Di desa kami, lahan pertanian mulai sempit. Tentu saja bukan tanahnya yang berkurang, kini wajah désa berubah setelah ada pembangunan pemukiman dan pabrik. Bagi mereka yang masih bergantung pada sektor pertanian, maka dianggap sebagai sebuah ancaman.
Seberapa serius ancaman itu, saya sendiri belum meneliti. Perlu ada ahli yang menentukan seberapa besar ancaman yang dimaksud. Atau, sebaliknya ini dianggap sebagai sebuah peluang?
Sudah diramalkan sejak bertahun-tahun sebelumnya jika wajah désa kami akan berubah menjadi areal industri. Bertani hanya menjadi profesi penopang ketika sektor industri belum bisa dijadikan sumber pendapatan utama. Meskipun euforia industrialisasi itu senantiasa ada, belum tentu menjadi sektor yang tetap kokoh di tengah terpaan dinamika global.
Sebagaimana diketahui, perubahan haluan pembangunan di desa bisa terjadi lantaran ada kebutuhan yang mendesak. Karena berbagai penyebab, maka industri membawa angin segar bagi mereka yang tidak kebagian lahan pekerjaan. Hanya saja, kelemahan sektor industri adalah tidak senantiasa sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk. Terkadang, pabrik tidak membutuhkan banyak orang sebagaimana lahan pertanian.
Lantas, ke manakah kami harus mencari?
Saya pikir, lahan digital bisa menjadi pilihan. Tidak membutuhkan dana besar untuk membeli lahan yang lebih luas. Tidak perlu pula warga mengurus lahan agar tetap subur.
Memang bukan perkara mudah jika mengalihkan petani tanah menjadi petani digital. Akan ada banyak kendala jika mengajak warga yang terbiasa memegang benda nyata untuk beralih memegang benda yang tak tersentuh. Saya melihat sendiri betapa kedua bidang ini bisa membingungkan orang-orang yang terkaget-kaget dengan perubahan zaman. Sejujurnya, kami tidak siap menghadapi problematika zaman yang susah diterka.
Kita mulai dari mengetahui cara berpikir para petani. Mungkin ini cara termudah dan paling mendasar, menurut saya pribadi. Apabila kita mengamati, petani terbiasa menanam bibit di lahan, menunggu hingga sampai di masa panen. Pemeliharaan pun seputar menyiangi gulma dan pemupukan secara berkala. Selebihnya, hanya menunggu waktu.
Saya merasa jika pola pikir ini belum hilang, dan tak akan hilang. Masalahnya, ketika masuk ranah digital maka cara berpikir seperti ini tidak cocok diterapkan.
Dalam perspektif petani, lahan merupakan hamparan bukan sesuatu yang tidak kelihatan. Sedangkan benda yang bersifat digital tidak pernah tergambar apalagi terhampar jika pikiran kita tidak ikut serta untuk berimajinasi.
Bercocok tanam di tegal memang berbeda jika dibandingkan dengan bercocok tanam di lahan digital. Apabila sebutir biji padi ditimbun oleh lumpur sawah maka besar kemungkinan dia akan tumbuh dengan sendirinya. Namun, berinvestasi di "tanah" digital membutuhkan pengelolaan dan pemeliharaan yang lebih intensif. Dengan kata lain, warga harus senantiasa berpikir bukan hanya membiarkan konten digital begitu saja sambil berharap akan berbulir dan berbuah.
Lahan digital merupakan realitas baru. Tidak ada sejak zaman penjajah dulu, tidak bisa pula seorang petani membuka buku sejarah dalam rangka untuk belajar. Dengan kata lain, pengalaman saja tidak cukup ketika seorang warga desa diharuskan menjajaki réalitas virtual.
Lahan digital bukan hanya tentang mengunggah konten di media sosial. Meskipun itulah salah satunya, masuk ke ranah virtual sebaiknya memiliki sifat mendambakan kebaruan. Hal-hal baru yang tidak mudah tercipta di dunia nyata maka dunia maya bisa menjadi saluran. Dengan kata lain, cara berpikir abstrak lebih dominan dibandingkan dengan berpikir kongkrit.
Sayangnya, kemampuan berpikir abstrak tidak terasah apabila kita senantiasa bersentuhan dengan aspek kongkrit. Manusia yang terbiasa bekerja dengan pola berulang bisa kesulitan diajak berpikir abstrak. Belajar pun tidak cukup dengan mengamati, mencoba kemudian mengulangi hingga mahir. Realitas virtual tampaknya tidak suka pengulangan.
Mari kita mulai dari hal sederhana. Menulis isi pikiran kita di internet, saya pikir bisa menjadi pintu masuk untuk menjelajah ke dunia maya yang lebih luas.