fokus sosial itu belum terbentuk karena jumlah penduduk yang sedikit.
Sehingga, dalam urusan kepemimpinan pun seakan semua bidang harus
'terakomodasi'. Seorang Kepala Desa tidak hanya mengurusi administrasi
pemerintahan tetapi juga urusan agama, pekerjaan, lingkungan, pendidikan dsb..
Begitu pun, pemimpin kharismatik seperti Tetua Adat dan Ulama dituntut mampu
untuk mengurus segala urusan warga.
Di desa saya, pemimpin kharismatik sudah mulai
memudar. Sehingga, ulama hanya bisa mengurusi urusan di masjid dan madrasah
saja. Kepala desa hanya sanggup mengurusi urusan tata kelola pemerintahan saja.
Untuk urusan ekonomi, belum ada pemimpin yang bisa bertanggung jawab pada nasib
sekian banyak orang. Kami belum sanggup menghimpun potensi manusia pada suatu
organisasi ekonomi yang mapan.
…
Situasi seperti di atas, seakan menjadi alasan
warga untuk menuduh Pemerintah yang tidak bersikap adil. Warga seakan tidak
percaya akan adanya pemerintah yang membawa pada kesejahteraan. Rasa
kebersamaan menjadi terpecah, tidak ada sosok yang bisa membawa pada perubahan
kehidupan masa depan yang lebih baik. Warga menjadi 'berlomba-lomba' untuk
mengumpulkan kekayaan tanpa ada niat untuk berbagi kebahagiaan. "Ini hasil
kerja saya, buat apa dibagikan."
Niat orang untuk bekerja dan mengumpulkan harta
menjadi sangat 'egois dan jangka pendek'. Padahal, pandangan Islam terhadap
harta itu menjauhkan bahaya egoisme, bahaya sikap masa bodoh dan tidak peduli,
juga membebani pemiliknya agar memilkul tugas-tugas sosial yang lalu mengenai
harta. Yaitu, agar harta itu melayani kepentingan masyarakat, maka ditunaikannya
zakat sebagai batas minimal dari menutupi kebutuhan masyarakat dan
dikeluarkannya nafkah yang lebih banyak dari itu jika ummat memerlukannya. Dan,
tidak disangsikan lagi bahwa dipenuhinya fungsi sosial dari harta oleh seorang
beriman, sebagian tercermin dari belanjanya untuk dirinya pribadi, hingga
dengan demikian tidak menyimpang dari batas keadilan.
Persepsi ini membawa orang yang memiliki harta
berlebih untuk berinvestasi untuk kepentingan ummat dalam berbagai bidang.
Investasi harta tidak hanya berupa sedekah tetapi juga menanamkan modal untuk
membuka lebih banyak lagi lapangan pekerjaan. Investasi juga bisa dilakukan
untuk mengolah potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia di sekitarnya.
Ketika suatu organisasi ekonomi terbentuk maka
setiap orang akan menyadari hal dan kewajibannya. Para karyawan akan bekerja
dengan maksimal dan para majikan akan memimpin mereka untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan. Begitulah, kesadaran dari hati nurani tidak akan membawa
pada perselisihan. Justru, kemaslahatan bersama akan tercapai.
"Apakah
mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka
penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian
mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat
mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang
mereka kumpulkan." (QS.
Az-Zuhkruf (42) : 32)
Begitulah, urusan tanggung jawab dan keadilan
bisa terpenuhi jika kita tidak memisahkan antara kerja dan ibadah. Hal itu menjadi wujud taqorub kepada Alloh SWT. Dengan
begitu, tidak akan ada sikap layaknya hukum rimba dimana yang kuat akan
'memakan' yang lemah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar...