Minggu, 13 Juli 2025

Merambah Lahan Digital

Di desa kami, lahan pertanian mulai sempit. Tentu saja bukan tanahnya yang berkurang, kini wajah désa berubah setelah ada pembangunan pemukiman dan pabrik. Bagi mereka yang masih bergantung pada sektor pertanian, maka dianggap sebagai sebuah ancaman

Seberapa serius ancaman itu, saya sendiri belum meneliti. Perlu ada ahli yang menentukan seberapa besar ancaman yang dimaksud. Atau, sebaliknya ini dianggap sebagai sebuah peluang

Sudah diramalkan sejak bertahun-tahun sebelumnya jika wajah désa kami akan berubah menjadi areal industri. Bertani hanya menjadi profesi penopang ketika sektor industri belum bisa dijadikan sumber pendapatan utama. Meskipun euforia industrialisasi itu senantiasa ada, belum tentu menjadi sektor yang tetap kokoh di tengah terpaan dinamika global.   

Sebagaimana diketahui, perubahan haluan pembangunan di desa bisa terjadi lantaran ada kebutuhan yang mendesak. Karena berbagai penyebab, maka industri membawa angin segar bagi mereka yang tidak kebagian lahan pekerjaan. Hanya saja, kelemahan sektor industri adalah tidak senantiasa sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk. Terkadang, pabrik tidak membutuhkan banyak orang sebagaimana lahan pertanian.

Lantas, ke manakah kami harus mencari?

Saya pikir, lahan digital bisa menjadi pilihan. Tidak membutuhkan dana besar untuk membeli lahan yang lebih luas. Tidak perlu pula warga mengurus lahan agar tetap subur.  

Memang bukan perkara mudah jika mengalihkan petani tanah menjadi petani digital. Akan ada banyak kendala jika mengajak warga yang terbiasa memegang benda nyata untuk beralih memegang benda yang tak tersentuh. Saya melihat sendiri betapa kedua bidang ini bisa membingungkan orang-orang yang terkaget-kaget dengan perubahan zaman. Sejujurnya, kami tidak siap menghadapi problematika zaman yang susah diterka.

Kita mulai dari mengetahui cara berpikir para petani. Mungkin ini cara termudah dan paling mendasar, menurut saya pribadi. Apabila kita mengamati, petani terbiasa menanam bibit di lahan, menunggu hingga sampai di masa panen. Pemeliharaan pun seputar menyiangi gulma dan pemupukan secara berkala. Selebihnya, hanya menunggu waktu.

Saya merasa jika pola pikir ini belum hilang, dan tak akan hilang. Masalahnya, ketika masuk ranah digital maka cara berpikir seperti ini tidak cocok diterapkan.

Dalam perspektif petani, lahan merupakan hamparan bukan sesuatu yang tidak kelihatan. Sedangkan benda yang bersifat digital tidak pernah tergambar apalagi terhampar jika pikiran kita tidak ikut serta untuk berimajinasi.

Bercocok tanam di tegal memang berbeda jika dibandingkan dengan bercocok tanam di lahan digital. Apabila sebutir biji padi ditimbun oleh lumpur sawah maka besar kemungkinan dia akan tumbuh dengan sendirinya. Namun, berinvestasi di "tanah" digital membutuhkan pengelolaan dan pemeliharaan yang lebih intensif. Dengan kata lain, warga harus senantiasa berpikir bukan hanya membiarkan konten digital begitu saja sambil berharap akan berbulir dan berbuah. 

Lahan digital merupakan realitas baru. Tidak ada sejak zaman penjajah dulu, tidak bisa pula seorang petani membuka buku sejarah dalam rangka untuk belajar. Dengan kata lain, pengalaman saja tidak cukup ketika seorang warga desa diharuskan menjajaki réalitas virtual. 

Lahan digital bukan hanya tentang mengunggah konten di media sosial. Meskipun itulah salah satunya, masuk ke ranah virtual sebaiknya memiliki sifat mendambakan kebaruan. Hal-hal baru yang tidak mudah tercipta di dunia nyata maka dunia maya bisa menjadi saluran. Dengan kata lain, cara berpikir abstrak lebih dominan dibandingkan dengan berpikir kongkrit.

Sayangnya, kemampuan berpikir abstrak tidak terasah apabila kita senantiasa bersentuhan dengan aspek kongkrit. Manusia yang terbiasa bekerja dengan pola berulang bisa kesulitan diajak berpikir abstrak. Belajar pun tidak cukup dengan mengamati, mencoba kemudian mengulangi hingga mahir. Realitas virtual tampaknya tidak suka pengulangan.   

Mari kita mulai dari hal sederhana. Menulis isi pikiran kita di internet, saya pikir bisa menjadi pintu masuk untuk menjelajah ke dunia maya yang lebih luas. 

Senin, 23 Juni 2025

Urbanisasi yang Didorong oleh Tradisi

 "Aa, ulin atuh ka kota!" saran seorang guru sekolah saya ketika berkunjung ke rumah. 

Saya pun menanggapi anjuran itu hanya dengan sebuah senyuman. Tidak ada untaian kata yang terucap dari mulut. Meskipun tahu jika kalimat dari Bu Guru terucap setelah melihat saya tidak pergi ke kota sebagaimana pemuda desa lainnya. Ungkapan tidak segera ditanggapi karena dalam pikiran ada banyak opsi untuk disampaikan sebagai jawaban. Bingung pula mesti menyampaikan pilihan kata yang mana.

Opsi pertama, saya akan memberikan alasan kenapa masih berada di desa karena tidak tahu jika urbanisasi adalah sebuah tradisi. Saya pikir pergi ke kota hanyalah kebutuhan belaka. Andaikan seorang manusia tidak terdesak untuk pergi ke kota maka melangkahkan kaki meninggalkan désa bukanlah sebuah perkara yang wajib. 

Opsi kedua, saya akan menyampaikan alasan keberadaan di desa karena keadaan keluarga mengharuskan tetap berada di rumah. Artinya, setiap keluarga memiliki situasi yang tidak sama. Bahkan, apabila dua keluarga bertetangga maka kami pun memiliki pilihan berbeda. 

Opsi ketiga, saya punya kegiatan yang bisa dijadikan sumber kehidupan di desa. Bukanlah sesuatu yang besar tetapi harus dilestarikan karena pemberian Yang Maha Kuasa. Apabila dibiarkan begitu saja maka saya bisa dihantui rasa tidak bersyukur atas karunia yang telah diberi. 

Sumber: ChatGPT
Beberapa hari setelah kedatangan Bu Guru, saya kesulitan menyingkirkan hal yang cukup mengganggu pikiran. Sebagaimana kebiasaan, menulis blog menjadi cara untuk merilis isi pikiran. Hal yang mengganggu tersebut adalah bagaimana urbanisasi bisa terbentuk serta perlukah kebiasaan tersebut dipertahankan?

Sebagaimana disampaikan di atas, ternyata tradisi urbanisasi bisa ditelusuri hingga ke dalam pikiran seorang tenaga pengajar di kampung kami. Coba bayangkan, dari mulut seorang guru sekolah terlontar ide yang didengar oleh--katakanlah seratus murid--maka akan ada seratus pemuda/pemudi yang meninggalkan désa ini. Sekaligus, akan ada seratus individu yang "menyesaki" kota besar dimana telah sesak sebelumnya. Nah, itu baru dari desa kami. Bagaimana dengan desa-desa lain di seantero negeri?

Saya pernah mendengar jika tradisi bisa terjaga atau dilestarikan warga sendiri yang berniat melakukannya. Terlebih, jika ada seorang agen giat mengusahakannya. Dalam pembicaraan kita, maka agen yang dimaksud adalah tenaga pendidik di desa. Coba bayangkan, seorang agen yang dianggap memiliki kewenangan dan kelebihan intelektual malah berpikir sebaliknya dengan program negara yang berusaha keras mengendalikan urbanisasi.

Urbanisasi bukan sesuatu yang buruk. Banyak negara yang telah melakukannya kemudian berhasil meningkatkan taraf kehidupan.
 
Hanya saja, urbanisasi di negeri ini bukan lagi cara yang baik untuk menggerakkan roda ekonomi. Efek buruk urbanisasi begitu nyata maka wajar jika Pemerintah pun terus menggaungkan pemerataan pembangunan. Sayangnya, ajakan ini belum menyentuh pikiran Bu Guru yang masih menganggap jika kota sebagai satu-satunya faktor kesuksesan. Sepertinya beliau tidak tahu jika ada banyak contoh urbanisasi yang gagal. Bukannya kesuksesan yang dicapai tetapi malah memperlebar jurang kemiskinan antar warga.


Senin, 16 Juni 2025

Memanfaatkan Benda-benda Sederhana, Kenapa Orang Desa Enggan Melakukannya?


Botol bekas menjadi hiasan (Dokpri.)
Sudah berkali-kali saya menulis kata bermanfaat, memanfaatkan, atau manfaat dalam blog ini. Berkali-kali pula mempertanyakan kenapa orang-orang enggan memanfaatkan hal-hal sederhana di sekitarnya? 

Jawaban dari pertanyaan tersebut bisa beragam. Saya pun hanya bisa mengumpulkan beberapa jawaban walaupun belum begitu memuaskan. Diawali dengan mengamati orang-orang terdekat yang mengelilingi kehidupan sehari-hari. Ditambah, memperhatikan pula media massa yang menyampaikan hal serupa. Ada pula pemberitaan yang menyampaikan kebalikan dari realita yang ditemui tetapi tidak terserap secara indrawi. Sedikit-sedikit, membuka buku dan membaca jurnal yang tersebar di internet.

Melalui semua itu, saya mulai menyimpulkan jika perkara keengganan warga desa memanfaatkan hal sederhana bermula dari pendidikan. Kasihan juga ya, ibu-bapa guru senantiasa dijadikan objek dari akibat segala macam sesuatu yang jelek.

Namun, mau bagaimana lagi. Segalanya berhulu dari sana. Coba bayangkan, anak-anak menjalani hari dari pagi sampai sore ya di sekolah. Di rumah, mereka hanya menghabiskan waktu untuk bermain, dan beristirahat. Jangan berharap ada pelajaran tambahan dari orang tua, mereka pun lelah bekerja serta menyerahkan urusan pendidikan kepada sekolah. Bagi ibu dan bapanya, para sarjana dianggap lebih mumpuni untuk mendidik anak bangsa. 

Tentu saja tidak sepenuhnya tanggungjawab sekolah. Peran orangtua pun sangat berpengaruh. Ibu dan bapak yang mengajak anaknya untuk senantiasa memanfaatkan lahan pekarangan, barang bekas, atau pengetahuan yang dimiliki maka sedikit-banyak akan membekas pada diri anak. Orangtua yang kreatif biasanya menumbuhkan anak yang kreatif pula. 

Apabila orangtua enggan mengajak anak untuk memanfaatkan hal-hal sederhana, ternyata budaya kita memang tidak mendukung demikian. Memang, beberapa desa sudah punya kebiasaan untuk menggerakkan warga. Satu orang melakukan kebiasaan baik maka orang lain pun turut mengikutinya tanpa diminta.

Namun, desa saya berada di pulau Jawa bagian barat dimana industrialisasi bermodal besar sudah berlangsung lama. Masyarakat kami bukan digerakkan oleh inisiatif pribadi melainkan inisiatif para kapitalis. Entah ada hubungannya atau tidak, hal demikian mempengaruhi cara berpikir warga. Andaikan tidak ada yang menggerakkan maka kami pun enggan untuk bergerak. Inisiatif pribadi bukanlah sesuatu yang dikedepankan dalam budaya yang dianut masa kini. Saya tidak tahu jika masa lalu pun begitu.

Saya tidak mau dianggap sebagai orang yang suka menyalahkan pihak lain akan ketidakmampuan diri. Hanya saja, senantiasa ada sebab-akibat yang bisa diikuti oleh nalar umum. Apabila saat ini mata kepala sendiri melihat kenyataan sebagai sebuah akibat, maka mesti ada penjelasan sebagai sebab. 

Dalam hal ini, keengganan orang untuk menggerakkan tangan memanfaatkan hal-hal sederhana di sekitarnya. Apakah ini sebab psikologis, karena budaya, pengaruh media massa, atau tidak ada upaya negara untuk menggerakkannya. Setiap orang akan melihat dari berbagai sudut pandang. Sayangnya, saya hanya warga biasa yang tidak memiliki kewenangan ilmiah untuk menyimpulkan sebuah gejala sosial. Hal yang ada hanyalah menerka-nerka. 

Bagi saya, hal terpenting yang harus dipikirkan sekarang bukan penyebab dari keengganan warga untuk memanfaatkan hal-hal sederhana. Namun, bagaimana menggairahkan mereka untuk mau memanfaatkan hal-hal sederhana menjadi keharusan. 

Apakah perlu ada agen penggerak yang bisa mempengaruhi khalayak. Jika mengharapkan pemerintah, saya malah skeptis. Apabila mengandalkan artis, mungkin bisa berhasil. Sebagaimana kita tahu, orang-orang lebih percaya kepada idolanya dibandingkan kepada pemimpinnya. Tentu saja, agen tersebut mesti memberi contoh yang kongkrit bukan sekedar wacana di social media

Mereka harus bisa mengemukakan alasan jika perubahan besar senantiasa dimulai dari hal sederhana dan mendasar. Berdasarkan pengamatan saya, mengemukakan misi kebangsaan yang luas tidak serta merta dimengerti jikalau tanpa implementasi. Pola komunikasi yang baik akan terjalin jika si agen bisa menjabarkan maksud besar ke dalam tindakan-tindakan kecil. 

Juga yang terpenting, warga harus bisa merasakannya dalam waktu dekat. Tidak semua orang mampu berpikiran panjang hingga jauh ke masa depan. 



Rabu, 04 Juni 2025

Mempertahankan dan Memanfaatkan Bekal Hidup yang Sederhana

 

Dokumen pribadi.
Saya berada dalam persimpangan, apakah meninggalkan domba-domba ini demi mencari yang "lebih besar", atau melestarikan mereka? Bukan keputusan yang mudah diambil. Ada banyak pertimbangan untuk segera mengambil keputusan kemudian bertindak.

Sejak masa kanak-kanak, keluarga kami terbiasa memelihara kawanan domba. Kegunaan hewan berbulu ini sungguhlah besar bagi kehidupan keluarga. Selain kegunaan secara fisik, ternyata domba memiliki pengaruh yang kuat dalam kesehatan mental. 

Sebagaimana yang pernah ditulis sebelumnya, domba-domba ini bisa menghasilkan daging yang nikmat juga menghasilkan pupuk kandang yang menyuburkan tanah. Andaikan tidak ada kotoran hewan, kami bisa kesulitan mencari solusi untuk kembali meningkatkan unsur hara di tanah. Sawah-sawah yang telah digunakan dalam waktu lama mengalami penurunan tingkat kesuburan. Telapak kaki saya pun merasakan betapa keras postur tanah yang sudah jenuh. Hamparan lahan di pedesaan perlu peremajaan.

Ketika domba digiring ke pengembalaan, ada pemandangan yang menyejukkan perasaan. Sesuatu yang akan sulit kami peroleh andaikan terpaksa meninggalkan kampung halaman. Terlebih, perkotaan di negeri kami tidaklah senyaman kota-kota di Eropa sana. Tidak ada jaminan jika akan ada taman luas dan sungai yang berair jernih sebagai penyejuk mata. Berdasarkan berita yang diterima, kota-kota besar malah menyuguhkan masalah mendasar bagi kehidupan ummat manusia.  

Sampai hari ini, tidak ada kriteria yang bisa menentukan apakah domba-domba itu harus ditinggalkan atau dilestarikan. Saya pun kebingungan. Satu-satunya kriteria hanyalah faktor kedekatan. 

Saya terbiasa "menyentuh" sesuatu yang dekat. Langka sekali bersegera untuk mencari yang jauh. Sudah lama tidak melangkahkan kaki hingga ratusan kilometer semata demi mencari harta lebih dari apa yang dimiliki hari ini. Alasannya, simpel saja. Hal-hal yang terdekat pun perlu untuk ditangani, dan tidak pernah ada waktu untuk berhenti walaupun cuma sehari.

Tanpa terasa, waktu telah berlalu begitu lama. Andaikan kami berpikir jika semua ini hanya percuma maka akan kecewa. Tidak ada yang luar biasa sebagai hasilnya. Namun, ada pemikiran sederhana yang mendasari keseharian di sini. Kami harus mensyukuri apa yang dimiliki hari ini.

Bersyukur bukan tentang menengadahkan tangan sambil berkata alhamdulillah. Bersyukur pun berarti membuat domba-domba ini tetap lestari.