Mengapa
Harus Dimanfaatkan?
Dalam benak saya, ada pertanyaan kenapa kita
harus bisa memahami budaya bangsa lain. Apalagi, saat ini budaya bangsa di
berbagai belahan bumi cenderung mengikuti modernisasi. Artinya, budaya bangsa
yang bersifat tradisional sudah mulai banyak terkikis oleh pola-pola kekinian.
Warga desa, sebagai komunitas yang agak jauh
dari pusat peradaban tidak bisa mengikuti modernisasi dengan laju yang cepat.
Untuk bisa memahami budaya baru, warga desa juga perlu belajar apa dan
bagaimana budaya baru itu muncul. Ketika pemahaman itu ada, maka akan ada sisi
positif yang bisa kita jadikan pembelajaran. Diantara budaya baru yang saya
maksud itu adalah budaya konsumtif.
Dalam situasi industrialisasi, para produsen perlu
memahami situasi pasar untuk menjual
produknya. Apalagi, produk yang dihasilkan oleh warga desa tidak bisa dijual
begitu saja di pedesaan karena keterbatasan konsumen. Budaya konsumtif ini bisa
menjadi peluang untuk memasarkan produk-produk yang dimiliki. Mengapa? Karena,
budaya konsumtif sebagai perangsang bagi produktifitas si produsen itu
sendiri. Apabila para konsumen bisa membeli barang atau jasa dalam jumlah
banyak maka keuntungan akan lebih banyak diterima oleh produsen.
Dari sisi pembangunan pedesaan, budaya
konsumtif bisa merangsang untuk menambah lapangan kerja baru. Dengan produksi
yang senantiasa meningkat, maka diperlukan jumlah tenaga kerja dalam jumlah
besar. Warga desa masih memiliki harapan untuk senantiasa bertumbuh di tengah
ketidakpastian pembangunan di desanya sendiri. Harapan itu adalah budaya yang
sedang terjadi di belahan dunia lain. Perputaran ekonomi tidak hanya terjadi di
perkotaan tetapi juga akan terjadi di pedesaan.[1]
Kegiatan ekspor tidak hanya berlaku bagi
perusahaan besar di perkotaan tetapi juga menjadi 'tren' bagi masyarakat
pedesaan. Orientasi usaha warga desa tidak hanya melayani kebutuhan daerah
terdekatnya, tetapi juga melayani permintaan dari luar negeri. Dalam situasi
seperti itu, warga desa mempunyai tempat tersendiri dalam kancah perdagangan
global. Meskipu berada jauh dari kota, warga desa menjadi entitas bisnis yang
ikut serta menentukan laju perekonomian nasional.
Dengan informasi yang memadai, maka pengusaha
di pedesaan bisa mengikuti tren
masyarakat dunia. Tidak akan pernah ada alasan sulitnya memasarkan produk hasil
'orang kampung' karena bisa menyesuaikan dengan selera warga dunia. Konsumen
dengan budaya yang berbeda juga memiliki karakter yang berbeda. Dalam membuat
produk pun, produsen harus bisa memperkirakan kriteria produk yang diinginkan.
Maka dari itu, pemahaman akan budaya masyarakat lain teramat perlu dimiliki.[2]
Bagaimana Budaya Konsumtif Lahir?
Budaya konsumtif ini lahir di tengah masyarakat
yang sudah mapan secara ekonomi. Masyarakat seperti ini sudah tidak
mengkhawatirkan masalah kebutuhan pokok. Fokus perhatian mereka pada konsumsi
dan kesejahteraan bukan lagi pada produksi. Negara-negara yang memasuki periode
ini giat membangun pusat-pusat perdagangan. Kecendrungan mereka adalah
mengonsumsi barang-barang tahan lama bahkan barang mewah. [3]
Ekonomi di negara-negara Barat saat ini sudah
masuk kedalam tahap ini, disusul oleh negara-negara Asia Timur. Situasi ini
membawa pada ekonomi yang sangat dipengaruhi oleh pola konsumsi warganya.
Ketika konsumsi warganya menurun maka terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi. Untuk
meningkatkan konsumsi, maka Pemerintah setempat melaksanakan strategi yang bisa
meningkatkan pendapatan warganya. Ketika pendapatan meningkat maka para
produsen pun berlomba-lomba menawarkan produk mereka.
Produsen gencar mengiklankan produknya di
berbagai media. Dalam hal ini iklan memperkuat nilai budaya. Iklan menawarkan
nilai-nilai yang sebelumnya tidak pernah ada di tengah masyarakat. Iklan
menciptakan konsep baru tentang suatu produk. Dalam masyarakat dengan ekonomi
mapan, iklan tidak menawarkan kegunaan produk tetapi sudah menawarkan nilai tambah
yang bisa meningkatkan 'gengsi' si konsumen. Misal, iklan makanan cepat saji
tidak hanya menawarkan makanan yang 'mengenyangkan' tetapi juga menawarkan
'kesenangan apabila berkumpul di restoran'. Nilai-nilai seperti inilah yang
senantiasa dicari bahkan diciptakan oleng biro-biro iklan
Iklan yang biasanya dianggap mempengaruhi
permintaan sebetulnya juga berperan dalam menguatkan nilai-nilai budaya yang
sudah ada dan juga dalam diseminasi selera, kebiasaan dan tata cara baru ke
dalam budaya masyarakat sasaran. Peranan iklan dalam mengkampanyekan budaya
konsumtif adalah menawarkan standar-standar baru bagi masyarakat mengenai
bagaimana seseorang dianggap mengikuti perkembangan zaman. Dalam hal ini, iklan
tidak saja dianggap sebagai 'provokator' bagi kebersahajaan masyarakat tetapi
juga menawarkan kemajuan teknologi yang tentu saja bermanfaat bagi siapa pun
yang menggunakannya.
Iklan merupakan sarana penawar
ide-ide baru bagi terbentuknya budaya baru. Kita tidak bisa melihat perubahan
budaya ini sebagai hal negatif karena bagaimana pun tidak bisa dipungkiri bahwa
budaya itu dinamis. Hal yang sulit dihindari, apabila budaya itu stagnan. Hanya
saja, demi perkembangan ummat manusia budaya baru itu dibentuk dan ditawarkan.
Budaya baru _dalam hal ini budaya konsumtif_ menjadi perangsang bagi kemajuan
ekonomi itu sendiri. Lalu, kita bisa menyimpan "budaya lama" yang
sudah tidak terpakai lagi di museum.
Dalam fungsinya memenuhi kebutuhan masyarakat,
kebudayaan juga berubah sejalan dengan perubahan kebutuhan itu sendiri. Perubahan
ini bisa disebabkan oleh perkembangan teknologi, perubahan struktur populasi,
langkanya sumber, perang, berubahnya nilai-nilai dan sebagainya. Dalam hal ini,
para pemasar jeli melihat dan mengikuti perubahan kebudayaan itu dengan
melakukan pengembangan dan inovasi produk.
Semakin meningkatnya jumlah wanita yang
berkarier, yang merupakan gejala perubahan demografik, ternyata berdampak pada
perubahan budaya dan nilai-nilai yang mendasar. Wanita bukan lagi berperan
sebagai ibu rumah tangga yang hanya tahu pekerjaan dapur, berdandan dan
membesarkan anak, melainkan wanita yang punya potensi dan wanita yang
mengambil keputusan membeli. Waktu yang semakin sempit karena terdesak oleh
pekerjaan menyebabkan wanita tidak sempat memasak makanan untuk keluarganya. Ritual
pun berubah. Semakin banyak keluarga atau anggota-anggota keluarga yang makan
di luar, apalagi di akhir pekan. Pernahkan terbersit dalam pikiran tentang
keluarga yang sering makan di luar, berpuluh-puluh tahun lalu? Perubahan ini
sudah berang tentu menjadi peluang emas bagi produsen-produsen peralatan restoran
seperti lemari pendingin, kompor dan sebagainya. [4]
Masyarakat Konsumsi
Masyarakat konsumsi adalah masyarakat yang
dibentuk dan dihidupi oleh konsumsi, yang menjadikan konsumsi sebagai pusat
aktifitas kehidupan dengan hasrat selalu dan selalu mengkonsumsi. Dalam
masyarakat konsumsi pendangan bahwa barang (komoditi) tidak lebih dari sekedar
kebutuhan yang memiliki nilai tukar dan nilai guna kini pelan-pelan mulai
ditinggalkan dan diganti dari komoditas menjadi tanda. Dengan demikian, konsumsi
tidak dapat dipahami sebagai konsumsi nilai guna, tetapi terutama
sebagai konsumsi tanda.
Dalam masyarakat konsumen hubungan manusia
ditransformasikan dalam hubungan objek yang dikontrol oleh kode. Objek
adalah tanda. Perbedaan status dimaknai sebagai perbedaan konsumsi tanda, kekayaan diukur dari banyaknya tanda
yang dikonsumsi. Mengkonsumsi objek tertentu menandakan kita berbeda atau
dianggap sama dengan kelompok sosial tertentu, jadi kode mengambil fungsi
kontrol terhadap individu.
Menurut pandangan Baudrillard, proses konsumsi
dapat dianalisi dalam perspektif dua aspek yang mendasar, yaitu:
Pertama, sebagai proses signifikansi dan komunikasi, yang didasarkan pada peraturan (kode) dimana
praktik-praktik konsumsi masuk dan mengambil maknanya. Di sini, konsumsi
merupakan sistem pertukaran, dan sepadan dengan bahasa.
Kedua, sebagai proses klasifikasi dan
diferensiasi sosial, dimana
kali ini objek-objek/tanda-tanda ditahbiskan bukan hanya sebagai perbedaan yang
signifikan dalam satu kode tetapi sebagai nilai yang sesuai (aturan) dalam
sebuah hirarki. Di sini konsumsi dapat menjadi objek pembahasan strategis yang
menentukan kekuatan, khususnya dalam distribusi nilai yang sesuai aturan
(melebihi hubungannya dengan pertanda sosial lainnya: pengetahuan, kekuasaan,
seni budaya dll.)
Objek konsumsi mengontrol kita saat ini, bukan
sebaliknya. Konsumen terjebak pada irama
yang dibuatnya. Ketimbang simbol-simbol, prestise yang didapat malah kita larut
dalam sistemnya. Kita sering beranggapan bahwa konsumen memiliki kebebasan dalam
menggunakan objek-objek, tetapi sekarang malah sebaliknya, objek-objek
konsumsilah yang mengontrol kita.
Konsumsi telah menjadi basis utama pranata
sosial melalui fungsi tanda linguistik. Objek-objek konsumer mengkonstitusi
sistem klasifikasi dan mengakibatkan pembentukan tingkah laku. Perbedaan antara
si kaya dan si miskin dapat dibedakan dari perbedaan pola-pola konsumsi yang
dijalankannya.
Objek memiliki efek tatkala ia dikonsumsi
dengan mentrasfer 'makna'-nya pada konsumen. Dengan begitu potensi permainan
tanda tak terbatas terlembagakan, yang pada gilirannya menata masyarakat saat
memberi perasaan kebebasan ilusioner pada individu.Iklan telah mengambil alih
pertanggungjawaban moral masyarakat dan mengganti moralitas puritan dengan
moralitas hedonistik tentang kepuasan sejati.[5]
Cara Memanfaatkan
Warga desa bisa memanfaatkan budaya konsumtif
masyarakat Barat untuk mengekspor produk kreatif. Saya senantiasa percaya bahwa
setiap manusia diciptakan dengan kreatifitasnya yang unik. Keunikan itulah yang
senantiasa menjadi kekuatan produk-produk berkualitas ekspor. Apabila produk
dengan nilai guna yang sama _misal, alat makan_ sudah beredar banyak di pasaran
maka bagaimana warga desa memberikan nilai estetis pada alat makan tersebut.
Bisa saja, mangkuk yang dilukis dengan berbagai warna dan objek.
Di era teknologi informasi, warga desa tidak
akan kesulitan untuk bisa mengetahui kebutuhan konsumen sasaran. Ketika kita
berkeinginan kuat untuk mendobrak pasar, maka informasi yang tersedia di media
massa bisa menjadi sarana teramat penting yang tidak boleh diabaikan. Internet
menghubungkan orang desa dengan berbagai negara sehingga memahami pola konsumsi
yang mereka miliki. Dengan media massa, kita bisa tahu apa yang sedang terjadi
di belahan dunia lain hari itu juga.
Perilaku konsumen sangat dipengaruhi oleh media
massa. Maka dari itu, sangat disarankan untuk terus memantau media massa.
Karena, seperti yang sudah dibahas di atas budaya konsumtif ini tidak bisa
lepas dari peran media. Tren dan kebutuhan pasar sangat mungkin apabila kita
terus mengkaji setiap pola-pola kejadian yang diberitakan media massa.
Pemerintah punya saluran tersendiri untuk
menghubungkan produk dalam negeri dengan kebutuhan pasar luar negeri.
Pemerintah bisa menjembatani kedua pihak
yang saling 'membutuhkan' . Informasi bisa didapat dari sumber Pemerintah
karena hubungan diantara berbagai negara juga berfungsi mengumpulkan informasi.
Ada saluran pemasaran yang relevan dengan kebutuhan masyarakat Barat.
Konsumen dimanapun termasuk masyarakat Barat dipengaruhi oleh kultur dan subkultur.[6] Subkultur adalah analisis unit-unit yang
penting untuk mensegmentasikan pasar yang luas dan juga merupakan unit-unit
analisis yang penting untuk penelitian pemasaran. Subkultur-subkultur tersebut
mewakili kelompok sasaran yang jelas untuk produk-produk tertentu dan merupakan
unit-unit yang logis untuk mensegmentasi pasar yang luas. Perilaku individu
sebagai konsumen dipengaruhi oleh kultur dominan maupun subkultur spesifik di mana
dia berada. Subkkultur dimaksud diantaranya, subkultur kebangsaan atau etnik,
subkultur agama, subkultur geografis dan regional, subkultur ras, subkultur
umur, subkultur gender.
Lebih lanjut, warga desa bisa belajar akan situasi masyarakat di luar lingkaran
tempat hidupnya dengan menggunakan sarana yang tersedia banyak. Alhasil,
diharapkan warga desa menjadi warga dunia yang turut serta memanfaatkan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemajuan kehidupannya.
[1] sweetcandy-just4me.blogspot.com/2011/11/dampak-positif-dan-negatif-dari.html
[2] Ristiyanti
Prasetijo dan John JOI Ihalauw, Perilaku Konsumen, Penerbit Andi,
Yogyakarta: 2005.
[3] ML. Jhingan, Ekonomi
Pembangunan dan Perencanaan, hal. 188.
[4] Restiyanti, op.cit,
hal. 186-189.
[5] Chaoirul Mahfud, 39
Tokoh Sosiologi Politik Dunia, Jaring Pena, Surabaya: 2009, hal. 187-194.
[6]Ristiyanti Prasetijo dan John JOI Ihalauw, Perilaku
Konsumen. hal. 193.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar...