sumber : google.co.id |
Sebuah peraturan perundangan dibuat sebagai payung
hukum dari kebijakan pemerintah (pusat dan daerah) untuk menelorkan kebijakan. Kita
lihat nanti seberapa efektifkah undang-undang tentang desa yang telah
diundangkan oleh Pemerintah. Berbicara tentang efektifitas pembangunan desa
tentu tidak terlepas dari peran warga desa sendiri. Kita sudah mafhum bahwa
kebijakan yang ‘terdengar bagus’ di pusat bisa menjadi masalah baru ketika
orang daerah belum punya sepehaman.
Saya perhatikan, keberhasilan pembangunan desa
melalui implementasi UU No. 6 Tahun 2014 ini tidaklah terletak dari seberapa
besar kekuatan pemerintah untuk menyukseskannya. Tetapi, keberhasilan itu
terletak pada seberapa kuat niat dan tekad warga desa itu sendiri. Saya berkaca
pada program PNPM Mandiri dimana yang terjadi adalah ‘penghamburan anggaran’. Ada
banyak proyek desa yang terbengkalai begitu saja. Saya pikir harus ada rencana
jitu baik secara strategis maupun teknis yang timbul dari proses inisiatif dari
bawah ke atas (bottom up).
Inisiatif ini memang harus diakomodir oleh
pemerintah desa sendiri mana yang menjadi prioritas utama. Proyek yang
sebaiknya menjadi prioritas utama adalah proyek-proyek berkelanjutan yang
menitikberatkan pada pembangunan kualitas sumberdaya manusia. Kemudian, proyek
yang bisa meningkatkan kesejahteraan ekonomi warga.
Jika diperhatikan, ternyata ada beberapa hambatan
dalam implementasi proyek yang berhubungan dengan perdesaan. Hambatan yang
mungkin terjadi:
Ketidaksiapan Sumberdaya Manusia untuk Membangun
Hal yang utama _dan mungkin terjadi dimana-mana_ adalah
ketidaksiapan warga dalam mengikuti pola pembangunan yang telah dicanangkan
pemerintah pusat. Untuk ini, perlua ada proses tranformasi dari pemerintah
pusat kepada warga desa mengenai visi pembangunan yang ingin dicapai. Memang,
pendidikan formal belum bisa menjadi wadah untuk menyelaraskan pikiran antara
pemerintah dengan warganya. Apalagi kita tidak memiliki Garis Besar Haluan
Negara dimana menjadi visi besar negara dalam menata masa depan bangsa.
Harus diakui, kebanyakan warga desa hanyalah
mengikuti apa yang sedang dan sudah terjadi. Kita tidak punya budaya untuk
merencanakan masa depan sendiri. Pola pikir membangun belum tumbuh dalam diri
masyarakat desa. Hal ini dibuktikan dengan minimnya proses pembangunan di
desa-desa padahal ada banyak potensi di dalamnya. Alasan-alasan ketiadaan dana
sudah tidak relevan lagi karena pemerintah pun menyediakannya.
Tidak Adanya Agen Pembangunan
Jika dulu di desa ada ulama sebagai agen
pembangunan tetapi sekarang peran ulama sudah terkikis. Peran ulama hanya ada
pada aspek rohaniah saja. Maka dari itu, perlu ada agen pembangunan yang bisa
menjadi lokomotif dari pembangunan itu sendiri. Pemerintah desa saja tidak
cukup karena keterbatasan personil dan ruang gerak. Apalagi pemerintah desa
lebih banyak disibukan dengan urusan administrasi dibanding dengan menjalankan
berbagai proyek pembangunan.
Untuk masa depan, seorang industrialis selayaknya
menjadi agen pembangunan baru. Mereka terbukti bisa membawa perubahan bagi
kehidupan banyak orang. Secara manajerial seorang industrialis dianggap lebih
mampu mengakomodir kepentingan masyarakat. Seorang industrialis juga bisa
menyediakan banyak lapangan pekerjaan dan menggerakan roda perekonomian pada
kecapatan yang dibutuhkan.
Minimnya Rangsangan
Di pedesaan, rangsangan untuk membangun sangat
minim. Mungkin, harus ada jalur distribusi ekonomi sebagai rangsangan
pembangunan di masa depan. Rangsangan tidak hanya modal finansial tetapi juga
kepastian usaha, pembukaan lapangan kerja baru dan kenyamanan hidup. Jika kualitas
hidup di desa dirasa lebih baik dibanding di kota saya yakin pembangunan akan
terjadi dengan sendirinya.
Saya berharap urbanisasi akan berkurang dan desa
pun akan sejahtera akan pembangunan berjalan dengan baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar...