Ulama memiliki peran krusial dalam proses
pembangunan negeri ini. Mereka adalah agen pembangunan yang terlahir oleh
situasi unik. Dimana, tidak setiap orang memiliki kepribadian istimewa seperti
para ulama. Dalam kesehariannya, ulama berperan sebagai pemimpin informal dalam
perikehidupan bermasyarakat. Walaupun tidak memiliki legitimasi secara hukum,
ulama turut serta menentukan arah pembangunan.
Khusus dalam masyarakat desa, ulama menjadi
tokoh sentral atas segala tata kelola kehidupan di pedesaan. Untuk itu, seorang
ulama mempunyai visi pembangunan yang menyeluruh. Tidak seperti warga pada
umumnya, dalam benak seorang ulama terbersit visi tentang gambaran masa depan. Gambaran
itu lahir atas 'proses berpikir' dan 'proses mendekatkan diri pada Yang Maha
Kuasa'. Dengan luasnya ilmu, para ulama senantiasa mencari kebijaksanaan juga
memilih dari sekian banyak alternatif jalan kehidupan bagi kebaikan warga di
pedesaan.
Masa Kolonial : Ulama Berperan Mengusir Penjajah
Dahulu, masa pra kemerdekaan ulama
menitikberatkan dakwahnya pada perjuangan melawan penjajah. Banyak upaya _perlawanan fisik dan non-fisik_
dilakukan dengan segala potensi yang ada dimana harapan untuk mencapai
kemerdekaan menjadi isi dari setiap dakwahnya.
Peran itu tidak begitu saja ada. Warga menyerahkan
kepemimpinan secara mufakat sehingga semua aktifitas begitu tersentral. Pada masanya,
ulama menjadi tokoh yang merancang seperti apa tata kehidupan ketika
kemerdekaan sudah tercapai. Banyak ulama yang sangat mendambakan kehidupan Islami
berjalan dalam masyarakat luas selayaknya masa Rosululloh dahulu.[1]
Mengisi Kemerdekaan : Ulama Berorientasi Membangun Masyarakat
Setelah Indonesia merdeka, para ulama
sepertinya 'mengubah' visinya yakni bagaimana masyarakat ini dibangun. Ada banyak
lembaga dakwah, lembaga pendidikan dan berbagai bentuk sarana pembangunan
dibangun sebagai pengejawantahan dari visinya tersebut.
Saya melihat, ulama terbagi dalam menentukan
visi pembangunan mereka.
Pertama, ada ulama yang _secara sengaja_
menfokuskan diri pada pembangunan sumber daya manusia melalui pendidikan formal
dan informal. Para ulama ini berpendapat bahwa pendidikan sangat penting bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara di masa depan.
Kedua, ada ulama yang justru menfokuskan diri
pada pembangunan sarana dan prasarana pedesaan seperti irigasi, pertanian,
industri rakyat dan sebagainya. Ulama ini berpendapat bahwa pembangunan sarana
desa sangat penting mengingat itu menjadi kebutuhan masyarakat.
Perbedaan ini terlihat secara jelas, dimana
dalam kesehariannya tidak sedikit ulama yang 'enggan beraktifitas fisik'
sehingga lebih menekankan diri pada kegiatan berpikir. Membaca dan menulis
kitab adalam kesehariannya, selain mengajar para muridnya. Saya menyimpulkan
bahwa, terjadi perubahan visi pembangunan ketika tahap tinggal landas
pembangunan sedang digalakan di negeri ini. Ada ulama yang mengikuti pendapat para
pendahulunya dan ada juga yang mengikuti pendapat para akademisi di Perguruan
Tinggi.
Alhasil, perbedaan visi pembangunan ini membuat
'jurang pemisah' diantara dua tipe ulama di atas. Kedua tipe itu membentuk
komunitasnya sendiri dan seakan merasa paling benar. Contohnya, ketika
menentukan alokasi dana ummat _apakah akan diinvestasikan dalam pendidikan
formal atau membangun sarana desa. Tarik ulur kepentingan ini jelas terlihat di
desa saya, ulama saling berlomba membangun sekolah sedangkan aktifitas
pembangunan fisik begitu lambat. Kalau tidak ada intruksi dari pemerintah
pusat, maka pembangunan fisik sepertinya sulit terjadi.
Masa Depan : Ulama sebagai Perencana Pembangunan
Ada pemikiran bahwa, ulama hanya sebagai tempat
pelarian dari kepenatan kehidupan duniawi. Itu sepenuhnya salah.
Dengan kelebihan yang dimilikinya, saya
berharap ulama bisa sebagai perencana pembangunan. Secara strategis ulama bisa
menentukan arah pembangunan yang tidak terpisah antara fisik dan non-fisik. Dengan
intuisi yang dimiliki, ulama bisa menjadi penentu masa depan kehidupan. Karena bagaimana
pun, masa depan manusia ditentukan oleh manusia sendiri.[2]
Ulama bisa menjadi penasehat pemerintah untuk
merancang strategi pembangunan karena ulama sangat paham akan realita
masyarakatnya sendiri. Tanpa mengecilkan peran penting para ahli, ulama
sepertinya sangat mengetahui kriteria pembangunan seperti apa yang diinginkan
warga. Tanpa harus membagikan kuosioner, ulama bisa membaca maksud dan
keinginan kelompok yang dipimpinnya karena seringnya interaksi diantaranya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar...