Sabtu, 02 Agustus 2014

Menanggapi Undang-undang Tentang Desa

sumber : google.co.id
Sebuah peraturan perundangan dibuat sebagai payung hukum dari kebijakan pemerintah (pusat dan daerah) untuk menelorkan kebijakan. Kita lihat nanti seberapa efektifkah undang-undang tentang desa yang telah diundangkan oleh Pemerintah. Berbicara tentang efektifitas pembangunan desa tentu tidak terlepas dari peran warga desa sendiri. Kita sudah mafhum bahwa kebijakan yang ‘terdengar bagus’ di pusat bisa menjadi masalah baru ketika orang daerah belum punya sepehaman.
Saya perhatikan, keberhasilan pembangunan desa melalui implementasi UU No. 6 Tahun 2014 ini tidaklah terletak dari seberapa besar kekuatan pemerintah untuk menyukseskannya. Tetapi, keberhasilan itu terletak pada seberapa kuat niat dan tekad warga desa itu sendiri. Saya berkaca pada program PNPM Mandiri dimana yang terjadi adalah ‘penghamburan anggaran’. Ada banyak proyek desa yang terbengkalai begitu saja. Saya pikir harus ada rencana jitu baik secara strategis maupun teknis yang timbul dari proses inisiatif dari bawah ke atas (bottom up).
Inisiatif ini memang harus diakomodir oleh pemerintah desa sendiri mana yang menjadi prioritas utama. Proyek yang sebaiknya menjadi prioritas utama adalah proyek-proyek berkelanjutan yang menitikberatkan pada pembangunan kualitas sumberdaya manusia. Kemudian, proyek yang bisa meningkatkan kesejahteraan ekonomi warga.
Jika diperhatikan, ternyata ada beberapa hambatan dalam implementasi proyek yang berhubungan dengan perdesaan. Hambatan yang mungkin terjadi:
Ketidaksiapan Sumberdaya Manusia untuk Membangun
Hal yang utama _dan mungkin terjadi dimana-mana_ adalah ketidaksiapan warga dalam mengikuti pola pembangunan yang telah dicanangkan pemerintah pusat. Untuk ini, perlua ada proses tranformasi dari pemerintah pusat kepada warga desa mengenai visi pembangunan yang ingin dicapai. Memang, pendidikan formal belum bisa menjadi wadah untuk menyelaraskan pikiran antara pemerintah dengan warganya. Apalagi kita tidak memiliki Garis Besar Haluan Negara dimana menjadi visi besar negara dalam menata masa depan bangsa.
Harus diakui, kebanyakan warga desa hanyalah mengikuti apa yang sedang dan sudah terjadi. Kita tidak punya budaya untuk merencanakan masa depan sendiri. Pola pikir membangun belum tumbuh dalam diri masyarakat desa. Hal ini dibuktikan dengan minimnya proses pembangunan di desa-desa padahal ada banyak potensi di dalamnya. Alasan-alasan ketiadaan dana sudah tidak relevan lagi karena pemerintah pun menyediakannya.
Tidak Adanya Agen Pembangunan
Jika dulu di desa ada ulama sebagai agen pembangunan tetapi sekarang peran ulama sudah terkikis. Peran ulama hanya ada pada aspek rohaniah saja. Maka dari itu, perlu ada agen pembangunan yang bisa menjadi lokomotif dari pembangunan itu sendiri. Pemerintah desa saja tidak cukup karena keterbatasan personil dan ruang gerak. Apalagi pemerintah desa lebih banyak disibukan dengan urusan administrasi dibanding dengan menjalankan berbagai proyek pembangunan.
Untuk masa depan, seorang industrialis selayaknya menjadi agen pembangunan baru. Mereka terbukti bisa membawa perubahan bagi kehidupan banyak orang. Secara manajerial seorang industrialis dianggap lebih mampu mengakomodir kepentingan masyarakat. Seorang industrialis juga bisa menyediakan banyak lapangan pekerjaan dan menggerakan roda perekonomian pada kecapatan yang dibutuhkan.
Minimnya Rangsangan
Di pedesaan, rangsangan untuk membangun sangat minim. Mungkin, harus ada jalur distribusi ekonomi sebagai rangsangan pembangunan di masa depan. Rangsangan tidak hanya modal finansial tetapi juga kepastian usaha, pembukaan lapangan kerja baru dan kenyamanan hidup. Jika kualitas hidup di desa dirasa lebih baik dibanding di kota saya yakin pembangunan akan terjadi dengan sendirinya.
Saya berharap urbanisasi akan berkurang dan desa pun akan sejahtera akan pembangunan berjalan dengan baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar...