Kamis, 28 Mei 2015

Memanfaatkan Budaya Konsumtif

Mengapa Harus Dimanfaatkan?
Dalam benak saya, ada pertanyaan kenapa kita harus bisa memahami budaya bangsa lain. Apalagi, saat ini budaya bangsa di berbagai belahan bumi cenderung mengikuti modernisasi. Artinya, budaya bangsa yang bersifat tradisional sudah mulai banyak terkikis oleh pola-pola kekinian.
Warga desa, sebagai komunitas yang agak jauh dari pusat peradaban tidak bisa mengikuti modernisasi dengan laju yang cepat. Untuk bisa memahami budaya baru, warga desa juga perlu belajar apa dan bagaimana budaya baru itu muncul. Ketika pemahaman itu ada, maka akan ada sisi positif yang bisa kita jadikan pembelajaran. Diantara budaya baru yang saya maksud itu adalah budaya konsumtif.
Dalam situasi industrialisasi, para produsen perlu memahami situasi pasar untuk  menjual produknya. Apalagi, produk yang dihasilkan oleh warga desa tidak bisa dijual begitu saja di pedesaan karena keterbatasan konsumen. Budaya konsumtif ini bisa menjadi peluang untuk memasarkan produk-produk yang dimiliki. Mengapa? Karena, budaya konsumtif sebagai perangsang bagi produktifitas si produsen itu sendiri. Apabila para konsumen bisa membeli barang atau jasa dalam jumlah banyak maka keuntungan akan lebih banyak diterima oleh produsen.
Dari sisi pembangunan pedesaan, budaya konsumtif bisa merangsang untuk menambah lapangan kerja baru. Dengan produksi yang senantiasa meningkat, maka diperlukan jumlah tenaga kerja dalam jumlah besar. Warga desa masih memiliki harapan untuk senantiasa bertumbuh di tengah ketidakpastian pembangunan di desanya sendiri. Harapan itu adalah budaya yang sedang terjadi di belahan dunia lain. Perputaran ekonomi tidak hanya terjadi di perkotaan tetapi juga akan terjadi di pedesaan.[1]
Kegiatan ekspor tidak hanya berlaku bagi perusahaan besar di perkotaan tetapi juga menjadi 'tren' bagi masyarakat pedesaan. Orientasi usaha warga desa tidak hanya melayani kebutuhan daerah terdekatnya, tetapi juga melayani permintaan dari luar negeri. Dalam situasi seperti itu, warga desa mempunyai tempat tersendiri dalam kancah perdagangan global. Meskipu berada jauh dari kota, warga desa menjadi entitas bisnis yang ikut serta menentukan laju perekonomian nasional.
Dengan informasi yang memadai, maka pengusaha di pedesaan bisa  mengikuti tren masyarakat dunia. Tidak akan pernah ada alasan sulitnya memasarkan produk hasil 'orang kampung' karena bisa menyesuaikan dengan selera warga dunia. Konsumen dengan budaya yang berbeda juga memiliki karakter yang berbeda. Dalam membuat produk pun, produsen harus bisa memperkirakan kriteria produk yang diinginkan. Maka dari itu, pemahaman akan budaya masyarakat lain teramat perlu dimiliki.[2]
Bagaimana Budaya Konsumtif Lahir?
Budaya konsumtif ini lahir di tengah masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi. Masyarakat seperti ini sudah tidak mengkhawatirkan masalah kebutuhan pokok. Fokus perhatian mereka pada konsumsi dan kesejahteraan bukan lagi pada produksi. Negara-negara yang memasuki periode ini giat membangun pusat-pusat perdagangan. Kecendrungan mereka adalah mengonsumsi barang-barang tahan lama bahkan barang mewah. [3]
Ekonomi di negara-negara Barat saat ini sudah masuk kedalam tahap ini, disusul oleh negara-negara Asia Timur. Situasi ini membawa pada ekonomi yang sangat dipengaruhi oleh pola konsumsi warganya. Ketika konsumsi warganya menurun maka terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi. Untuk meningkatkan konsumsi, maka Pemerintah setempat melaksanakan strategi yang bisa meningkatkan pendapatan warganya. Ketika pendapatan meningkat maka para produsen pun berlomba-lomba menawarkan produk mereka.
Produsen gencar mengiklankan produknya di berbagai media. Dalam hal ini iklan memperkuat nilai budaya. Iklan menawarkan nilai-nilai yang sebelumnya tidak pernah ada di tengah masyarakat. Iklan menciptakan konsep baru tentang suatu produk. Dalam masyarakat dengan ekonomi mapan, iklan tidak menawarkan kegunaan produk tetapi sudah menawarkan nilai tambah yang bisa meningkatkan 'gengsi' si konsumen. Misal, iklan makanan cepat saji tidak hanya menawarkan makanan yang 'mengenyangkan' tetapi juga menawarkan 'kesenangan apabila berkumpul di restoran'. Nilai-nilai seperti inilah yang senantiasa dicari bahkan diciptakan oleng biro-biro iklan
Iklan yang biasanya dianggap mempengaruhi permintaan sebetulnya juga berperan dalam menguatkan nilai-nilai budaya yang sudah ada dan juga dalam diseminasi selera, kebiasaan dan tata cara baru ke dalam budaya masyarakat sasaran. Peranan iklan dalam mengkampanyekan budaya konsumtif adalah menawarkan standar-standar baru bagi masyarakat mengenai bagaimana seseorang dianggap mengikuti perkembangan zaman. Dalam hal ini, iklan tidak saja dianggap sebagai 'provokator' bagi kebersahajaan masyarakat tetapi juga menawarkan kemajuan teknologi yang tentu saja bermanfaat bagi siapa pun yang menggunakannya.
Iklan merupakan sarana penawar ide-ide baru bagi terbentuknya budaya baru. Kita tidak bisa melihat perubahan budaya ini sebagai hal negatif karena bagaimana pun tidak bisa dipungkiri bahwa budaya itu dinamis. Hal yang sulit dihindari, apabila budaya itu stagnan. Hanya saja, demi perkembangan ummat manusia budaya baru itu dibentuk dan ditawarkan. Budaya baru _dalam hal ini budaya konsumtif_ menjadi perangsang bagi kemajuan ekonomi itu sendiri. Lalu, kita bisa menyimpan "budaya lama" yang sudah tidak terpakai lagi di museum.
Dalam fungsinya memenuhi kebutuhan masyarakat, kebudayaan juga berubah sejalan dengan perubahan kebutuhan itu sendiri. Perubahan ini bisa disebabkan oleh perkembangan teknologi, perubahan struktur populasi, langkanya sumber, perang, berubahnya nilai-nilai dan sebagainya. Dalam hal ini, para pemasar jeli melihat dan mengikuti perubahan kebudayaan itu dengan melakukan pengembangan dan inovasi produk.
Semakin meningkatnya jumlah wanita yang berkarier, yang merupakan gejala perubahan demografik, ternyata berdampak pada perubahan budaya dan nilai-nilai yang mendasar. Wanita bukan lagi berperan sebagai ibu rumah tangga yang hanya tahu pekerjaan dapur, berdandan dan membesarkan anak, melainkan wanita yang punya potensi dan wanita yang mengambil keputusan membeli. Waktu yang semakin sempit karena terdesak oleh pekerjaan menyebabkan wanita tidak sempat memasak makanan untuk keluarganya. Ritual pun berubah. Semakin banyak keluarga atau anggota-anggota keluarga yang makan di luar, apalagi di akhir pekan. Pernahkan terbersit dalam pikiran tentang keluarga yang sering makan di luar, berpuluh-puluh tahun lalu? Perubahan ini sudah berang tentu menjadi peluang emas bagi produsen-produsen peralatan restoran seperti lemari pendingin, kompor dan sebagainya. [4]
Masyarakat Konsumsi
Masyarakat konsumsi adalah masyarakat yang dibentuk dan dihidupi oleh konsumsi, yang menjadikan konsumsi sebagai pusat aktifitas kehidupan dengan hasrat selalu dan selalu mengkonsumsi. Dalam masyarakat konsumsi pendangan bahwa barang (komoditi) tidak lebih dari sekedar kebutuhan yang memiliki nilai tukar dan nilai guna kini pelan-pelan mulai ditinggalkan dan diganti dari komoditas menjadi tanda. Dengan demikian, konsumsi tidak dapat dipahami sebagai konsumsi nilai guna, tetapi terutama sebagai konsumsi tanda.
Dalam masyarakat konsumen hubungan manusia ditransformasikan dalam hubungan objek yang dikontrol oleh kode. Objek adalah tanda. Perbedaan status dimaknai sebagai perbedaan konsumsi tanda,  kekayaan diukur dari banyaknya tanda yang dikonsumsi. Mengkonsumsi objek tertentu menandakan kita berbeda atau dianggap sama dengan kelompok sosial tertentu, jadi kode mengambil fungsi kontrol terhadap individu.
Menurut pandangan Baudrillard, proses konsumsi dapat dianalisi dalam perspektif dua aspek yang mendasar, yaitu:
Pertama, sebagai proses signifikansi dan komunikasi, yang didasarkan pada peraturan (kode) dimana praktik-praktik konsumsi masuk dan mengambil maknanya. Di sini, konsumsi merupakan sistem pertukaran, dan sepadan dengan bahasa.
Kedua, sebagai proses klasifikasi dan diferensiasi sosial, dimana kali ini objek-objek/tanda-tanda ditahbiskan bukan hanya sebagai perbedaan yang signifikan dalam satu kode tetapi sebagai nilai yang sesuai (aturan) dalam sebuah hirarki. Di sini konsumsi dapat menjadi objek pembahasan strategis yang menentukan kekuatan, khususnya dalam distribusi nilai yang sesuai aturan (melebihi hubungannya dengan pertanda sosial lainnya: pengetahuan, kekuasaan, seni budaya dll.)
Objek konsumsi mengontrol kita saat ini, bukan sebaliknya. Konsumen terjebak  pada irama yang dibuatnya. Ketimbang simbol-simbol, prestise yang didapat malah kita larut dalam sistemnya. Kita sering beranggapan bahwa konsumen memiliki kebebasan dalam menggunakan objek-objek, tetapi sekarang malah sebaliknya, objek-objek konsumsilah yang mengontrol kita.
Konsumsi telah menjadi basis utama pranata sosial melalui fungsi tanda linguistik. Objek-objek konsumer mengkonstitusi sistem klasifikasi dan mengakibatkan pembentukan tingkah laku. Perbedaan antara si kaya dan si miskin dapat dibedakan dari perbedaan pola-pola konsumsi yang dijalankannya.
Objek memiliki efek tatkala ia dikonsumsi dengan mentrasfer 'makna'-nya pada konsumen. Dengan begitu potensi permainan tanda tak terbatas terlembagakan, yang pada gilirannya menata masyarakat saat memberi perasaan kebebasan ilusioner pada individu.Iklan telah mengambil alih pertanggungjawaban moral masyarakat dan mengganti moralitas puritan dengan moralitas hedonistik tentang kepuasan sejati.[5]
Cara Memanfaatkan
Warga desa bisa memanfaatkan budaya konsumtif masyarakat Barat untuk mengekspor produk kreatif. Saya senantiasa percaya bahwa setiap manusia diciptakan dengan kreatifitasnya yang unik. Keunikan itulah yang senantiasa menjadi kekuatan produk-produk berkualitas ekspor. Apabila produk dengan nilai guna yang sama _misal, alat makan_ sudah beredar banyak di pasaran maka bagaimana warga desa memberikan nilai estetis pada alat makan tersebut. Bisa saja, mangkuk yang dilukis dengan berbagai warna dan objek.
Di era teknologi informasi, warga desa tidak akan kesulitan untuk bisa mengetahui kebutuhan konsumen sasaran. Ketika kita berkeinginan kuat untuk mendobrak pasar, maka informasi yang tersedia di media massa bisa menjadi sarana teramat penting yang tidak boleh diabaikan. Internet menghubungkan orang desa dengan berbagai negara sehingga memahami pola konsumsi yang mereka miliki. Dengan media massa, kita bisa tahu apa yang sedang terjadi di belahan dunia lain hari itu juga.
Perilaku konsumen sangat dipengaruhi oleh media massa. Maka dari itu, sangat disarankan untuk terus memantau media massa. Karena, seperti yang sudah dibahas di atas budaya konsumtif ini tidak bisa lepas dari peran media. Tren dan kebutuhan pasar sangat mungkin apabila kita terus mengkaji setiap pola-pola kejadian yang diberitakan media massa.
Pemerintah punya saluran tersendiri untuk menghubungkan produk dalam negeri dengan kebutuhan pasar luar negeri. Pemerintah  bisa menjembatani kedua pihak yang saling 'membutuhkan' . Informasi bisa didapat dari sumber Pemerintah karena hubungan diantara berbagai negara juga berfungsi mengumpulkan informasi. Ada saluran pemasaran yang relevan dengan kebutuhan masyarakat Barat.
Konsumen dimanapun termasuk masyarakat Barat  dipengaruhi oleh kultur dan subkultur.[6] Subkultur adalah analisis unit-unit yang penting untuk mensegmentasikan pasar yang luas dan juga merupakan unit-unit analisis yang penting untuk penelitian pemasaran. Subkultur-subkultur tersebut mewakili kelompok sasaran yang jelas untuk produk-produk tertentu dan merupakan unit-unit yang logis untuk mensegmentasi pasar yang luas. Perilaku individu sebagai konsumen dipengaruhi oleh kultur dominan maupun subkultur spesifik di mana dia berada. Subkkultur dimaksud diantaranya, subkultur kebangsaan atau etnik, subkultur agama, subkultur geografis dan regional, subkultur ras, subkultur umur, subkultur gender.
Lebih lanjut, warga desa bisa belajar  akan situasi masyarakat di luar lingkaran tempat hidupnya dengan menggunakan sarana yang tersedia banyak. Alhasil, diharapkan warga desa menjadi warga dunia yang turut serta memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemajuan kehidupannya.



[1] sweetcandy-just4me.blogspot.com/2011/11/dampak-positif-dan-negatif-dari.html
[2] Ristiyanti Prasetijo dan John JOI Ihalauw, Perilaku Konsumen, Penerbit Andi, Yogyakarta: 2005.
[3] ML. Jhingan, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, hal. 188.
[4] Restiyanti, op.cit, hal. 186-189.
[5] Chaoirul Mahfud, 39 Tokoh Sosiologi Politik Dunia, Jaring Pena, Surabaya: 2009, hal. 187-194.
[6]Ristiyanti Prasetijo dan John JOI Ihalauw, Perilaku Konsumen. hal. 193.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar...