Manusia désa senantiasa terhubung dengan manusia désa lainnya. Sayangnya, kita sering lupa untuk terhubung dengan ruang.
Ada banyak alasan kenapa hal demikian terjadi. Bisa jadi, sikap guyub bukan hadir karena alasan kemanusiaan. Sikap guyub warga sekedar keinginan untuk diperhatikan oleh manusia lain. Manusia désa semata menjadi kumpulan warga-warga yang berdomisili dalam satu kawasan. Padahal, keterhubungan kita terjadi karena adanya ikatan batiniah sesama makhluk Tuhan.
Saya curiga, jika sesungguhnya manusia désa pun individualis. Kita menjalin hubungan semata karena ada kepentingan. Andaikan tetangga dan saudara tidak bisa memberikan timbal balik, mungkin saja sikap guyub itu pun sirna. Kita merasa dekat bersama orang-orang yang memberikan kita kenyamanan. Apabila orang-orang terdekat kita tidak memberikan kenyamanan, masih maukah kita hidup berdampingan?
Nah, fokus perhatian seseorang kepada orang lainnya inilah yang mengesampingkan perhatian kepada ruang.
Contoh klasik, perkara membuang sampah sembarangan. Hal demikian timbul karena warga tidak peduli dengan ruang sekitar. Tidak ada perasaan terhubung dengan benda-benda tak bernyawa yang tidak bisa memberikan "timbal-balik" nan nyata. Batu, tanah, dan pohon jelas berbeda dengan manusia karena mereka tidak bisa memuji kita tatkala meraih prestasi. Benda-benda itu tidak akan memberikan angpao andaikan lebaran tiba. Konsep balas budi benda mati tidak gamblang sebagaimana manusia yang memiliki kesadaran.
Sesaat setelah bangun pagi, tidaklah terpikir jika hari yang akan kita arungi bukan hanya berusaha untuk memenuhi ambisi pribadi. Kamar, rumah, pemukiman, jalan raya, tempat bekerja, hingga selokan yang terlihat oleh bola mata adalah bagian dari hidup. Ada hubungan saling ketergantungan satu sama lain. Sikap tidak peduli, tidak layak ada dalam hati.
Di desa, bukan hanya tempat berkumpulnya warga. Desa pun terdiri dari ruang yang mesti terjaga.
Perlakuan kita terhadap ruang yang melingkupi tidaklah sama dengan perlakuan dengan sesama manusia. Orang-orang menjadi sosok yang seharusnya dihormati. Begitupula ruang, sesuatu yang harus dihormati. Dinding di rumah, memberi kita naungan. Bunga yang mekar memberi kita kesegaran penglihatan. Lantas, kenapa tidak diperlakukan selayaknya memperlakukan orang yang kita sayang?
Bagi saya, ruang menjadi tempat untuk berkontemplasi dan berkreasi.
Pikiran senantiasa terisi oleh informasi penting yang berhubungan dengan ruang. Seekor semut yang berjalan beriringan di ranting pohon, memberi kita sebuah penanda tentang betapa pentingnya keberadaan mereka. Sekawanan burung yang berkicau kala pagi memberitahu warga jika peran mereka sangatlah berharga. Membutuhkan cara khusus untuk menjaga serta melestarikan eksistensinya. Dengan begitu, kita senantiasa disandarkan jika peran manusia di dunia sangatlah menentukan keberlangsungan.
Kenyataannya, pikiran manusia yang mempengaruhi bagaimana ruang terbentuk. Apakah ruangan akan tampak acak-acakan atau rapih, tergantung bagaimana kita memandang ruang sekitar.
Entah kenapa perkara ruang dan kecerdasan ruang (spasial) ini tidak memperoleh perhatian khusus. Anak-anak akan dipuji serta ditinggikan kedudukannya ketika pintar menyelesaikan ujian negara dengan nilai tinggi. Namun, anak-anak tidak pernah diberikan apresiasi ketika pintar menata. Bahkan, kegiatan menata sekedar perkara rumah tangga yang dianggap terlampau biasa. Menata tidak lagi suatu bagian dari budaya yang mesti diberi penghargaan tinggi.
Suatu bangsa yang pandai menata ternyata sekumpulan manusia yang mampu menghargai ruang. Mereka senantiasa menganggap jika keterhubungan dengan ruang menjadi bagian dari budaya yang mesti dijunjung tinggi. Andaikan ruang bukan sesuatu yang penting, bisa dimengerti apabila rumah hingga sebuah kota tampak berantakan serta tidak nyaman untuk dijadikan hunian.
Memperhatikan ruang bukanlah harus mengerti akan dunia dan seisinya. Ada banyak elemen sederhana yang biasa kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Saya selalu terpukau kepada budaya Cina yang senantiasa memperhatikan elemen-elemen kehidupan. Entah abstrak atau kongkrit, semuanya dianggap penting. Bagi manusia yang mengagumkan logika, perhatian akan elemen-elemen tersebut hanya dianggap mitos kuno. Namun, kenyataannya pemikiran sederhana manusia berbudaya mampu membuat kemajuan sekaligus kelestarian.
Ketika budaya lama mulai ditinggalkan, tidak usah heran sering terjadi kekecewaan. Ternyata, sesuatu yang baru tidak selalu layak ditiru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar...