Sabtu, 22 November 2025

Menyambut Jalan Tol Getaci

Jika ingin makmur, maka bangunlah jalan raya.

Ungkapan tersebut adalah pepatah kuno Tiongkok yang populer di kalangan warga desa di wilayah-wilayah pegunungan terpencil. Saya membaca dari Halaman Facebook Xinhua, sebuah berita tentang pembangunan jalan raya telah menjadi prioritas dalam upaya pengentasan kemiskinan di Cina. Pepatah Cina tersebut sepertinya bukan hanya berlaku bagi orang sana. Membangun jalan memang sebuah keharusan. Di mana pun manusia berada maka membangun jalan sebuah keniscayaan, kebutuhan untuk mobilitas, keterbukaan informasi, dan ekspansi. 

Gambar: Antara via Pikiran Rakyat

Ketika mendapati berita tentang pembangunan jalan tol Gedebage-Tasikmalaya-Cilacap saya hanya ingin tahu bagaimana persepsi  warga. Apakah hal yang terpikir dalam benak warga sama dengan apa yang ada dalam pikiran saya tentang betapa pentingnya sebuah pembangunan jalan tol.

Jika orang Cina menganggap pembangunan jalan raya sebagai sebuah cara untuk mencapai kemakmuran maka saya merasa jika banyak warga yang berpikir sebaliknya. Jangan-jangan warga tidak menyambut gembira dengan rencana pembangunan ini. Walaupun begitu kita harus bisa melihat dari sudut pandang orang-orang tersebut. Lumrah saja jika pembangunan selalu menuai pro dan kontra. Atau, banyak pula warga yang menyambut gembira sebagaimana saya pun menganggap baik rencana pembangunan yang telah digadang-gadang sejak lama.

Saya selalu berusaha untuk optimis ketika menyambut sebuah proses pembangunan. Niat baik pemerintahan harus kita apresiasi. Sebuah tujuan baik harus kita dukung. Toh, ini pun untuk kebaikan bersama. Apabila tanpa dukungan, proyék besar seperti ini tidak akan bermanfaat bagi banyak orang.

Sikap optimis ketika menyambut pembangunan jalan tol ada karena membayangkan manfaat besar yang akan timbul. Apabila ada jalan tol, produk dari desa bisa diedarkan dengan mudah. Meskipun warga desa jauh dari pusat pemasaran, kehadiran jalan tol mempermudah barang untuk berpindah tangan. Masalah kesulitan pemasaran, setidaknya bisa teratasi dibandingkan tidak ada jalan tol bahkan tidak ada jalan raya sama sekali.

Saya berpikir jika jalan raya merupakan jalur koneksi untuk setiap daerah. Bayangkan apabila daerah terpencil yang jauh dari kota besar tidak dihubungkan oleh jalan raya yang baik. Andaikan sudah ada jalan, kalau rusak atau sempit bisa menyulitkan aktifitas perdagangan. Ongkos tranportasi yang mahal bisa membuat pengusaha enggan untuk berinvestasi di daerah terpencil tersebut. Padahal, potensi daerah senantiasa ada, sekecil apa pun.

Bayangkan sebuah daerah pedesaan yang semula sepi dari kegiatan ekonomi. Ketika warga desa menyaksikan sendiri kemudahan untuk memasarkan produk, saya yakin jiwa entrepreneur warga pun akan bangkit dan berkembang lebih besar. Niat warga untuk membuka usaha di kota bisa dibatalkan atau dialihkan dengan membuka perusahaan desa sendiri. Saya membayangkan betapa denyut nadi kehidupan akan lebih kencang dari sebelumnya. 

Apa yang saya bayangkan ini sejalan dengan pendapat para ekonom. Salah satunya menurut Faisal Basri, infrastruktur menopang percepatan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Peningkatan stok infrastruktur merupakan salah satu persyaratan mutlak. Perbaikan infrastruktur juga menjadi faktor sangat penting untuk meningkatkan kualitas pertumbuhan dan memadukan berbagai potensi sumber daya sehingga daya saing perekonomian terus mengalami peningkatan. 

Walaupun, sejujurnya, saya pun punya kekhawatiran. Namun, bukan kekhawatiran tak beralasan. 

Ini perkara pemerataan pembangunan yang dilematis. Otto Soemarwoto pernah mencatat jika di dalam ekologi ada hukum yang menyatakan, apabila dua ekosistem yang berbeda tingkat perkembangannya berhubungan satu sama lain, terjadilah tukar-menukar materi, energi, dan informasi di antara keduanya. Namun, tukar-menukar materi, energi, dan informasi itu asimetris, yaitu arus dari ekosistem yang lebih berkembang ke ekosistem yang kurang berkembang ternyata lebih kecil dari yang sebaliknya. 

Jadi, yang lebih berkembang mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari hubungan itu dibanding dengan ekosistem yang kurang berkembang. Dalam ekologi dikatakan ekosistem yang kurang berkembang dieksploitasi oleh yang lebih berkembang. Tingkat perkembangan ekosistem itu dapat diukur dari tingkat organisasi dan keanekaragaman, dan dalam ekosistem manusia juga dari tingkat pendidikan dan keterampilan. 

Dalam hal ini pembangunan jalan tol untuk menghubungkan kota dan desa. Membangun jalan itu sebenarnya membangun dua sarana yang saling bertentangan sekaligus, yaitu sarana pembangunan dan sarana eksploitasi desa oleh kota. Jalan tol memang sarana pembangunan, kita sadari itu tetapi kita tidak menyadari dia itu pun sebagai sarana eksploitasi. Akibatnya, walaupun desa dapat tumbuh, laju pertumbuhan desa lebih pelan dari kota dan kesenjangan antara keduanya semakin besar. Apabila eksploitasi terlalu intensif bahkan dapat terjadi desa malahan mundur dan akhirnya dapat ambruk. 

Walaupun desa tidak ambruk, kesenjangan yang terlalu besar akan menimbulkan pula keresahan yang dapat meledak. Ledakan itu dapat menyebabkan keambrukan desa dan kota. Karena itu kesenjangan merupakan unsur penting dalam menentukan kemampuan lingkungan untuk mendukung pembangunan. 

Resiko yang dihadapi oleh penduduk lokal pun adalah besar. Antara lain, hilangnya sumber mata pencaharian, ketegangan sosial, dan pencemaran. Misalnya, karena lahan dipakai untuk pabrik buruh tani kehilangan pekerjaannya tetapi mereka tidak menerima ganti rugi. Demikian pula buruh pengangkut hasil pertanian dan pedagang hasil bumi kehilangan sumber pendapatannya tanpa menerima ganti rugi. 

Dengan kedatangan orang dari daerah lain yang mempunyai latar belakang kebudayaan yang berbeda kenaikan kepadatan penduduk dan tingkat pendapatan yang berbeda antara pendatang dan penduduk lokal, terjadilah ketegangan sosial. Salah satu gejala fisik tentang adanya ketegangan sosial ialah naiknya tekanan darah di kalangan penduduk lokal. Konsentrasi buruh yang terpisah dari keluarganya sering memerlukan masalah prostitusi dan perjudian, yang selanjutnya meningkatkan kriminalitas. 

Karena judul artikel ini dibubuhi dengan kata menyambut, maka saya pikir warga harus memiliki persiapan. Sebagaimana yang sering disampaikan banyak pihak, kedatangan proyek pembangunan sekala besar harus dibarengi dengan pendidikan dan pelatihan penduduk lokal. Bentuknya beragam sesuai dengan potensi pribadi dan potensi daerahnya sendiri. Sehingga, pembangunan jalan tol ini benar-benar menguntungkan bagi daerah yang dilalui. Warga berlaku sebagai pemain bukan sekedar penonton.  

Saya sering memikirkan "jalan raya" sebagai sebuah latar dalam cerita. Jalan bisa menjadi penghubung antar adegan, bisa pula sebagai pengarah ke manakah cerita akan berlanjut. Apabila jalan raya yang saya bayangkan hanya akan ada dalam cerita fiksi, maka saat ini saya membayangkan jika jalan tol akan ada dalam kenyataan. Sebagaimana sebuah cerita, jalan tol tersebut mengarahkan warga untuk mencapai sebuah tujuan.

Daripada Pemerintah terus berkoar-koar tentang arah pembangunan. Maka membangun jalan raya sebagai instruksi monumental agar warga sadar ke manakah melangkahkan kaki. Tentu, melangkahkan jiwa pula.  

_________________________________

Sumber: 

Faisal Basri dan Haris Munandar, Lanskap Ekonomi Indonesia, Kencana, Jakarta: (2009)

Otto Soemarwoto, Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Djambatan, Jakarta: (1983)






Rabu, 12 November 2025

Terikat dengan Tanah

Saya menonton tayangan tentang bangsa Mongol yang memiliki tradisi menggembala di padang rumput. Keadaan mereka jauh berbeda dengan kami di pulau Jawa. 

Padang rumput yang hijau di musim panas dihiasi oleh kawanan domba berbulu putih dan belang-belang. Kawanan itu hanya diawasi oleh satu atau dua orang saja. Tidak jauh dari tempat si ternak merumput, ada sebuah ger berbahan kulit ternak. Di sampingnya, ada seorang wanita yang sedang memasak. Tampak asap mengepul ke udara membentuk garis putih di sela hijaunya padang rumput dan langit yang biru cerah. 

Saya tidak sedang menceritakan lanskap Mongolia yang indah. Mari kita cermati bagaimana perilaku bangsa nomaden Mongolia yang tidak memiliki kebiasaan mengolah tanah. Sebuah bangsa yang terkenal haus akan petualangan serta pengalaman menjelajahi dunia baru. Menganggap jika menetap bisa satu tempat terasa membosankan. Atau, gairah untuk mencari suasana baru memang lebih besar dibandingkan menikmati apa yang telah ada dalam waktu lama.

Saya pun merasa jika kaum nomaden melihat kehidupan hanya sementara. Tak ada pembangunan untuk menyongsong masa depan. Tak ada hak atas tanah, semua yang terhampar di dunia adalah milik bersama. Tak ada batas wilayah sehingga apa yang mereka lihat di hadapannya adalah sesuatu yang layak untuk dimiliki; bila perlu dengan dirampas.

Saya selalu takjub dengan budaya orang Mongolia. Mereka bisa hidup di tanah yang bersuhu ekstrem. Kala musim dingin tiba mereka kedinginan begitu pula ternak-ternaknya. Mungkin itulah alasan kenapa mereka berpindah-pindah.

Sebuah bangsa nomaden, tidak menetap untuk mengolah lahan. Timbul pertanyaan, "kenapa mereka tidak seperti kami yang menetap di suatu wilayah? Kenapa mereka tidak membajak sawah? Apakah semata alasan musim yang berganti?"

Kami harus mengolah tanah, menanaminya dengan padi, kemudian menunggu waktu panen. Membutuhkan waktu yang lama dari mulai ditanam hingga waktu panen. Sebuah masa menunggu yang membosankan, terkadang. 

Bagi petani menetap, tidak ada pikiran untuk bersikap agresif. Berbeda dengan bangsa peternak nomaden. Sepanjang sejarah, suku-suku bangsa peternak menunjukkan sifat-sifat yang agresif. Hal itu dapat dimengerti, karena mereka secara terus menerus harus menjaga keamanan beratus-ratus binatang ternak terhadap serangan atau pencurian dari kelompok-kelompok tetangga. Kecuali itu, karena mereka perlu makanan lain di samping daging susu, dan keju. Hanya saja, makan lain tersebut seperti gandum dan sayur perlu diperoleh dari suku bangsa lain yang hidup bercocok tanam. Maka tidak ada persoalan kalau mereka dapat tukar menukar atau berdagang tetapi biasanya berusaha mendapatkan makanan itu dengan menguasai dan menjajah bangsa yang hidup dari bercocok tanam.

Tidak semua orang harus menjadi pengembara.

Bagi suku pengembara, tanah bukanlah benda yang harus dijaga. Bagi suku yang suka bermukim maka tanah adalah segalanya. Dari tanah dia dilahirkan kemudian akan kembali ke tanah, suatu hari nanti. Bagi suku pengembara tanah adalah hamparan. Bagi suku yang bermukim tanah adalah modal. Kami bisa saling membunuh karena masalah tanah. Namun, kami bisa merelakan hewan ternak yang mati atau dicuri orang. Tak ada niat untuk balas dendam. 

Berbeda dengan bangsa nomaden benda tak bergerak adalah harta yang lebih utama. Di tengah padang pasir yang tandus unta begitu berguna. Jika ada yang mencuri maka besok lusa akan kembali dicuri. Bila perlu ditambah jumlahnya. 

Saya pun berpikir jika kata ikatan kepada tanah masih ada kaitannya dengan genetik. Masih ada pula kaitannya dengan cara berpikir seseorang. Sedikit filsafat hidup ditambah kebutuhan mendesak yang tidak mungkin terelakkan. Mari kita berpikir sederhana, jika suku pengembara harus terikat dengan tanah maka akan sulit bagi mereka menggiring ternak atau membawa rumah-rumah sementara (tenda atau ger). Sedangkan suku pemukim, rumah pun dibuat permanen tertancap langsung ke dalam tanah dan memang hindari terpaan angin. Lagi pula rumah-rumah dibuat kokoh untuk menyimpan hasil panen. 

Keterikatan dengan tanah adalah bentuk cinta

Rasa memiliki dan identitas: Tempat tinggal sering kali menjadi bagian integral dari identitas seseorang. Merasa terikat dengan tempat tersebut dapat mencerminkan rasa aman, akar, dan koneksi pribadi yang mendalam, yang mirip dengan esensi cinta.

Dalam beberapa budaya, kembali ke tanah kelahiran merupakan bentuk keharusan. Tanah tempat dulu bermain bersama kawan. Tanah tempat dulu menggembala anak kerbau sementara induknya digunakan untuk membajak sawah. Sebuah masa yng indah. 

Hal yang wajar jika timbul kerinduan keada hamparan tanah yang dulu terbiasa untuk ditapaki oleh kaki-kaki kecil. Juga kemarahan ketika tanah leluhur berubah fungsi menjadi kawasan industri pemilik kapital. Sama seperti rasa cinta kepada sesama manusia, keterikatan manusia akan tanah memang lumrah. Bukan sesuatu yang dibuat-buat semata untuk nostalgia. Ikatan batin dengan tanah merupakan bentuk lain dari mekanisme manusia untuk bertahan hidup. 

Andaikan seorang manusia enggan untuk memperhatikan tanah serta keberlanjutannya, sama saja seperti keengganan untuk merawat tubuhnya sendiri. Mengolah, memupuk, menjaga, hingga mewariskan tanah merupakan bagian dari realita budaya. Semuanya tak akan hilang selama manusia memiliki rasa untuk berkasih sayang.

_____________________

Sumber rujukan

John Man, Jenghis Khan (Legenda Sang Penakluk dari Mongolia), Alvabet, Jakarta: (2008)

Kuntjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Aksara Baru, Jakarta: (1986)

Sejarah Nama-nama Temat di Bandung, e-Book daring, diakses 12 Nopember 2025