Kenapa Persepsi Waktu Penting untuk Dibahas?
Ketika terbersit ide untuk menulis essay
mengenai persepsi waktu, saya mencoba untuk menemukan arti penting dari isi
pembahasannya. Saya terus bertanya-tanya, kenapa warga desa begitu
'tenang-tenang saja' ketika globalisasi dicanangkan di dunia. Saya belum
bisa memahami kenapa warga desa tidak begitu tertarik dengan persaingan antar
bangsa dimana setiap negara berlomba untuk menjadikan diri mereka unggul.
Kesadaran warga akan waktu menjadi menjadi
faktor penting dalam pembangunan. Apabila seseorang menyadari akan waktu yang
begitu berharga maka akan bisa memanfaatkannya. Ada pertanyaan yang memerlukan
jawaban, yakni :
Bagaimana warga memanfaakan waktu dalam
hidupnya?
Bagaimana warga memanfaatkan waktunya untuk
membangun masa depan?
Orientasi warga terhadap masa sekarang lebih
dominan dibandingkan masa depan.[1] Apa yang dipikirkan warga lebih kepada
bagaimana bisa menikmati saat ini bukan kepada bagaimana menikmati masa depan.
Dalam situasi seperti ini, saya perhatikan bahwa orang desa tidak merasa
'khawatir' akan masa depan desanya sendiri.
Apakah orang desa tidak menyadari bahwa perubahan
sedang terjadi di dunia ini. Ketika orang kota berlomba untuk mencapai kemajuan
demi kemajuan maka orang desa seakan tidak terpengaruh oleh keadaan itu. Alam
yang asri sepertinya sudah 'meninabobokan' pola pikir dan pola sikap orang
desa. Kesadaran akan perubahan sepertinya memiliki hubungan dengan persepsi
orang desa akan waktu. [2]
Apabila dirunut ke belakang, kenapa orientasi
waktu itu hanya terbatas pada masa sekarang. Bagaimana orang desa
mempersepsikan masa atau waktu _dimana hal itu bersifat abstrak. Orientasi
orang desa pada masa sekarang saja, tidak mungkin ada begitu saja. Tetapi, ada
pengaruh budaya yang membentuk pola pikir seperti itu. Lalu, budaya seperti apa yang melingkupi pola berpikir seperti itu.
Warga Desa Mempersepsikan Masa Lampau, Masa Kini dan Masa Depan
Persepsi waktu bagi umat manusia begitu penting
ketika berhubungan dengan situasi yang ada di sekitarnya. Ada banyak contoh
yang menggambarkan bagaimana manusia yang mementingkan waktu akan memperoleh
banyak keuntungan dalam hidupnya. Hanya saja, warga desa tidak memiliki
perasaan 'tergesa-gesa' dan 'desakan akan waktu'.
Saya memperhatikan adanya pengaruh persepsi
warga desa tentang waktu dengan situasi aktual di lingkungannya.
Mungkin, ini hanya perkiraan saya saja. Warga
desa memiliki persepsi waktu tersendiri dan berbeda apabila dibandingkan dengan
warga kota. Warga desa _dengan kehidupannya yang cenderung monoton_, menganggap
waktu berjalan begitu lambat.
Sepertinya, ada hubungan antara pola budaya
bertani warga desa dengan bagaimana mereka mempersepsikan waktu. Kegiatan
pertanian tidak mengalami banyak perubahan dalam hal cara bertani. Kejadian-kejadian
keseharian belum bisa 'menyadarkan' warga bahwa waktu terus berlalu dan telah
banyak hal yang berubah di luar sana.
Pola pertanian yang cenderung mengikuti ritme
alam mempengaruhi bagaimana warga desa mempersepsikan waktu. Kegiatan bercocok
tanam yang memerlukan waktu lama 'memaksa' para petani untuk memahami waktu
sebagai 'rentetan kejadian yang teratur'. Waktu bagi orang desa tidak acak
karena adanya pola kejadian yang sama dan berulang dari tahun ke tahun.
Mungkin, warga desa tidak bisa menyadari bahwa
waktu terus berjalan dan perubahan terus terjadi. Hal ini disebabkan oleh pola
pertanian itu yang tidak mengalami banyak perubahan dalam jangka waktu yang
lama. Para petani sangat 'kaku' dalam menentukan pola perubahan dari hari ke
hari. Ada banyak warga desa yang masih merasa nyaman dengan pola-pola kehidupan
lama meskipun itu sudah tidak membawa manusia pada kemajuan peradaban.
Warga desa bisa saja menganggap bahwa waktu
bukanlah sesuatu yang penting dan teramat berharga. Waktu tidak bisa menjadi
ukuran bagi keuntungan yang akan diperoleh. Waktu juga tidak bisa
dipersepsikan sebagai "modal" bagi kemajuan kehidupan. Waktu
hanyalah penggalan kehidupan di dunia dimana manusia tidak memiliki kuasa
atasnya.
Pemahaman agama yang keliru juga turut serta
mempengaruhi warga desa akan waktu. Bagi warga yang menganggap akan ada 'kehidupan setelah kematian' maka
dia hanya berpikir untuk 'beramal sebanyak mungkin ketika masih hidup'. Ketakutan
akan hari akhirat membuat orang lupa akan tugas dia dihidupkan di muka bumi
yakni 'mengelola bumi ini dengan baik'. Ketidaksadaran akan keharusan untuk
mengelola bumi ini, cenderung melemahkan persepsi masyarakat akan masa depan.
Apabila mereka memandang kehidupan ini 'hanya
sementara' maka dia lupa untuk
'memberikan bekal bagi generasi setelahnya'.[3] Padahal, di akhirat pun manusia akan dihitung
amal apa yang sudah dijadikan bekal bagi generasi setelahnya. Ungkapan 'harta
tidak akan dibawa mati' seakan menjadi slogan orang-orang yang bersembunyi dari
kelengahannya untuk membangun kehidupan sebagai bekal ketika dia meninggalkan
bumi ini.
Orang-orang seperti ini menganggap bahwa
hubungan antara manusia yang sudah mati dan yang masih hidup terputus begitu
saja, padahal ada kesinambungan kehidupan sebelum datangnya hari kiamat. Orang yang enggan meninggalkan
kebaikan setelah kematiannya adalah manusia individualis. Dan, Islam tidak
mengajarkan itu. Apabila manusia menganggap hal terpenting adalah masa kini _ketika dia masih hidup maka tidak
akan peninggalan peradaban di muka bumi. Kita tahu sendiri, pribadi yang enggan
membangun peradaban hanyalah pribadi yang 'terkucil' atau mengucilkan diri dari
peradaban itu sendiri.
Konektifitas akan Mengubah Persepsi Orang Desa akan Waktu
Ada alasan yang cukup kuat apabila ada
dikotomi antara budaya pedesaan dengan
perkotaan dalam mempersepsikan waktu ini. Orang kota lebih dianggap sebagai
orang 'modern' karena orientasi waktunya lebih ke masa depan. Sedangkan orang
desa orientasi waktunya lebih kepada masa sekarang. Hanya saja, orientasi waktu
ini tidak bisa menjadi ukuran bagi pembedaan orang kota dan orang desa karena
ciri-ciri itu bisa saja ada pada kedua kebudayaan tersebut.
Untuk pembahasan essay ini, saya mencoba
menekankan pada pengaruh persepsi warga akan waktu pada pembangunan yang sedang
terjadi. Maka dari itu, budaya desa pun sebenarnya bisa menjadikan masa depan
sebagai orientasi waktunya. Permasalahannya, adalah bagaimana orang desa bisa
mengubah orientasi waktu mereka.
Dalam era industrialiasasi, persepsi waktu akan
berubah secara perlahan karena mengikuti ritme industri itu sendiri. Terlepas
dari kondisi geografis, orang desa bisa mencoba menyesuaikan persepsi waktu
mereka dengan masyarakat global karena mereka sendiri sudah 'terkoneksi' dengan masyarakat dunia.
Konektifitas ini teramat berpengaruh pada
persepsi warga akan suatu hal. Maka dari itu, secara teknis pembangunan suatu
wilayah tidaklah harus terkonsentrasi pada kota sebagai pusat pertumbuhan. Saat
ini, desa menjadi pusat pertumbuhan baru karena budaya perdesaan pun akan berubah
secara perlahan.
Apabila selama ini warga desa terkesan 'santai'
akan pembangunan yang seharusnya dilakukan, maka arus informasi akan mengubah
pola pikir masyarakat desa secara perlahan. Kondisi alam yang 'hening' tidak
akan menjadi alasan utama bagi ketertinggalan desa dibandingkan kota. Ini tidak
berlaku pada desa-desa di Amerika atau Eropa, dimana situasi alam yang masih
asri tidak berpengaruh kuat pada bagaimana mereka mempersepsikan masa depan
bagi kemajuan peradaban.[4]
Konektifitas orang desa dengan warga dunia,
bisa 'memaksa' para petani di Amerika untuk berinvestasi bagi usaha taninya di
masa depan. Coba kita lihat, dalam tayangan TV dimana petani disana bisa
menerapkan teknologi tepat guna bagi peningkatan produktifitas. Pemaksaan ini
bisa berasal dari Pemerintah atau juga dari kalangan swasta. Dalam konteks
Indonesia, kita tidak bisa berharap banyak pada Pemerintah sebagai sarana
penghubung desa dengan kota. Inisiatif warga desa sendiri untuk membangun
hubungan dua budaya _yang memang berbeda secara geografis maupun psikis_ harus
tumbuh demi kemajuan bersama.
Standar Kelompok Bisa Mempengaruhi Persepsi Waktu
Mesti ada rangsangan kegiatan untuk bisa
menjadi 'standar' bagi warga desa dalam mempersepsikan waktu. Pengaruh budaya
terhadap persepsi waktu dengan mengemukakan bahwa persepsi waktu diambil dari belive
dan standar kelompok.[5] Maksudnya, apabila ada kegiatan pembangunan
maka warga desa akan merasa ada perubahan seiring berjalannya waktu.
Misalnya, dalam suatu kawasan ada pembangunan
pabrik maka warga desa akan menyadari bahwa waktu telah berlalu dan zaman telah
berubah. Warga akan menyadari bahwa mereka harus bisa mengubah persepsi mereka
akan waktu yang tadinya 'fleksibel atau ogah-ogahan' menjadi lebih disiplin
mengenai waktu. Baginya, waktu
adalah sebuah titik, jika tidak dimanfaatkan dengan baik akan terbuang percuma,
hasil akhir lebih penting daripada proses.[6]
Karena waktu sangat relatif dan hanya bisa
diukur dengan adanya kejadian-kejadian maka harus ada suatu 'kejadian' yang
memicu 'kejadian yang lain'.[7] Setiap deretan kejadian yang cepat dipercaya
bisa mempengaruhi kejadian-kejadian yang lain. Seperti kasus pembangunan pabrik
di atas, warga desa sekitarnya akan
terbiasa dengan pola hidup yang mengacu pada ketepatan waktu. Sebagaimana
diketahui, pola kerja industri sangat mengutamakan waktu dalam setiap
kejadiannya.
Waktu sebagai Modal
Waktu adalah milik
paling berharga yang memberikan kepastian pada kita, karena waktu selalu sama
dan tetap dimana-mana.[8]
Persepsi kita tentang waktu akan sangat
mempengaruhi bagaimana kita berperilaku. Dalam keseharian, akan ada perbedaan
yang menyolok antara pribadi yang menghargai waktu dengan pribadi yang tidak
menghargai waktu. Setiap manusia yang menyadari arti penting waktu bisa
menjadikan waktu yang ada sebagai modal kehidupan yang tidak
terkira.
Apabila penghargaan ini ada maka dia bisa
mengelola waktu dengan baik. Manusia seperti ini akan membuat banyak rencana
dan cita-cita serta mengalokasikan waktunya dengan baik. Terlepas dari
berhasil-tidaknya usaha yang ditempuh, dia akan memandang bahwa waktu bagian
dari investasi penting dari setiap
tindakannya.
Investasi waktu ini sama halnya dengan
investasi uang maka dia akan
mengalokasikan setiap detiknya untuk kemajuan di kemudian hari. Dalam paragrap
ini, saya mulai bisa memahami mengapa persepsi waktu begitu berpengaruh pada
pembangunan di pedesaan. Ketika orang desa memiliki persepsi positif akan waktu
maka dia bisa memiliki orientasi masa depan dan menjadikan masa lalu sebagai
pelajaran. Budaya berinvestasi juga berangkat dari bagaimana seseorang
menginvestasikan waktunya. Dia akan senantiasa membagi setiap kebutuhan menjadi
kebutuhan masa kini dan masa depan. Penghamburan harta sepertinya tidak akan
terjadi justru yang ada adalah usaha penghematan secara maksimal.
Apabila pikirannya mengatakan bahwa masa depan akan kita
jelang, maka dalam wujud nyata dia akan menjadikan hari ini sebagai sarana
untuk menata masa depan. Masa kini tidak hanya dipandang sebagai usaha untuk
memenuhi desakan kebutuhan tetapi juga sebagai usaha memperbaiki keadaan dan
memperbaiki kegagalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar...