Minggu, 26 Oktober 2025

Obrolan Warga Desa

Foto: Hartono Subagio via www.pexels.com
Sejak masa kanak-kanak, saya senantiasa kebingungan ketika memilih topik obrolan. Bukan karena tidak mengerti apa yang diobrolkan oleh orang-orang di sekitar. Saya hanya heran, kenapa orang-orang sekitar enggan untuk membicarakan perihal perkara di luar keseharian?

Sebuah kejadian yang berulang, apabila ada saudara atau tetangga--kebetulan banyak pula tetangga masih ada ikatan saudara--yang datang ke rumah. Tanpa ditanya tak dinyana, mereka yang tiba langsung membuka obrolan. Topik pembicaraan ringan.

"Eh, tahu nggak sih, si Fulan tuh begini-begitu."

Kami yang sedang menikmati tontonan televisi, lantas tak bisa mengelak untuk memperhatikan pertanyaan. 

Maka terjadilah obrolan keseharian yang sudah bisa ditebak akhirnya. 

Begitulah, banyak orang di sekitar saya enggan untuk membicarakan perihal abstrak. Apabila membicarakan sesuatu yang belum pernah dicerap oleh indera, maka mereka ramai-ramai untuk menolak. 

Kultur kami, seakan membangun dinding yang tebal dengan dunia luar. Kalau Anda membayangkan bénténg berbahan batu di abad pertengahan, tebal kan? Mungkin setebal itu pemisah antara kami dengan dunia luar. Tentu bukan pemisah secara fisik, tetapi pemisah mental. 

Kultur kami yang menutup diri terhadap informasi cukup mengejutkan saya ketika beranjak dewasa. Agak percuma jika teknologi informasi semacam televisi hadir ke tengah-tengah rumah. Toh, embaran yang tergambar di sana tidak dianggap berharga.

Padahal, ketika sekolah dulu, saya senantiasa diajak untuk mengenal bagian lain dari dunia. Oleh guru, kami diharuskan untuk tahu nama-nama negara di berbagai benua. Kami pun diajari sejarah bagaimana negara tersebut bisa terbentuk atau kembali runtuh. Namun, sayangnya tidak semua murid menganggap jika pengetahuan akan dunia luas layak dijadikan bahan obrolan.

Kecuali, khusus empat keponakan saya yang masih usia belia. Mereka begitu tertarik berbicara tentang dunia di luar apa yang terindera. Terkadang membicarakan nama hewan khas Afrika, suku bangsa di Malaysia, atau artis Korea yang mereka suka.

Memperhatikan ini, sepertinya saya menemukan sebuah pola.  

Ada orang-orang yang enggan berbicara tentang hal di luar keseharian. Sebaliknya, ada orang-orang yang tertarik dengan hal di luar keseharian. Setidaknya, dua tipe manusia ini mesti dihadapi dengan cara yang berbeda. Tipe pertama, saya hanya berusaha untuk mendengarkan sembari berusaha agar tidak menyela obrolan. Orang-orang seperti ini hanya butuh untuk didengarkan. Malahan, jika kita beri tanggapan, bisa jadi mereka tersinggung. Tipe kedua, orang-orang yang membutuhkan kawan bicara untuk menerawang ke lain dunia. Mereka memang tertarik dengan dunia luar, penasaran dengan apa yang terjadi di sana, tanggapi obrolan berdasarkan topik yang disampaikan.

Jadi, kalau pagi-pagi buta ada saudara yang ingin bicara banyak untuk sekedar menyampaikan pengalaman, cukup perhatikan. Apabila keponakan tertarik untuk membicarakan tontonan, ajak mereka untuk masuk ke dalam dunia yang tak tersentuh tangan tersebut. Dengan begitu, selalu ada interaksi serta komunikasi di antara kami. 

Ngobrol nggak penting, yang penting ngobrol.