Jika ingin makmur, maka bangunlah jalan raya.
Ungkapan tersebut adalah pepatah kuno Tiongkok yang populer di kalangan warga desa di wilayah-wilayah pegunungan terpencil. Saya membaca dari Halaman Facebook Xinhua, sebuah berita tentang pembangunan jalan raya telah menjadi prioritas dalam upaya pengentasan kemiskinan di Cina. Pepatah Cina tersebut sepertinya bukan hanya berlaku bagi orang sana. Membangun jalan memang sebuah keharusan. Di mana pun manusia berada maka membangun jalan sebuah keniscayaan, kebutuhan untuk mobilitas, keterbukaan informasi, dan ekspansi.
![]() |
| Gambar: Antara via Pikiran Rakyat |
Ketika mendapati berita tentang pembangunan jalan tol Gedebage-Tasikmalaya-Cilacap saya hanya ingin tahu bagaimana persepsi warga. Apakah hal yang terpikir dalam benak warga sama dengan apa yang ada dalam pikiran saya tentang betapa pentingnya sebuah pembangunan jalan tol.
Jika orang Cina menganggap pembangunan jalan raya sebagai sebuah cara untuk mencapai kemakmuran maka saya merasa jika banyak warga yang berpikir sebaliknya. Jangan-jangan warga tidak menyambut gembira dengan rencana pembangunan ini. Walaupun begitu kita harus bisa melihat dari sudut pandang orang-orang tersebut. Lumrah saja jika pembangunan selalu menuai pro dan kontra. Atau, banyak pula warga yang menyambut gembira sebagaimana saya pun menganggap baik rencana pembangunan yang telah digadang-gadang sejak lama.
Saya selalu berusaha untuk optimis ketika menyambut sebuah proses pembangunan. Niat baik pemerintahan harus kita apresiasi. Sebuah tujuan baik harus kita dukung. Toh, ini pun untuk kebaikan bersama. Apabila tanpa dukungan, proyék besar seperti ini tidak akan bermanfaat bagi banyak orang.
Sikap optimis ketika menyambut pembangunan jalan tol ada karena membayangkan manfaat besar yang akan timbul. Apabila ada jalan tol, produk dari desa bisa diedarkan dengan mudah. Meskipun warga desa jauh dari pusat pemasaran, kehadiran jalan tol mempermudah barang untuk berpindah tangan. Masalah kesulitan pemasaran, setidaknya bisa teratasi dibandingkan tidak ada jalan tol bahkan tidak ada jalan raya sama sekali.
Saya berpikir jika jalan raya merupakan jalur koneksi untuk setiap daerah. Bayangkan apabila daerah terpencil yang jauh dari kota besar tidak dihubungkan oleh jalan raya yang baik. Andaikan sudah ada jalan, kalau rusak atau sempit bisa menyulitkan aktifitas perdagangan. Ongkos tranportasi yang mahal bisa membuat pengusaha enggan untuk berinvestasi di daerah terpencil tersebut. Padahal, potensi daerah senantiasa ada, sekecil apa pun.
Bayangkan sebuah daerah pedesaan yang semula sepi dari kegiatan ekonomi. Ketika warga desa menyaksikan sendiri kemudahan untuk memasarkan produk, saya yakin jiwa entrepreneur warga pun akan bangkit dan berkembang lebih besar. Niat warga untuk membuka usaha di kota bisa dibatalkan atau dialihkan dengan membuka perusahaan desa sendiri. Saya membayangkan betapa denyut nadi kehidupan akan lebih kencang dari sebelumnya.
Apa yang saya bayangkan ini sejalan dengan pendapat para ekonom. Salah satunya menurut Faisal Basri, infrastruktur menopang percepatan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Peningkatan stok infrastruktur merupakan salah satu persyaratan mutlak. Perbaikan infrastruktur juga menjadi faktor sangat penting untuk meningkatkan kualitas pertumbuhan dan memadukan berbagai potensi sumber daya sehingga daya saing perekonomian terus mengalami peningkatan.
Walaupun, sejujurnya, saya pun punya kekhawatiran. Namun, bukan kekhawatiran tak beralasan.
Ini perkara pemerataan pembangunan yang dilematis. Otto Soemarwoto pernah mencatat jika di dalam ekologi ada hukum yang menyatakan, apabila dua ekosistem yang berbeda tingkat perkembangannya berhubungan satu sama lain, terjadilah tukar-menukar materi, energi, dan informasi di antara keduanya. Namun, tukar-menukar materi, energi, dan informasi itu asimetris, yaitu arus dari ekosistem yang lebih berkembang ke ekosistem yang kurang berkembang ternyata lebih kecil dari yang sebaliknya.
Jadi, yang lebih berkembang mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari hubungan itu dibanding dengan ekosistem yang kurang berkembang. Dalam ekologi dikatakan ekosistem yang kurang berkembang dieksploitasi oleh yang lebih berkembang. Tingkat perkembangan ekosistem itu dapat diukur dari tingkat organisasi dan keanekaragaman, dan dalam ekosistem manusia juga dari tingkat pendidikan dan keterampilan.
Dalam hal ini pembangunan jalan tol untuk menghubungkan kota dan desa. Membangun jalan itu sebenarnya membangun dua sarana yang saling bertentangan sekaligus, yaitu sarana pembangunan dan sarana eksploitasi desa oleh kota. Jalan tol memang sarana pembangunan, kita sadari itu tetapi kita tidak menyadari dia itu pun sebagai sarana eksploitasi. Akibatnya, walaupun desa dapat tumbuh, laju pertumbuhan desa lebih pelan dari kota dan kesenjangan antara keduanya semakin besar. Apabila eksploitasi terlalu intensif bahkan dapat terjadi desa malahan mundur dan akhirnya dapat ambruk.
Walaupun desa tidak ambruk, kesenjangan yang terlalu besar akan menimbulkan pula keresahan yang dapat meledak. Ledakan itu dapat menyebabkan keambrukan desa dan kota. Karena itu kesenjangan merupakan unsur penting dalam menentukan kemampuan lingkungan untuk mendukung pembangunan.
Resiko yang dihadapi oleh penduduk lokal pun adalah besar. Antara lain, hilangnya sumber mata pencaharian, ketegangan sosial, dan pencemaran. Misalnya, karena lahan dipakai untuk pabrik buruh tani kehilangan pekerjaannya tetapi mereka tidak menerima ganti rugi. Demikian pula buruh pengangkut hasil pertanian dan pedagang hasil bumi kehilangan sumber pendapatannya tanpa menerima ganti rugi.
Dengan kedatangan orang dari daerah lain yang mempunyai latar belakang kebudayaan yang berbeda kenaikan kepadatan penduduk dan tingkat pendapatan yang berbeda antara pendatang dan penduduk lokal, terjadilah ketegangan sosial. Salah satu gejala fisik tentang adanya ketegangan sosial ialah naiknya tekanan darah di kalangan penduduk lokal. Konsentrasi buruh yang terpisah dari keluarganya sering memerlukan masalah prostitusi dan perjudian, yang selanjutnya meningkatkan kriminalitas.
Karena judul artikel ini dibubuhi dengan kata menyambut, maka saya pikir warga harus memiliki persiapan. Sebagaimana yang sering disampaikan banyak pihak, kedatangan proyek pembangunan sekala besar harus dibarengi dengan pendidikan dan pelatihan penduduk lokal. Bentuknya beragam sesuai dengan potensi pribadi dan potensi daerahnya sendiri. Sehingga, pembangunan jalan tol ini benar-benar menguntungkan bagi daerah yang dilalui. Warga berlaku sebagai pemain bukan sekedar penonton.
Saya sering memikirkan "jalan raya" sebagai sebuah latar dalam cerita. Jalan bisa menjadi penghubung antar adegan, bisa pula sebagai pengarah ke manakah cerita akan berlanjut. Apabila jalan raya yang saya bayangkan hanya akan ada dalam cerita fiksi, maka saat ini saya membayangkan jika jalan tol akan ada dalam kenyataan. Sebagaimana sebuah cerita, jalan tol tersebut mengarahkan warga untuk mencapai sebuah tujuan.
Daripada Pemerintah terus berkoar-koar tentang arah pembangunan. Maka membangun jalan raya sebagai instruksi monumental agar warga sadar ke manakah melangkahkan kaki. Tentu, melangkahkan jiwa pula.
_________________________________
Sumber:
Faisal Basri dan Haris Munandar, Lanskap Ekonomi Indonesia, Kencana, Jakarta: (2009)
Otto Soemarwoto, Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Djambatan, Jakarta: (1983)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar...