Minggu, 18 November 2018

Keguyuban Orang Desa, Masih Adakah?

Gambar: http://ppid.sukoharjokab.go.id/
Ikatan apa yang bisa menyatukan orang desa di tengah arus globalisasi seperti ini?

***

Pertanyaan diatas sulit dijawab karena beberapa alasan (setidaknya menurut pengamatan penulis), diantaranya:

Pertama, kultur keagamaan orang desa yang sudah 'memisahkan'  diri dari kehidupan riil masyarakat. Orang dulu, beragama sekaligus membangun desa. Tokoh-tokoh agama tidak hanya memimpin ritual tetapi juga memimpin aktifitas aktual. Saya baca profil Teungku Daud Beureuh di Aceh, Kiai Hasyim Asy'ari di Jawa, dan juga Kiai Ahmad Dahlan, mereka benar-benar membangun masyarakat dalam ranah aktual. Hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan dasar warga diperhatikan. Mulai dari pengairan di sawah, perdagangan di pasar, pendidikan hingga kesehatan diperhatikan.

Kedua, kebutuhan yang semakin beragam. Orang desa zaman dahulu, memiliki profesi yang cenderung seragam yakni sebagai petani atau nelayan. Namun, saat ini profesi warisan leluhur tersebut tidak mendominasi masyarakat desa.

Karena adanya perubahan pola kehidupan masyarakat itu, maka ikatan pun terkesan melonggar. Misalnya, di desa saya sulit sekali menggerakan warga untuk suatu kegiatan karena 'jadwal kerja' yang berbeda-beda. Pada akhirnya, kegiatan yang biasanya dilakukan swadaya menjadi dikerjakan secara profesional alias dibayar. Kegiatan membangun jalan desa, saat ini tidak bisa lagi dikerjakan sukarela karena kendala 'kesibukan masing-masing'.

🚜

Saya belajar mengenai keguyuban ini dari orang Cina. Di tengah jumlah penduduk yang padat, justru keguyuban itu semakin kuat.
Saya melihat bahwa keguyuban itu terus 'langgeng' karena mereka tahu apa yang ingin mereka capai bersama. Sebagai manusia, kita paham bahwa tujuan hidup di dunia ini ingin hidup sejahtera.

Maaf, dalam budaya masyarakat pribumi -apalagi Sunda-, keinginan untuk sejahtera bersama itu rasanya tidak ada. Mungkin, masih ada orang yang melanggengkan 'kasta sosial'.

Perbedaan kekayaan itu hal yang lumrah, hanya saja orang kaya itu "lupa" bahwa supaya mereka tetap kaya bukan dengan 'menjaganya' tetapi 'mengembangkannya'. Dan tentu saja, mengembangkan kekayaan itu perlu melibatkan orang lain.

Ikatan yang terkesan 'pragmatis' itu seperti mengesampingkan ikatan setumpah dan sedarah. Hanya saja, slogan tentang ikatan sebangsa dan setanah air yang sering didengungkan banyak orang justru melupakan tujuan bernegara yang sebenarnya yakni mencapai kesejahteraan bersama.

Ada keinginan kuat untuk maju bersama, menjadi ikatan yang relevan di era globalisasi seperti sekarang ini. Apabila keinginan untuk sejahtera itu hanya untuk diri sendiri, ternyata tidak berlangsung lama. Dalam satu generasi, kekayaan itu bisa habis.

Apabila ada keinginan untuk sejahtera bersama, maka orang dengan kasta sosial lebih tinggi akan 'mengangkat' saudaranya. Kelanggengan kesejahteraan terbukti telah terjadi bagi masyarakat yang mau saling membantu sama-lain.

🚛

Berbagi.
Kata itulah yang mesti dipegang oleh orang desa. Para taipan dengan kekayaan 'seabreg' itu mengumpulkan kekayaan tidak sekedar bentuk keserakahan, tetapi keinginan untuk berbagi.

Pertanyaan: "untuk apa kita hidup di dunia?", bisa dijawab dengan jelas bagi orang-orang Cina. Maaf, persepsi mengenai berbagi sepertinya masih sempit dalam budaya pribumi. Berbagi itu tidak hanya "memberi secara cuma-cuma", tetapi "membantu memenuhi kebutuhan orang yang membutuhkan".

Menyediakan ribuan bahkan jutaan lapangan kerja adalah bentuk berbagi yang tidak 'menyinggung' harga diri. Bekerja merupakan cara untuk mengaktualisasikan diri dan meningkatkan harga diri. Seorang suami merasa dihargai jika memiliki pekerjaan. Akan berbeda rasanya, jika dia mendapatkan rezeki karena diberi.

Kembali kepada kata kunci "kebutuhan". Menelisik kebutuhan setiap individu dan berusaha membantu memenuhinya merupakan bentuk gotong-royong dan bentuk keguyuban yang 'tidak akan ditelan zaman'.

Coba bandingkan dengan konsep gotong-royong yang masih bersifat "sukarela". Jangankan di kota, di desa pun konsep itu sudah mulai luntur. Karena desakan kebutuhan itu tadi, bekerja secara sukarela rasanya enggan. Keengganan itu dapat dimaklumi, karena seorang suami lebih mementingkan anak-istri.

🚜

Industrialisasi kerap dianggap sebagai biang keladi dari melonggar ikatan keguyuban di desa. Industrialisasi sering dianggap mengalihkan tujuan hidup bermasyarakat pada sikap materialistis.

Namun, saya mencoba untuk "menerima takdir"  jika waktu dan tempat mengalami perubahan. Di desa, harus menjalani industrialisasi. Tentu saja, harus ada ikatan baru demi terjalinnya kehidupan yang berkelanjutan. Industri hanya sarana untuk mencapai kesejahteraan bersama. Industri bukan biang keladi dari sikap mementingkan diri sendiri. Karena, jika tanpa industri bagaimana warga desa bisa menghidupi dirinya sendiri?

Sumber:
Sori Ersa Siregar & Kencana Tirta Widya, Liem Sioe Liong: Dari Futching ke Mancanegara, Pustaka Merdeka, 1988.
Gareth Alexander, Silent Invasion: Orang Cina di Asia Tenggara. versi e-book.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar...