"Buruh
tahunan setiap bangsa merupakan kekayaan yang pada mulanya memasok bangsa
dengan segala kenyamanan hidup yang diperlukan." (Adam Smith, Wealth of
Nations dalam ML Jinghan)
Penduduk yang bertambah tidak disambut sebagai
sumber pembentukan modal. Mungkin itulah yang persepsi masyarakat kita dalam
menanggapi pertambahan penduduk. Malahan investor sepertinya tidak menganggap
sumberdaya manusia ini sebagai modal malahan menjadi 'sumber permasalahan'
bisnis yang tidak kunjung selesai.
Tren investasi saat ini sudah beralih kepada
investasi non-produktif. Para pemilik modal lebih suka berinvestasi di bursa
saham, properti, logam mulia dan jasa keuangan lainnya. Para pemegang modal
sepertinya kurang tertarik untuk menanamkan modalnya pada usaha padat karya
karena resiko yang dianggap tinggi. Pola investasi ini ternyata berpengaruh
kuat pada lapangan kerja dimana jarang dibukanya lapangan kerja baru.
Dalam perekonomian kita, investor layaknya
sebagai 'pemberi nafkah'. Para investor belum bisa memetik hasil maksimal
apabila membuka usaha padat karya. Sebaiknya, Pemerintah memberikan
kemudahan-kemudahan bagi pengusaha yang mau mempekerjakan banyak orang.
Perbedaan Persepsi Mengenai Bisnis
Kalau boleh saya berpendapat, sepertinya ada
persepsi yang 'tidak sinkron' antara buruh dengan para pengusaha. Para
pengusaha senantiasa melihat aktifitas usaha sebagai tempat untuk berkarya dan
mencari keuntungan. Sedangkan, para buruh melihat kegiatan perusahaan
semata-mata sebagai alat pemenuhan kebutuhan.
Perbedaan persepsi ini menjadikan ketidakseimbangan
daya tawar diantara keduanya. Para buruh tidak bisa menaikan 'nilai'-nya dimata
pengusaha sedangkan para pengusaha dilihat sebagai 'pemeras keringat' buruh.
Menurut saya, persepsi ini lahir dari sikap komunis yang terlalu 'mengagungkan'
buruh dan menganggap jelek para kapitalis/pemilik modal. Pada kenyataannya,
keduanya ada saling ketergantungan yang sulit untuk dipisahkan.
Dapat dipahami, apabila para investor enggan
untuk membuka usaha padat karya karena keberadaan buruh tidak dapat mendongkrak
keuntungan maksimal yang diharapkan. Untuk itu, lahirlah konsep manajemen
berbasis sumberdaya manusia yang sangat mengedepankan kreatifitas buruh sebagai
modal tidak ternilai. Sayangnya, konsep ini baru bisa diterapkan di industri
kreatif yang sangat bergantung pada kreatifitas manusia. Tetapi, di masa depan
konsep ini juga bisa diterapkan di industri manufaktur/pengolahan yang bisa mengedepankan
'kreatifitas' pekerja dalam bekerja.
Permasalahan kreatifitas buruh harus dilihat
dari latar belakang sistem pendidikan yang dijalaninya. Pendidikan yang tidak
bisa menelorkan buruh yang terampil memang sudah menjadi problem akut di negara
terbelakang seperti Indonesia.[1] Sebagai warga desa, semestinya kita sudah
mempersiapkan pola pendidikan yang menunjang dunia usaha sejak jauh-jauh hari.
Kita tidak bisa terlalu berharap pada pendidikan formal yang ada karena keterbatasan
waktu dan tenaga pengajar yang ada. Untuk itu, peran serta seluruh lapisan
masyarakat sangat diperlukan untuk bisa memahamkan 'calon pekerja' pada situasi
kerja yang sebenarnya. Sehingga, kelak para pekerja bisa 'berimprovisasi' dalam
berkompetisi untuk mencapai target yang diharapkan.
Masyarakat Pedesaan Harus Meyakinkan Investor
Menyambut industrialisasi pedesaan, perlu adanya
persiapan untuk meyakinkan investor
bahwa calon tenaga kerja siap untuk bergabung dengan industri yang akan
dibangun. Di sisi ini, para calon investor akan melihat desa kita kawasan yang
sudah siap untuk dibangun industri. Ketersediaan para calon tenaga kerja yang
dibutuhkan menjadi pertimbangan penting ketika para pengusaha akan memutuskan bentuk
usahanya kelak.
Persiapan calon tenaga kerja bisa dilakukan
oleh lembaga pelatihan kerja yang khusus mendidik anak-anak muda untuk siap
terjun ke dunia kerja. Lembaga pelatihan ini menjadi alat untuk meyakinkan
investor bahwa desa kita siap untuk menawarkan tenaga kerja siap pakai. Apabila
calon tenaga kerja yang ditawarkan bisa menunjang usaha, maka pengadaan
mesin-mesin tidak perlu dilakukan karena dengan sumberdaya manusia yang ada
justru bisa meningkatkan produktifitas hingga tingkat yang diinginkan.
Warga desa sebaiknya bisa meyakinkan investor
_lokal maupun internasional_ bahwa desanya layak untuk dijadikan tempat membuka
usaha. Lebih khusus lagi, investor diyakinkan pada tersedianya calon tenaga
kerja yang terampil, berkompetensi serta memiliki mental yang siap untuk
berkompetisi.
Warga desa juga semestinya memahami bahwa di
era ekonomi pasar bebas, tenaga kerja harus bisa memiliki daya jual. Pasar
tenaga kerja harus menawarkan orang-orang yang bisa berkontribusi maksimal
dalam dunia usaha. Calon tenaga kerja yang ada harus sudah siap dengan segala
kemungkinan di dunia kerja bukan tenaga kerja yang 'masih coba-coba'.
Hal di atas bisa dibangun, apabila orang desa
sudah memiliki persepsi bahwa posisi pengusaha tidak bertindak sebagai 'pemberi
sedekah'. Pengusaha adalah pihak yang 'membutuhkan' jasa para calon karyawan.
Untuk itu, masyarakat pencari kerja harus menjadikan dirinya sebagai individu
yang sedang menjual keahliannya pada yang membutuhkan. Apabila paradigma yang
mengatakan buruh berada di 'bawah ketiak' pengusaha, maka masih bisa dipahami buruh
seperti tidak berdaya dan tidak memiliki posisi tawar yang kuat.
Menumbuhkan Budaya Industri di Pedesaan
Budaya industri tidak mendukung, hal ini
terlihat ketika masyarakat kita masih menganggap 'rendah' pekerjaan di industri
manufakturing. Masyarakat masih menganggap pekerjaan di bidang jasa lebih
bergengsi dibanding pekerjaan-pekerjaan manual yang menggunakan keterampilan
tangan.
Kurikulum pendidikan menengah, terutama
pendidikan menengah umum, tidak mempersiapkan lulusannya untuk memasuki dunia
kerja. Kurikulum SMK, walaupun lebih
relevan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja, tidak cukup spesifik untuk
memenuhi kebutuhan industri. Alhasil,
lulusan SLTA kurang berminat bekerja di bidang industri.[2]
Bagi kita, sulit untuk memungkiri bahwa
masyarakat Indonesia belum memiliki budaya industri yang merata di seluruh
wilayahnya. Sebagian masyarakat Indonesia yang berbudaya agraris belum bisa
memaknai perubahan budaya ke arah industrialiasasi sebagai momentum untuk
mengubah kehidupan menjadi lebih baik.
Sebagaimana kita ketahui, masyarakat agraris
masih bergantung pada hasil bumi semata. Masyarakat agraris belum punya
pemikiran untuk mengolah hasil bumi itu supaya memiliki nilai tambah di
pasaran. Warga petani masih menganggap hasil panen sebagai produk akhir dari
proses panjang kegiatan bercocok tanam dan beternak yang ditekuninya. Sudah
lumrah, jika petani kita menjual hasil panennya dalam bentuk bahan mentah.
Keengganan mengolah ini membentuk karakter individu dimana tidak terangsang
untuk berinovasi dan berkreasi berbeda dari apa yang selama ini dilakukan.[3]
Masyarakat agraris juga masih menganggap bahwa
status dan posisi seseorang dalam masyarakat ditentukan oleh warisan.
Sedangkan, masyarakat industri memandang posisi seseorang ditentukan oleh
kecakapannya. Berdasarkan itu, masyarakat desa belum punya motifasi kuat untuk
meningkatkan kecakapannya dalam pekerjaan. Bagi warga desa, belajar hanya ada
di sekolah sehingga tidak menjadikan pekerjaan sebagai tempat untuk belajar.
Padahal, industri sangat membutuhkan orang-orang yang memiliki motifasi untuk
meningkatkan keterampilannya.[4]
[1] ML. Jhingan, Ekonomi
Pembangunan dan Perencanaan, hal. 520.
[2] Perencanaan
Kebutuhan SDM Industri Dalam Rangka Akselerasi Industrialisasi 2012-2014, hal. 75.
[3] Charless Issawi
MA, Pilihan Dari Muqoddimah: Filsafat
Islam Tentang Sejarah, Ibnu Kholdun, Tintamas, 1976.
[4]Siti Irene Astuti D. Pandangan Hidup Masyarakat Industri, google.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar...