Situasi
yang Tidak Terkira Sebelumnya
Ada hal menarik ketika saya berbincang dengan seorang
Petani tentang anaknya. Beliau, sudah sepuh _usianya lebih dari 60 tahun_,
mengeluh tentang anaknya yang sulit mendapatkan pekerjaan padahal punya
pendidikan yang jauh lebih tinggi dari dirinya sendiri.
Waktu itu kami berbincang di tengah pesawahan
yang sedang mengering karena hujan tidak turun sudah sejak lama. Wajahnya
menyiratkan kelelahan, darinya kita bisa menerka betapa kesulitan hidup sudah 'berkawan'
dengannya. Sebagai anak muda, saya hanya bisa mendengar keluhan si Kakek
tentang situasi desa yang belum bisa memberikan kehidupan lebih baik bagi
dirinya. Situasi kehidupan di pedesaan baginya tidak bisa menjadi tumpuan bagi
anak-cucunya.
Si Kakek menjadi figur yang mewakili banyak
orang tua di pedesaan. Mereka terlahir dalam situasi yang kurang menguntungkan.
Wajar, jika mereka pun mengharapkan kehidupan yang lebih baik bagi generasi
penerusnya. Satu hal yang menjadi sorotan, dengan pendidikan maka kehidupan
akan lebih baik.
Hanya saja, situasi saat ini tidak sesuai
dengan prediksi mereka dulu. Zaman banyak mengalami perubahan, dimana sulit
sekali untuk diterka kemana arah perubahan itu. Anak-cucu mereka tidak sesuai
dengan idaman mereka karena banyak hal yang tidak mereka pahami. Angan-angan
tentang keindahan di masa tua sirna sudah.
Apa yang dialami si Kakek memang tidak terjadi
pada setiap orang tua. Hanya saja kondisi sosial ekonomi negeri ini yang tidak
stabil mengakibatkan banyak orang tua yang mengalami hal sama seperti si Kakek.
Banyak hal yang 'dikorbankan' untuk masa depan putra-putrinya tetapi apa yang
diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan. Dari sebelum menikah, selama
masa-masa kehamilan, sampai melahirkan, orang tua sudah melakukan persiapan
panjang untuk mewujudkan angan-angan ideal mereka tentang anak yang akan
dilahirkan. Anak tersebut harus menjadi seperti imbalan atas segala jerih payah
dan investasi waktu, emosi, pikiran dan uang yang sudah dikorbankan selama ini.
Kesempatan yang dimiliki para orang tua di masa
kecil mereka jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kesempatan yang dimiliki
anak-anak sekarang untuk terus mengembangkan diri mereka. Kita seringkali
mendengar komentar para orang tua bahwa mereka berusaha mati-matian agar
anak-anak mereka tidak mengalami 'nasib' yang sama seperti mereka pada waktu
lalu.[1] Mungkin, itulah alasan kuat kenapa orang tua
begitu 'berambisi' untuk mengubah nasib anaknya sehingga jauh lebih baik dengan
orang tuanya.
Harapan-harapan akan seorang anak yang ideal
dimatanya merupakan hal yang lumrah bagi para orang tua. Untuk itu, dalam
imajinasi si orang tua ada gambaran seperti apa anaknya kelak apabila sudah
dewasa nanti. Imajinasi seseorang selalu berkaitan erat dengan lingkungan
sekitarnya. Misalnya, si orang tua melihat sosok yang dianggap sukses maka dia
berimajinasi anaknya nanti sama dengan orang itu. Perlu dicatat, imajinasi
orang tua sangat dipengaruhi oleh situasi di zamannya.
Hanya saja, imajinasi itu tidak selalu sesuai
dengan kenyataan dimana zaman sudah banyak berubah sehingga para orang tua kebingungan
menghadapi situasi ini. Imajinasi kesuksesan menurut ukuran orang tua bisa saja
jauh berbeda dengan imajinasi kesuksesan anak muda. Ada harapan-harapan yang
tidak terkira sebelumnya. Misalnya, para orang tua sangat menginginkan anaknya
mendapatkan jabatan di pemerintahan tetapi si anak tidak menginginkan hal itu.
Karena, bagi si anak bekerja di pemerintahan sudah tidak 'bergengsi' lagi. Berbeda dengan orang
dulu, pegawai pemerintahan mendapatkan tempat yang terhormat di masyarakat.
Anak muda punya sosok idola tersendiri sehingga
mereka pun berbeda cara berpikir dengan orang tuanya. Jarang kita temui dimana
ada kecocokan antara imajinasi orang tua dengan imajinasi anak-anaknya. Itu
tadi, situasi dan waktu yang berbeda mengubah cara pandang seseorang tentang
cita-cita dan kehidupannya kelak.
Budaya
Industri Belum Masuk ke Pedesaan
Apabila kita berbincang dengan orang tua di
pedesaan, ada banyak yang tidak menyadari bahwa tradisi lama sudah banyak
berubah. Di masa industrialisasi, seperti sekarang ini, kompetensi lebih
diutamakan daripada sekedar jenjang akademis. Di era industri, lapangan
pekerjaan tidak tersedia begitu saja tetapi menyediakan lapangan pekerjaan
sudah menjadi bagian dari budaya industri itu sendiri.
Generasi tua banyak yang tidak sadar akan hal
itu. Mereka selalu bergantung pada orang lain _bahkan bangsa lain_ untuk
menyediakan pekerjaan bagi anak-cucunya. Fokus perhatian generasi tua saat ini
pada bagaimana menyekolahkan anaknya setinggi
mungkin bukan pada bagaimana menyediakan lahan pekerjaan bagi generasi
selanjutnya. Alhasil, lapangan pekerjaan baru sedikit sekali berbanding
terbalik dengan para pencari kerja.
Orang tua di pedesaan tidak ikut serta dalam
industrialisasi yang sedang terjadi. Dalam situasi ini, generasi tua hanya
sebagai pengikut bukan sebagai pelaku. Maka dari itu, ketika harapan tinggi
akan kesuksesan anaknya tidak tercapai mereka merasa frustasi.
Masa industrialisasi merupakan masa dimana
kreatifitas manusia menjadi 'senjata utama' bagi keberhasilan hidupnya. Inilah
yang terlupakan dari para orang tua. Ketika anak-anaknya 'kalah' bersaing
dengan lingkungannya sendiri maka mereka bertanya, "apa yang salah dengan
pendidikan anak saya?".
Ketika pendidikan formal sudah dianggap tidak
bisa mengantarkan anak pada kesuksesan, maka orang tua akan menyalahkan lembaga
pendidikan itu sendiri. [2] Ironi, ketika
lembaga pendidikan tidak bisa mengimbangi budaya industri itu sendiri, amat
disayangkan orang tua pun tidak menyiapkan anaknya untuk berkecimpung di dunia
industri. Orang tua tidak membiasakan anaknya untuk 'bekerja keras'.
Malahan, menyerahkan seratus persen pendidikan anak pada sekolah.
Rasa percaya diri yang dulu ada kini mulai
pudar. Generasi tua memang punya pengalaman tetapi minim akan pemahaman bahwa
yang menentukan keberhasilan seseorang dalam hidup tidak semata-semata jenjang
pendidikan yang telah ditempuhnya. Ada banyak faktor lain. Mereka lupa, bahwa
hal utama adalah mempersiapkan anak mereka untuk bersaing dalam dunia kehidupan
yang sesungguhnya. Pendidikan formal hanyalah pengantar bagi masa depan yang
mapan.
Mereka harus memahami bahwa dunia industri
adalah dunia yang 'kejam' _penuh dengan persaingan. Anak-anak mereka sebagai
calon kaum urban sebenarnya akan masuk ke dalam belantara hutan 'beton dan
pabrik'. Terkadang, yang berlaku di sana adalah 'hukum rimba' yakni survival
are the fittest _mereka yang bertahan adalah mereka yang kuat.
Kita lihat sekarang di dunia industri dan
perusahaan. Banyak para pemimpin industri dengan gelora free enterprise
mengembangkan konsep bisnis dengan atribut "tanpa belas kasihan, tanpa
hati nurani". Sebab, mereka cuma mengutamakan keuntungan/profit,
penambahan modal dan penumpukan kekayaan, menindas para pekerja dan buruhnya.
Konsep laisser faire mengembangkan kompetisi bebas dan pasaran bebas,
yang kemudian memaksimalisasi paham pementingan diri sendiri.[3]
Frustasi
Frustasi ialah suatu keadaan, dimana satu
kebutuhan tidak bisa terpenuhi, dan tujuan tidak bisa tercapai. Jadi orang
mengalami satu halangan dalam usahanya mencapai satu tujuan. Jika seseorang
dalam usaha dan perjuangannya menuju satu tujuan terhambat sehingga usahanya
gagal, maka dia disebut mengalami frustasi.
Frustasi ini bisa menimbulkan dua kelompok
tingkah laku atau respons. (1) Dia bisa melemparkan kesalahan pada orang lain,
menghancurkan seseorang, merusak atau mengakibatkan desorganisasi dari struktur
kepribadian dan mengalami mental disorder parah. (2) Akan tetapi dia juga dapat
menjadi satu titik tolak baru bagi satu usaha baru, guna menciptakan bentuk
adaptasi dan mekanisme pemuasan kebutuhan yang baru. Sehingga terjadilah
perkembangan hidup baru.[4]
Reaksi-reaksi frustasi yang sifatnya
membangun/positif ialah: (1) mobilisasi dan penambahan aktifitas; (2) Berpikir
secara mendalam disertai wawasan yang jernih; (3) Resignation (tawakal, pasrah
pada Tuhan); (4) Membuat dinamis satu kebutuhan; (5) Kompensasi atau subtitusi
dari tujuan; (6) Sublimasi (sublim = terutama, maha tinggi).
Reaksi frustasi yang negatif: (1) Agresi; (2)
Regresi (kekanak-kanakan); (3) Fiksasi (pelekatan, pembatasan pada pola yang
tetap); (4) Pendesakan dan kompleks-kompleks terdesak; (5) Rasionalisasi; (6)
Proyeksi; (7) Sour grape technique (teknik anggur masam) yakni usaha
memberikan atribut yang jelek atau negatif pada tujuan yang tidak bisa
dicapainya; (8) Sweet orange tecnique (teori jeruk manis)adalah usaha
memberikan atribut-atribut yang bagus dan unggul pada semua kegagalan,
kelemahan dan kekurangan sendiri; (9) Identifikasi ialah mempersamakan diri
dengan orang lain; (10) Narsisme adalah perasaan superior dan cinta diri
berlebihan; (11) Autisme ialah gejala menutup diri secara total dari dunia
riil.[5]
Konklusi
Cinta kasih dan roman kehidupan telah menolong kita untuk mengenali dan
mengembangkan benih-benih dari kesuksesan yang pasti ada dalam setiap
kegagalan, frustasi dan kemalangan.[6] Apabila kita bisa melihat masalah dari sisi
positifnya, maka ini menjadi pelajaran bahwa masa depan si anak memang berada
di tangan anak itu sendiri. Orang tua tidak bisa berharap banyak akan dunia
pendidikan formal saja tetapi juga memberikan pendidikan informal di luar
sekolah sehingga si anak bisa lebih mengenali diri dan lingkungannya.
Cinta kasih dan roman kehidupan adalah
hiasan-hiasan dalam ruang yang paling agung dalam jiwa. Mereka membuat kita
selalu berterima kasih terhadap apa yang kita miliki dan tidak bersusah hati
terhadap apa yang tidak kita miliki.
[1] Lidanial, Anak
Korban Orang Tua Ambisius (Push Parenting) dan Konseling Terhadapnya, Veritas
7/2, 2006, h. 283-289.
[2] Kartini Kartono, Pathologi
Sosial, Rajawali, Jakarta: 1981. Hal. 296.
[3] Kartini Kartono, Gangguan-gangguan
Psikis, Sinar Baru, Bandung: 1981, Hal. 135.
[4] Kartini Kartono, Pathologi
Sosial, Rajawali, Jakarta: 1981. Hal. 296.
[5] Kartini Kartono, Pathologi
Sosial, Rajawali, Jakarta: 1981. Hal. 299-304.
[6] Napoleon Hill, You
Can Work Your Own Miracles (Terjemahan), hal. 59.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar...