"Dan berkata orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan dan keimanan (kepada orang-orang yang kafir):
"Sesungguhnya kamu telah berdiam (dalam kubur) menurut ketetapan Allah,
sampai hari berbangkit; Maka Inilah hari berbangkit itu akan tetapi kamu selalu
tidak meyakini(nya)." (QS. Ar-Rum ayat 56)
"Niscaya Allah
akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang
diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang
kamu kerjakan" (QS. Al-Mujadillah
ayat 11)
Industri sebagai
Pranata Ilmiah
Apabila kita membicarakan pranata pengemban ilmu pengetahuan maka
biasanya yang terlintas dalam kiran kita adalah lembaga pendidikan seperti
sekolah. Hal itu menjadi dapat dipahami karena fokus perhatian masyarakat akan
ilmu pengetahuan hanya tertuju pada lembaga pendidikan formal.
Situasi di atas seakan sudah maklum. Sehingga, apabila seseorang ingin
menuntut ilmu maka akan berbondong-bondong masuk sekolah hingga perguruan
tinggi. Tetapi, apakah kita pernah memperhatikan jika sebenarnya institusi yang
menjaga ilmu pengetahuan agar tetap lestari adalah instusi bisnis/industri.
Kenapa?
Alasan pertama, industri senantiasa melakukan inovasi.
Kedua, industri berkaitan langsung dengan kebutuhan manusia.
Ketiga, industri secara aktif mengaplikasikan ilmu sehingga tidak mudah
terlupakan.
Keempat, industri mewariskan ilmu beserta hasil penerapannya _terwujud
secara fisik.
Kelima, industri diisi oleh orang-orang yang menyerap ilmu dari
lapangan.
Saya berpikir bahwa dunia industri bisa
mengemban kewajiban bagi umat manusia untuk menguasai ilmu pengetahuan.
Islam mendorong umatnya menuntut ilmu
pengetahuan dan mengkaji teknologi. Islam menetapkan bahwa setiap ilmu hasil
ciptaan atau hasil buatan yang diperlukan umat Islam, maka hukum pemenuhannya
adalah fardu kifayah. Artinya, bila pada tubuh umat tidak terdapat kelompok yang
jumlahnya cukup untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan umat tersebut, maka
seluruh umat menanggung dosa.
Al-Imam Al-Ghazali berkata , "Apabila ilmu
dan karya-karya yang dimiliki nonmuslim lebih baik dan lebih utama dari yang
dimiliki kaum muslimin, maka kaum muslimin berdosa dan kelak mereka dituntut
atas kelalaian itu."
Sa'id Hawwa memberikan pandangannya tentang
ilmu-ilmu yang dibutuhkan kaum muslimin, "Kami mencatat ada ribuan ilmu
pengetahuan yang semuanya tidak dianggap fardlu kifayah bagi umat Islam, fardlu
kifayah bukan berarti hanya sebatas orang yang mengetahui (melakukannya) saja,
tetapi harus ada kelompok orang yang memenuhi kebutuhan umat."
Pendapat Ibnu Taimiyyah tentang hal itu lebih
jauh lagi. Dia berkata, "Pekerjan-pekerjaan yang bersifat fardlu kifayah
apabila tidak dilaksanakan akan berubah menjadi fardlu a'in, terutama bila yang
lain tidak mampu mengerjakannya. Kalau masyarakat membutuhkan tenaga pertanian,
tekstil atau teknil sipil, maka itu merupakan tugas wajib yang bisa dipaksakan
penguasa apabila ahlinya menolak."
Mari kita membandingkan dengan dunia pendidikan
formal, dimana ilmu pengetahuan hanya dibahas dan disampaikan dari generasi ke
generasi. Lalu, bagaimana kita bisa menguji relevansi ilmu pengetahuan itu?
Tentu saja, dunia industri sebagai 'denyut nadi' masyarakat modern yang bisa
mengujinya. Dunia industri sajalah yang
bisa menjawab kebutuhan masyarakat. Begitu pun, ilmu pengetahuan yang lestari
adalah ilmu yang bisa menjawab kebutuhan masyarakat.
Kata kuncinya adalah'kebutuhan masyarakat',
begitulah bagaimana ilmu pengetahuan akan bisa terwariskan secara
alami dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bisa saja, ada ilmu pengetahuan
yang dianggap 'usang' sehingga tidak relevan lagi dengan kebutuhan masyarakat
pada suatu waktu dan suatu tempat. Pada situasi itu, industri sebagai lokomotif
pembangunan akan 'menentukan' mana ilmu pengetahuan yang harus disimpan di
museum dan mana ilmu yang harus dikembangkan kemudian diterapkan di masyarakat.
Apabila ilmu pengetahuan sudah berada pada
titik 'keusangannya' maka Pemerintah pun sudah tidak sanggup memaksakan untuk
menerapkannya. Ini hukum pasar. Saya berkeyakinan, jika pemerintah pun akan memilih
ilmu pengetahuan yang sesuai dengan tujuan pembangunan negara. Jika tidak
sesuai, buat apa memaksakan sesuatu yang justru bisa membawa kepada kekacauan
pembangunan.
Formalisasi Ilmu: Mewariskan Konsep Industri sebagai Ibadah
Mengajarkan ilmu tidak harus selalu pada
institusi pendidikan formal.
Hal itulah yang luput dari perhatian masyarakat saat ini. Dalam hal menuntut
ilmu,fokus perhatian kita saat ini hanyalah tertuju pada sekolah-perguruan
tinggi. Kita terkadang menyepelekan ilmu pengetahuan yang bersumber dari
seseorang/pihak yang dianggap tidak memiliki 'sertifikat' di bidangnya.
Apabila masyarakat masih beranggapan demikian,
maka sulit rasanya ilmu pengetahuan akan berkembang sesuai dengan kebutuhan.
Karena, sekolah-perguruan tinggi tidak mengajarkan 'semua hal' yang diperlukan
dalam menjalani profesi. Misalnya, ilmu mengenai bagaimana membangun rumah
tidak hanya bisa didapatkan di jurusan arsitektur di universitas tetapi juga
bisa didapatkan dari 'tukang bangunan' di desa-desa tempat kita tinggal.
Dalam Islam, proses pewarisan ilmu itu sebagai
bentuk ibadah yang memiliki nilai tinggi di sisi Alloh SWT. Berdasarkan motif
itu, maka proses pewarisan ilmu dari
generasi ke generasi akan berlangsung secara alami. Hanya saja, permasalahan
timbul ketika tidak ada institusi yang bisa menghubungkan diantara pewaris dan
yang diwarisi. Warga desa belum dapat menunjuk dan menentukan kemana mereka
bisa memperoleh keahlian yang dibutuhkan. Untuk itu, perlu ada sarana yang
dianggap paling efektif _dan tentu saja gratis.
Sarana untuk proses pewarisan itu adalah
industri yang bisa dianggap paling efektif. Bukan sarana pelatihan kerja, bukan sekolah formal ataupun program
pemerintah yang dijadikan sarana tetapi industri berdasarkan alasan yang
disampaikan diawal essay ini.
Berikut adalah hadist yang menerangkan bahwa
mengajarkan keahlian adalah bentuk ibadah dan sarana untuk mendekatkan
diri kepada Alloh SWT.
Dari Abu Dzar ra. Ia berkata : "Aku
bertanya kepada Rosululloh SAW, "Apa yang dapat menyelamatkan seseorang
dari neraka?"
Nabi SAW menjawab , "Beriman kepada Alloh."
Aku bertanya, "Wahai Nabi, apakah amal
yang mengiringi iman itu?"
Nabi menjawab, "Engkau memberikan sebagian
dari karunia Alloh."
Aku bertanya," Wahai Nabiyuulloh, kalau ia
seorang miskin yang tidak dapat memberikan sesuatu?"
Nabi menjawab, "Ia lakukan amar ma'ruf dan nahi mungkar."
Aku bertanya, "Kalau seandainya ia tidak
bisa amar ma'ruf dan nahi mungkar?"
Nabi menjawab, "Memberi
pertolongan/mengajar orang yang tidak mempunyai keterampilan (kerajinan tangan).”
Aku bertanya, "Wahai Rosululloh, bagaimana
pendapatmu kalau orang itu sendiri tidak mempunyai keahlian?"
Nabi menjawab, "Menolong orang teraniaya."
Aku
bertanya, "Wahai Nabiyulloh, bagaimana pandanganmu kalau orang itu lemah
tidak bisa menolong orang yang teraniaya?"
Nabi menjawab, " Apa yang engkau kehendaki dari kebaikannmu untuk engkau tinggalkan bagi
saudaramu? Agar dia bisa menjaga diri jangan sampai mengganggu orang
lain."
Aku bertanya, "Wahai Rosululloh, apakah menurut
pendapatmu jika ia melakukan (perbuatan) itu, ia akan masuk surga?"
Nabi menjawab, "Tidak ada seorang mu'min
pun yang mencari salah satu dari sifat-sifat utama ini, melainkan sifat itu akan
menarik tangannya sehingga ia memasukkannya ke syurga.
(HR. Baihaqi)
***
Kodifikasi ilmu pengetahuan perlu dilakukan,
dalam arti setiap ilmu harus dikumpulkan dalam bentuk buku atau tulisan
digital. Industri memfasilitasi ini semua sehingga si terwaris memiliki pijakan
untuk mengembangkan ilmu.
Formalisasi ilmu pengetahuan yang saya
kemukakan disini dimaksudkan agar kita tidak terlalu terpaku pada pengetahuan
yang berasal dari sekolah-perguruan tinggi. Sebagaimana kita maklumi, ilmu bisa
bersumber dari mana saja tanpa terlepas siapa yang menyampaikan ilmu itu.
Hanya saja, masyarakat masih mempertentangkan
ilmu pengetahuan yang sifatnya informal. Menurutnya, keabsahan ilmu pengetahuan
masih diragukan. Apalagi ilmu yang belum diteliti dan dibuktikan secara
empiris. Budaya kelilmuan yang terlalu 'formal' seperti kita membuat 'strata'
tersendiri sehingga kalangan 'non akademik' merasa tidak berhak untuk
menelorkan ilmu yang tercetus dari hasil pemikirannya.
Padahal, ilmuwan sendiri sebetulnya sudah
memaklumi bahwa sumber ilmu bisa darimana saja_apalagi ilmu sosial_ yang
notabene penuh dengan ketidakpastian. Stuart Chase menyatakan bahwa ilmu adalah
suatu metode untuk memperoleh pengetahuan dan memecahkan masalah.
Sejarah manusia menunjukan 6 macam metode:
-
Bermohon kepada yang ghoib;
- Bermohon kepada kekuasaan duniawi – lebih tua lebih baik;
-
Intuisi;
-
Akal sehat;
-
Logika murni;
-
Metode ilmiah.
Bertolak
dari metode keenam itu Chase merumuskan ilmu
sebagai usaha untuk menemukan pola rangkaian peristiwa (fenomena).
Pengetahuan
diperlukan untuk menjadi dasar dari langkah-langkah yang diambil untuk
memperbaiki masyarakat. Maka dari itu ada pertimbangan pragmatis, sesuai dengan aspirasi pembangunan kita. Masyarakat saat ini tidak perlu laagi untuk
'berdebat' tentang ilmu mana dan seperti apa yang bisa 'dijadikan' rujukan bagi
pembangunan pedesaan. Saya sendiri selalu menilai bahwa ilmu yang dapat
digunakan/diaplikasikan itulah yang dipilih. Terdengar pragmatis, tetapi
begitulah manusia modern melihat ilmu pengetahuan. Kecenderungan untuk
meninggalkan ilmu pengetahuan yang sudah usang sudah menjadi sesuatu yang
'lumrah'.
Manusia modern senantiasa memiliki keinginan
untuk berubah ke arah kemajuan
(perubahan dan perombakan secara asasi susunan dan corak) suatu masyarakat.
Perubahan manusia modern dari statis ke dinamis, dari tradisional ke rasional,
dan selanjutnya. Maka dari itu, dengan jalan merubah cara berpikir masyarakat
sehingga dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi segala perangkat
kehidupan dan tatacara semaksimal mungkin. Dan, inilah sebenarnya arti penting
ilmu pengetahuan pembangunan yang membawa masyarakat di pedesaan ke arah
kehidupan yang lebih 'mudah' dalam segala hal.
Modernisasi dengan ilmu pengetahuan ini serasi
dengan fitrah kejadian manusia yang hidup dan meningkatkan taraf hidupnya ke
arah yang lebih tinggi, yang lebih baik. Jadi, warga desa jangan hanya 'nyaman'
dalam kondisi yang 'biasa seperti dulu' tetapi harus ada keinginan untuk
mengubah kondisi sekitarnya. Hal yang terkesan 'aneh', ketika warga desa ingin
terlihat modern justru mereka pergi ke kota bukannya menjadikan desanya menjadi
modern.
Warga desa pun tidak perlu khawatir dengan
proses modernisasi di desa karena sejalan dengan pengertian da'wah dalam arti
revolusioner. Islam sangat menganjurkan ummatnya untuk lebih modern. Saya
tak habis pikir, apabila ada segolongan orang yang menolak modernisasi dengan
alasan bahwa modernisasi berasal dari Barat. Namun, alasan itu akan terpatahkan
karena itu sama saja dengan 'mengucilkan' diri dari pergaulan internasional dan
saat ini sudah tidak ada lagi daerah yang tidak terhubung dengan dunia global.
Modernisasi pun sejalan dengan sejalan pula
dengan pengertian ishlah dalam arti luas. Karena, tujuan modernisasi adalah "industrialisasi penduduk"/industrialization of
the population. Perbaikan kehidupan bagi ummat Islam merupakan
ibadah yang memiliki nilai tinggi. Apalagi, manusia memiliki tugas untuk
memakmurkan bumi. Secara spiritual, modernisasi sebenarnya memenuhi nilai-nilai
keagamaan yang ada dalam diri manusia.
Industrialisasi penduduk ini dengan jalan menghentikan
program baru pembangunan bidang pertanian karena dianggap akan
menghambat industrialisasi itu sendiri. Kita bertekad
untuk tidak membangun lagi sarana baru dibidang pertanian, misalnya
membangun waduk, saluran irigasi (kanal), sumur artesis dll, kecuali hal itu
sifatnya mendesak diperlukan. Jika tidak, maka cukup memperbaiki dan memugar
apa yang telah ada. Kebijakan ini dilakukan karena kita tidak sedang
mengadakan revolusi pertanian. Sikap dan tindakan itu dilakukan dan
diperlukan untuk revolusi industri dan memelihara kekayaan hasil
bumi yang ada agar meningkat produksinya.
Semua keinginan itu tidak lepas dari
pengetahuan tentang strategi yang terencana yang kita saksikan yaitu
bagaimana Barat secara licik berusaha mengalihkan perhatian pembangunan
negeri-negeri Islam ke arah pembangunan pertanian. Untuk itu, mereka tidak
segan-segan memberikan biaya dan bantuan untuk kebutuhan pembangunan irigasi
dan sarana pertanian lainnya dalam upaya menghalangi usaha memajukan bidang
industri. Program mereka adalah bagaimana agar negeri-negeri Islam terus
lemah dan tetap tergantung kepada mereka (negara-negara industri).
***
Berdasarkan konsep pengetahuan yang mendukung
industri inilah maka saya berkeyakinan akan terjadi proses pewarisan
ilmu pengetahuan yang berkesinambungan. Kaum muda di pedesaan sepertinya akan
memiliki motifasi tinggi untuk menggali lebih banyak ilmu pengetahuan karena
ilmu tersebut dianggap berguna bagi mereka. Saya juga berpendapat
bahwa tidak perlu ada lagi 'penggiringan' dalam proses belajar karena generasi
muda memiliki intuisi untuk mengikuti kebutuhan mereka akan pengetahuan. Pribadi
yang aktif akan memandang bahwa menggali ilmu pengetahuan dan mengeksplorasi
alam merupakan bagian dari penghambaan diri kepada Alloh SWT.
Generasi penerus di pedesaan akan melihat industrialisasi
pedesaan sebagai budaya warisan leluhur yang harus dijaga dan terus
dikembangkan. Mereka tidak lagi melihat warisan leluhur hanya berupa
nilai-nilai lama yang sudah tidak 'relevan' lagi dengan kebutuhan ummat
manusia. Saya salut pada masyarakat Tionghoa yang menjadikan industri dan
bisnis sebagai budaya warisan dari orang tua. Mereka memiliki motifasi tinggi
untuk meneruskan apa yang telah dirintis oleh para orang tua.