Padang rumput yang hijau di musim panas dihiasi oleh kawanan domba berbulu putih dan belang-belang. Kawanan itu hanya diawasi oleh satu atau dua orang saja. Tidak jauh dari tempat si ternak merumput, ada sebuah ger berbahan kulit ternak. Di sampingnya, ada seorang wanita yang sedang memasak. Tampak asap mengepul ke udara membentuk garis putih di sela hijaunya padang rumput dan langit yang biru cerah.
Saya tidak sedang menceritakan lanskap Mongolia yang indah. Mari kita cermati bagaimana perilaku bangsa nomaden Mongolia yang tidak memiliki kebiasaan mengolah tanah. Sebuah bangsa yang terkenal haus akan petualangan serta pengalaman menjelajahi dunia baru. Menganggap jika menetap bisa satu tempat terasa membosankan. Atau, gairah untuk mencari suasana baru memang lebih besar dibandingkan menikmati apa yang telah ada dalam waktu lama.
Saya pun merasa jika kaum nomaden melihat kehidupan hanya sementara. Tak ada pembangunan untuk menyongsong masa depan. Tak ada hak atas tanah, semua yang terhampar di dunia adalah milik bersama. Tak ada batas wilayah sehingga apa yang mereka lihat di hadapannya adalah sesuatu yang layak untuk dimiliki; bila perlu dengan dirampas.
Saya selalu takjub dengan budaya orang Mongolia. Mereka bisa hidup di tanah yang bersuhu ekstrem. Kala musim dingin tiba mereka kedinginan begitu pula ternak-ternaknya. Mungkin itulah alasan kenapa mereka berpindah-pindah.Sebuah bangsa nomaden, tidak menetap untuk mengolah lahan. Timbul pertanyaan, "kenapa mereka tidak seperti kami yang menetap di suatu wilayah? Kenapa mereka tidak membajak sawah? Apakah semata alasan musim yang berganti?"
Kami harus mengolah tanah, menanaminya dengan padi, kemudian menunggu waktu panen. Membutuhkan waktu yang lama dari mulai ditanam hingga waktu panen. Sebuah masa menunggu yang membosankan, terkadang.
Bagi petani menetap, tidak ada pikiran untuk bersikap agresif. Berbeda dengan bangsa peternak nomaden. Sepanjang sejarah, suku-suku bangsa peternak menunjukkan sifat-sifat yang agresif. Hal itu dapat dimengerti, karena mereka secara terus menerus harus menjaga keamanan beratus-ratus binatang ternak terhadap serangan atau pencurian dari kelompok-kelompok tetangga. Kecuali itu, karena mereka perlu makanan lain di samping daging susu, dan keju. Hanya saja, makan lain tersebut seperti gandum dan sayur perlu diperoleh dari suku bangsa lain yang hidup bercocok tanam. Maka tidak ada persoalan kalau mereka dapat tukar menukar atau berdagang tetapi biasanya berusaha mendapatkan makanan itu dengan menguasai dan menjajah bangsa yang hidup dari bercocok tanam.
Tidak semua orang harus menjadi pengembara.
Bagi suku pengembara, tanah bukanlah benda yang harus dijaga. Bagi suku yang suka bermukim maka tanah adalah segalanya. Dari tanah dia dilahirkan kemudian akan kembali ke tanah, suatu hari nanti. Bagi suku pengembara tanah adalah hamparan. Bagi suku yang bermukim tanah adalah modal. Kami bisa saling membunuh karena masalah tanah. Namun, kami bisa merelakan hewan ternak yang mati atau dicuri orang. Tak ada niat untuk balas dendam.
Berbeda dengan bangsa nomaden benda tak bergerak adalah harta yang lebih utama. Di tengah padang pasir yang tandus unta begitu berguna. Jika ada yang mencuri maka besok lusa akan kembali dicuri. Bila perlu ditambah jumlahnya.
Saya pun berpikir jika kata ikatan kepada tanah masih ada kaitannya dengan genetik. Masih ada pula kaitannya dengan cara berpikir seseorang. Sedikit filsafat hidup ditambah kebutuhan mendesak yang tidak mungkin terelakkan. Mari kita berpikir sederhana, jika suku pengembara harus terikat dengan tanah maka akan sulit bagi mereka menggiring ternak atau membawa rumah-rumah sementara (tenda atau ger). Sedangkan suku pemukim, rumah pun dibuat permanen tertancap langsung ke dalam tanah dan memang hindari terpaan angin. Lagi pula rumah-rumah dibuat kokoh untuk menyimpan hasil panen.
Keterikatan dengan Tanah adalah Bentuk Cinta
Rasa memiliki dan identitas: Tempat tinggal sering kali menjadi bagian integral dari identitas seseorang. Merasa terikat dengan tempat tersebut dapat mencerminkan rasa aman, akar, dan koneksi pribadi yang mendalam, yang mirip dengan esensi cinta.
Dalam beberapa budaya, kembali ke tanah kelahiran merupakan bentuk keharusan. Tanah tempat dulu bermain bersama kawan. Tanah tempat dulu menggembala anak kerbau sementara induknya digunakan untuk membajak sawah. Sebuah masa yng indah.
Hal yang wajar jika timbul kerinduan keada hamparan tanah yang dulu terbiasa untuk ditapaki oleh kaki-kaki kecil. Juga kemarahan ketika tanah leluhur berubah fungsi menjadi kawasan industri pemilik kapital. Sama seperti rasa cinta kepada sesama manusia, keterikatan manusia akan tanah memang lumrah. Bukan sesuatu yang dibuat-buat semata untuk nostalgia. Ikatan batin dengan tanah merupakan bentuk lain dari mekanisme manusia untuk bertahan hidup.
Andaikan seorang manusia enggan untuk memperhatikan tanah serta keberlanjutannya, sama saja seperti keengganan untuk merawat tubuhnya sendiri. Mengolah, memupuk, menjaga, hingga mewariskan tanah merupakan bagian dari realita budaya. Semuanya tak akan hilang selama manusia memiliki rasa untuk berkasih sayang.
_____________________
Sumber rujukan:
John Man, Jenghis Khan (Legenda Sang Penakluk dari Mongolia), Alvabet, Jakarta: (2008)
Kuntjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Aksara Baru, Jakarta: (1986)
https://repositori.kemendikdasmen.go.id/3220/1/Nama%2520tempat%2520yang%2520berhubungan%2520dengan%2520air%2520tinjauan%2520antropolinguistik.pdf&usg=AOvVaw0EHI_6DXrqBpq33ayE0sRK diakses 12 Nopember 2025


