Selasa, 09 Juni 2015

Frustasi Orang Tua di Pedesaan

Situasi yang Tidak Terkira Sebelumnya
Ada hal menarik ketika saya berbincang dengan seorang Petani tentang anaknya. Beliau, sudah sepuh _usianya lebih dari 60 tahun_, mengeluh tentang anaknya yang sulit mendapatkan pekerjaan padahal punya pendidikan yang jauh lebih tinggi dari dirinya sendiri.
Waktu itu kami berbincang di tengah pesawahan yang sedang mengering karena hujan tidak turun sudah sejak lama. Wajahnya menyiratkan kelelahan, darinya kita bisa menerka betapa kesulitan hidup sudah 'berkawan' dengannya. Sebagai anak muda, saya hanya bisa mendengar keluhan si Kakek tentang situasi desa yang belum bisa memberikan kehidupan lebih baik bagi dirinya. Situasi kehidupan di pedesaan baginya tidak bisa menjadi tumpuan bagi anak-cucunya.
Si Kakek menjadi figur yang mewakili banyak orang tua di pedesaan. Mereka terlahir dalam situasi yang kurang menguntungkan. Wajar, jika mereka pun mengharapkan kehidupan yang lebih baik bagi generasi penerusnya. Satu hal yang menjadi sorotan, dengan pendidikan maka kehidupan akan lebih baik.
Hanya saja, situasi saat ini tidak sesuai dengan prediksi mereka dulu. Zaman banyak mengalami perubahan, dimana sulit sekali untuk diterka kemana arah perubahan itu. Anak-cucu mereka tidak sesuai dengan idaman mereka karena banyak hal yang tidak mereka pahami. Angan-angan tentang keindahan di masa tua sirna sudah.
Apa yang dialami si Kakek memang tidak terjadi pada setiap orang tua. Hanya saja kondisi sosial ekonomi negeri ini yang tidak stabil mengakibatkan banyak orang tua yang mengalami hal sama seperti si Kakek. Banyak hal yang 'dikorbankan' untuk masa depan putra-putrinya tetapi apa yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan. Dari sebelum menikah, selama masa-masa kehamilan, sampai melahirkan, orang tua sudah melakukan persiapan panjang untuk mewujudkan angan-angan ideal mereka tentang anak yang akan dilahirkan. Anak tersebut harus menjadi seperti imbalan atas segala jerih payah dan investasi waktu, emosi, pikiran dan uang yang sudah dikorbankan selama ini.
Kesempatan yang dimiliki para orang tua di masa kecil mereka jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kesempatan yang dimiliki anak-anak sekarang untuk terus mengembangkan diri mereka. Kita seringkali mendengar komentar para orang tua bahwa mereka berusaha mati-matian agar anak-anak mereka tidak mengalami 'nasib' yang sama seperti mereka pada waktu lalu.[1] Mungkin, itulah alasan kuat kenapa orang tua begitu 'berambisi' untuk mengubah nasib anaknya sehingga jauh lebih baik dengan orang tuanya.
Harapan-harapan akan seorang anak yang ideal dimatanya merupakan hal yang lumrah bagi para orang tua. Untuk itu, dalam imajinasi si orang tua ada gambaran seperti apa anaknya kelak apabila sudah dewasa nanti. Imajinasi seseorang selalu berkaitan erat dengan lingkungan sekitarnya. Misalnya, si orang tua melihat sosok yang dianggap sukses maka dia berimajinasi anaknya nanti sama dengan orang itu. Perlu dicatat, imajinasi orang tua sangat dipengaruhi oleh situasi di zamannya.
Hanya saja, imajinasi itu tidak selalu sesuai dengan kenyataan dimana zaman sudah banyak berubah sehingga para orang tua kebingungan menghadapi situasi ini. Imajinasi kesuksesan menurut ukuran orang tua bisa saja jauh berbeda dengan imajinasi kesuksesan anak muda. Ada harapan-harapan yang tidak terkira sebelumnya. Misalnya, para orang tua sangat menginginkan anaknya mendapatkan jabatan di pemerintahan tetapi si anak tidak menginginkan hal itu. Karena, bagi si anak bekerja di pemerintahan sudah  tidak 'bergengsi' lagi. Berbeda dengan orang dulu, pegawai pemerintahan mendapatkan tempat yang terhormat di masyarakat.
Anak muda punya sosok idola tersendiri sehingga mereka pun berbeda cara berpikir dengan orang tuanya. Jarang kita temui dimana ada kecocokan antara imajinasi orang tua dengan imajinasi anak-anaknya. Itu tadi, situasi dan waktu yang berbeda mengubah cara pandang seseorang tentang cita-cita dan kehidupannya kelak.
Budaya Industri Belum Masuk ke Pedesaan
Apabila kita berbincang dengan orang tua di pedesaan, ada banyak yang tidak menyadari bahwa tradisi lama sudah banyak berubah. Di masa industrialisasi, seperti sekarang ini, kompetensi lebih diutamakan daripada sekedar jenjang akademis. Di era industri, lapangan pekerjaan tidak tersedia begitu saja tetapi menyediakan lapangan pekerjaan sudah menjadi bagian dari budaya industri itu sendiri.
Generasi tua banyak yang tidak sadar akan hal itu. Mereka selalu bergantung pada orang lain _bahkan bangsa lain_ untuk menyediakan pekerjaan bagi anak-cucunya. Fokus perhatian generasi tua saat ini pada bagaimana menyekolahkan anaknya setinggi  mungkin bukan pada bagaimana menyediakan lahan pekerjaan bagi generasi selanjutnya. Alhasil, lapangan pekerjaan baru sedikit sekali berbanding terbalik dengan para pencari kerja.
Orang tua di pedesaan tidak ikut serta dalam industrialisasi yang sedang terjadi. Dalam situasi ini, generasi tua hanya sebagai pengikut bukan sebagai pelaku. Maka dari itu, ketika harapan tinggi akan kesuksesan anaknya tidak tercapai mereka merasa frustasi.
Masa industrialisasi merupakan masa dimana kreatifitas manusia menjadi 'senjata utama' bagi keberhasilan hidupnya. Inilah yang terlupakan dari para orang tua. Ketika anak-anaknya 'kalah' bersaing dengan lingkungannya sendiri maka mereka bertanya, "apa yang salah dengan pendidikan anak saya?".
Ketika pendidikan formal sudah dianggap tidak bisa mengantarkan anak pada kesuksesan, maka orang tua akan menyalahkan lembaga pendidikan itu sendiri. [2]  Ironi, ketika lembaga pendidikan tidak bisa mengimbangi budaya industri itu sendiri, amat disayangkan orang tua pun tidak menyiapkan anaknya untuk berkecimpung di dunia industri. Orang tua tidak membiasakan anaknya untuk 'bekerja keras'. Malahan, menyerahkan seratus persen pendidikan anak pada sekolah.
Rasa percaya diri yang dulu ada kini mulai pudar. Generasi tua memang punya pengalaman tetapi minim akan pemahaman bahwa yang menentukan keberhasilan seseorang dalam hidup tidak semata-semata jenjang pendidikan yang telah ditempuhnya. Ada banyak faktor lain. Mereka lupa, bahwa hal utama adalah mempersiapkan anak mereka untuk bersaing dalam dunia kehidupan yang sesungguhnya. Pendidikan formal hanyalah pengantar bagi masa depan yang mapan.
Mereka harus memahami bahwa dunia industri adalah dunia yang 'kejam' _penuh dengan persaingan. Anak-anak mereka sebagai calon kaum urban sebenarnya akan masuk ke dalam belantara hutan 'beton dan pabrik'. Terkadang, yang berlaku di sana adalah 'hukum rimba' yakni survival are the fittest _mereka yang bertahan adalah mereka yang kuat.
Kita lihat sekarang di dunia industri dan perusahaan. Banyak para pemimpin industri dengan gelora free enterprise mengembangkan konsep bisnis dengan atribut "tanpa belas kasihan, tanpa hati nurani". Sebab, mereka cuma mengutamakan keuntungan/profit, penambahan modal dan penumpukan kekayaan, menindas para pekerja dan buruhnya. Konsep laisser faire mengembangkan kompetisi bebas dan pasaran bebas, yang kemudian memaksimalisasi paham pementingan diri sendiri.[3]
Frustasi
 Frustasi ialah suatu keadaan, dimana satu kebutuhan tidak bisa terpenuhi, dan tujuan tidak bisa tercapai. Jadi orang mengalami satu halangan dalam usahanya mencapai satu tujuan. Jika seseorang dalam usaha dan perjuangannya menuju satu tujuan terhambat sehingga usahanya gagal, maka dia disebut mengalami frustasi.
Frustasi ini bisa menimbulkan dua kelompok tingkah laku atau respons. (1) Dia bisa melemparkan kesalahan pada orang lain, menghancurkan seseorang, merusak atau mengakibatkan desorganisasi dari struktur kepribadian dan mengalami mental disorder parah. (2) Akan tetapi dia juga dapat menjadi satu titik tolak baru bagi satu usaha baru, guna menciptakan bentuk adaptasi dan mekanisme pemuasan kebutuhan yang baru. Sehingga terjadilah perkembangan hidup baru.[4]
Reaksi-reaksi frustasi yang sifatnya membangun/positif ialah: (1) mobilisasi dan penambahan aktifitas; (2) Berpikir secara mendalam disertai wawasan yang jernih; (3) Resignation (tawakal, pasrah pada Tuhan); (4) Membuat dinamis satu kebutuhan; (5) Kompensasi atau subtitusi dari tujuan; (6) Sublimasi (sublim = terutama, maha tinggi).
Reaksi frustasi yang negatif: (1) Agresi; (2) Regresi (kekanak-kanakan); (3) Fiksasi (pelekatan, pembatasan pada pola yang tetap); (4) Pendesakan dan kompleks-kompleks terdesak; (5) Rasionalisasi; (6) Proyeksi; (7) Sour grape technique (teknik anggur masam) yakni usaha memberikan atribut yang jelek atau negatif pada tujuan yang tidak bisa dicapainya; (8) Sweet orange tecnique (teori jeruk manis)adalah usaha memberikan atribut-atribut yang bagus dan unggul pada semua kegagalan, kelemahan dan kekurangan sendiri; (9) Identifikasi ialah mempersamakan diri dengan orang lain; (10) Narsisme adalah perasaan superior dan cinta diri berlebihan; (11) Autisme ialah gejala menutup diri secara total dari dunia riil.[5]
Konklusi
Cinta kasih dan roman kehidupan telah menolong kita untuk mengenali dan mengembangkan benih-benih dari kesuksesan yang pasti ada dalam setiap kegagalan, frustasi dan kemalangan.[6] Apabila kita bisa melihat masalah dari sisi positifnya, maka ini menjadi pelajaran bahwa masa depan si anak memang berada di tangan anak itu sendiri. Orang tua tidak bisa berharap banyak akan dunia pendidikan formal saja tetapi juga memberikan pendidikan informal di luar sekolah sehingga si anak bisa lebih mengenali diri dan lingkungannya.
Cinta kasih dan roman kehidupan adalah hiasan-hiasan dalam ruang yang paling agung dalam jiwa. Mereka membuat kita selalu berterima kasih terhadap apa yang kita miliki dan tidak bersusah hati terhadap apa yang tidak kita miliki.



[1] Lidanial, Anak Korban Orang Tua Ambisius (Push Parenting) dan Konseling Terhadapnya, Veritas 7/2, 2006, h. 283-289.
[2] Kartini Kartono, Pathologi Sosial, Rajawali, Jakarta: 1981. Hal. 296.
[3] Kartini Kartono, Gangguan-gangguan Psikis, Sinar Baru, Bandung: 1981, Hal. 135.
[4] Kartini Kartono, Pathologi Sosial, Rajawali, Jakarta: 1981. Hal. 296.
[5] Kartini Kartono, Pathologi Sosial, Rajawali, Jakarta: 1981. Hal. 299-304.
[6] Napoleon Hill, You Can Work Your Own Miracles (Terjemahan), hal. 59. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar...