Sumber : gurupembaharu.com |
Darimana
Datangnya Keinginan untuk Memecahkan Masalah
Awalnya saya tidak paham kenapa selalu
memikirkan banyak hal. Ada banyak masalah kehidupan yang membuat saya
penasaran. Rasa penasaran itu begitu 'mengganggu' pikiran. Ketika belum ada
jawabannya, saya terus mencari bahkan dengan resiko harus menginvestasikan waktu,
tenaga dan uang lebih besar dari biasanya. Ketika berada dalam kesendirian,
terbayang sesuatu yang menjadi pertanyaan saya, kenapa hal ini dan itu terjadi?
Kenapa begini? Kenapa begitu? Bagaimana memecahkan persoalan ini dan itu? Dan
sebagainya.
Bertahun-tahun saya mencoba untuk memahami cara
berpikir saya sendiri. Lalu, akhir-akhir ini saya mulai tahu bahwa ternyata
saya termasuk orang yang suka memecahkan masalah.
Karakter itu terbentuk begitu lama. Perasaan
tidak puas akan apa yang sudah didapat semakin menguatkan karakter itu. Saya
lebih tertarik belajar dengan otodidak dibandingkan mengikuti pola pendidikan
formal yang sudah ada. Bukan pendidikannya yang salah, tetapi dulu saya tidak
paham atas apa yang dibutuhkan.
Ternyata, untuk orang-orang seperti saya perlu
dihadapkan pada situasi yang menantang dan tidak monoton. Ketertarikan pada
situasi itu _yang kadang kacau_ menjadi semacam 'kesenangan' bagi saya. Apabila
saya sudah bisa menyelesaikan tantangan itu maka ada kepuasan yang luar biasa.
Hingga kini, saya sendiri belum menemukan
jawaban pasti kenapa ada keinginan untuk memecahkan masalah. Apakah itu
semata-mata kepuasan atau dorongan batin. Namun, saya mulai punya kesimpulan
sementara bahwa keinginan untuk memecahkan masalah adalah sebagian dari
insting manusia untuk mempertahan diri/eksistensi diri. Secara naluriah
mahkluk hidup akan 'berperilaku' sedemikian rupa untuk mempertahan dirinya.
Seekor binatang akan membuat sarang untuk berteduh atau mencari makanan karena
lapar.
Begitu juga manusia, masalah yang dihadapi
tidak hanya tempat tinggal dan makanan sehingga secara naluriah akan mencoba
untuk memecahkan masalah itu. Kompleksitas masalah manusia menuntut manusia
untuk terus berpikir dan bekerja dalam rangka memecahkan masalah itu. Sehingga,
lahirlah begitu banyak ilmu pengetahuan yang berisi cara untuk memecahkan suatu
masalah kehidupan.
Lingkungan
Memberikan Stimulasi
Kebingungan kembali menyelimuti saya ketika
sebagian besar orang di sekitar saya tidak tertarik untuk memecahkan masalahnya
sendiri. Ada banyak orang di sekitar saya yang hanya 'memecahkan masalah
kebutuhan dasar' saja. Ketidaktertarikan mereka untuk memecahkan masalah juga
menjadi perhatian saya saat ini.
Ada 'perang batin' dalam diri saya. Dalam
keseharian, banyak perbedaan pendapat dan perbedaan cara berpikir antara saya
dan kebanyakan orang. Saya tertarik untuk memecahkan masalah kehidupan
pedesaan, sebagian orang justru tidak peduli. Mereka justru sibuk berpikir
bagaimana memenuhi kebutuhannya dasarnya sendiri.
Anehnya, saya tidak terpengaruh. Banyak orang
yang mengkritik saya dengan berbagai cara. Saya bergeming. Dalam hal ini saya merasa
'sendirian'. Tetapi saya ikuti saja intuisi.
Kemudian, ketika saya mulai merasakan perbedaan
yang menyolok itu _ saya yakin bahwa rangsangan lingkungan terhadap karakter
manusia sangat dominan. Saya sendiri besar di keluarga petani dan guru. Sebagai
petani saya sering berinteraksi dengan alam. Sebagai anak guru, saya didekatkan
dengan buku dan media informasi lainnya. Mungkin, otak saya 'diisi' oleh begitu
banyak permasalahan kehidupan yang sebenarnya tidak saya alami dan saya lihat
secara nyata. Juga, otot saya terbiasa digunakan sehingga selalu ada keinginan
untuk mempermudah kerja tanpa harus mengurangi produktifitas yang sudah ada.
Terbentuklah
Pola Pikir
Dari rangsangan lingkungan itu : terbentuklah
pola pikir.
Itulah yang ingin saya sampaikan pada tulisan
ini. Saya punya angan bagaimana caranya lebih banyak lagi orang seperti saya
yang tertarik memecahkan masalah. Dengan begitu, kompleksitas permasalahan
kehidupan ini bisa terselesaikan dengan cepat.
Perlu adanya suatu lingkungan yang mendukung
orang _terutama anak-anak_ supaya punya pola pikir pemecah masalah. Lingkungan
itu harus menjadi wahana pendidikan baik formal maupun informal. Jikalau
memungkinkan, kurikulum itu terbentuk dari pengalaman saya selama ini.
Pendidikan perlu dihadapkan pada permasalahan hidup yang nyata. Bukan sekedar
simulasi, tetapi kita jujur saja pada kenyataan pahit yang sedang dialami
bangsa ini.
Saya belum punya bayangan rinci bagaimana
bentuk pembelajaran yang dimaksud. Namun, saya mulai berpikir untuk memasukan
kegiatan mengembala domba pada kurikulum. Mengapa? Dengan mengembala domba,
kita bisa terbiasa menghadapi situasi tidak terduga. Si domba bisa saja
mengamuk atau tenang mengikuti 'arahan' anak gembala. Juga, mengembala adalah
bentuk latihan kepemimpinan dasar dimana
sebelum memimipin manusia kita bisa belajar dulu memimpin domba. Di lapangan,
kita akan menemukan berbagai kendala _masalah_ dimana menjadi tantangan
tersendiri untuk menyelesaikannya.
Kemudian, ketika kita tidak bisa menemukan
pemecahan atas masalah yang sedang dihadapi maka buku dan media informasi
lainnya bisa menjadi sumber pengetahuan gratis. Selama ini, tidak terjadi hubungan
antara peran buku dengan problematika nyata karena keduanya tidak dianggap
sebagai sumber pembelajaran.
Ada banyak litratur yang mengatakan bahwa ilmu
pengetahuan akan 'nempel' jika dipraktekan. Ilmu pengetahuan yang dimaksud
bukan nalar saja, tetapi juga pengetahuan bagaimana seseorang bermasyarakat.
Dalam tata kehidupan komunal, justru pentingnya ilmu pengetahuan akan sangat
terasa. Kita saling membutuhkan satu sama lain. Sebagaimana disebutkan di atas,
semakin banyak orang yang terlibat maka problematika bisa lebih cepat
terselesaikan.
Secara naluriah, manusia ada keinginan untuk
memecahkan masalah secara bersama-sama karena kita makhluk sosial. Apabila si
peserta didik dihadapkan pada situasi sulit maka secara berkelompok mereka akan
'berdiskusi' bagaimana menyelesaikan masalah itu. Kemudian, secara bersama
menyelesaikannya.
***
Di akhir tulisan ini, saya ingin mengajak
kepada para pembaca mari menjadikan pendidikan yang kita jalani sebagai media
untuk menyelesaikan problematika kehidupan. Pendidikan bukan sekedar tren atau
usaha meningkatkan prestise saja, tetapi itu adalah sarana untuk mencapai
kehidupan yang lebih baik di masa depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar...