Kebanyakan orang menyadari suatu hal lagi
mengenai waktu : waktu adalah alat. Terlebih pula, waktu adalah alat yang unik.
Waktu tidak dapat dikumpulkan seperti uang atau ditumpuk seperti bahan-bahan
baku. Kita harus menghabiskannya, apakah kita ingin atau tidak, dan dalam,
jumlah tertentu, yakni 60 detik setiap menit. Waktu tidak dapat dipasang atau
dimatikan seperti lampu atau mesin atau diganti seperti manusia. Waktu yang telah
lewat tidak dapat ditarik kembali.
Namun, kita dapat menentukan cara kita
melewatkan waktu. Seperti halnya dengan alat-alat lain, waktu itu digunakan
secara efektif atau disalahgunakan.
Waktu merupakan alat kritis untuk seorang
pemimpin. Curtis Jones mengemukakan bahwa pengurangan waktu untuk penyelesaian
tugas-tugas seorang pekerja/pengusaha perlu perhatian yang sama banyaknya
seperti yang dilakukan oleh para usahawan untuk membuat keuntungan yang sebesar
mungkin. Para penerbit “Bussiner Week” menyetujui pendapat Jones bahwa alat
yang paling kritis untuk perusahaan adalah waktu _ bukan uang. Lagipula Jones
meramalkan, bahwa organisasi-organisasi akan mulai menugaskan pegawai staf
mereka untuk membantu para manager memanfaatkan waktu mereka sebaik mungkin.
Pada kursus-kursus manajemen, mengapa
manajemen waktu telah diabaikan? Dari semua alat-alat, tampaknya waktu paling
sedikit dimengerti dan paling banyak disalahgunakan.
Satu sebab untuk kelalaian ini mungkin
adalah kegagalan kita untuk menyadari bahwa “manajemen waktu” sesungguhnya
istilah yang salah. Dalam arti yang sesungguhnya, kita tidak mengelola waktu,
waktu berjalan terus di luar pengawasan kita, tanpa dapat dihentikan.
Masalahnya bukanlah mengelola lonceng, tetapi mengelola diri sendiri sehubungan
dengan waktu. Setelah kami menyadari – azas ini, kami mudah mengerti mengapa manajemen
waktu menghadapkan kita secara langsung dengan sederetan masalah-masalah yang
mengejutkan.[1]
Perspektif Masa Depan Dalam Suatu Budaya
Sebagaimana konsep perspektif masa lalu
tampak berbedadari budaya yang satu ke budaya yang lain, begitu pula citra masa
depan. Masa depan bersifat konseptual dan prosesual--juga masa kini dan masa
lalu.
Studi mendalam untuk mengetahui bagaimana
budaya-budaya berbeda dalam orientasi futuristik dan temporalnya baru dimulai.
Futurisme adalah suatu gerakan yang bersifat multidisipliner dan dengan cepat berkembang menjadi upaya intansif dan
terus-menerus serta sangat penting dalam banyak disiplin ilmu. Telaah masa
depan harus menggunakan sejumlah besar energi ilmiah, baik pada waktu dekat ini
atau jauh nanti. Pada satu saat gerakan baru ini akan dipandang sebagai titik
balik dalam sejarah perkembangan pikiran umat manusia. Jalan-jalan baru menuju
cara berpikir ke depan yang belum diteliti akan berkembang. Tetapi cara-cara
baru “berpikir ke depan” akan menghasilkan jarak yang lebih besar antara budaya
yang secara cepat mengembangkan visi masa depannya (progresivisme) dengan
budaya dimana citra masa depan baru berubah dari visi tradisional.
Ada beberapa budaya yang tampaknya
memiliki keajegan citra yang kaku dalam citra masa depannya. Tingkat kejegan
citra masa depan berbeda-beda di antara kelompok-kelompok budaya. Contohnya
banyak. Bagi kelompok budaya tertentu, pandangan masa depan itu ditakuti dan
disembunyikan dari alam pikiran. Bagi
budaya lain lagi, berpikir tentang masa depan dianggap sebagai: kegiatan
mubazir, kemalasan, sejenis mimpi yang tidak perlu, aktifitas romantik yang
tolol, atau sejenis kegiatan yang dilakukan oleh orang aneh atau orang jahat.
Dalam lingkungan waktu seperti itu akan
berkembang citra masa depan yang stabil dan kaku. Bila ini terjadi, citra
futuristik yang kaku tampaknya akan menafikan pandangan masa depan yang lain.
Misalnya, citra yang jelas tentang “kehidupan seseorang pada hari nanti” (yang
diyakini banyak kelompok budaya) dapat mencegah berkembangnya citra alternatif
masa depan. Keajegan citra masa depan suatu kelompok budaya mungkin dapat
mencegah atau menghalangi anggota kelompok budaya tersebut untuk memikirkan hal
yang ada kaitannya dengan perencanaan atau berbagi cara berharap.
Betul kita tahu bahwa dalam
satu kelompok budaya terdapat perbedaan individual dalam citra masa depannya
tetapi individu-individu itu cenderung mengembangkan citra masa depan yang sama
dengan anggota lainnya dalam kelompok budayanya. Individu dalam budaya
tampaknya meragamkan citra masa depannya ketika menjadi tua, sesuai dengan
ketakutan akan kematian dan akan sesuatu yang tak teramalkan atau tak diketahui,
dan sesuai dengan kemampuan khas mereka
untuk berpikir dengan model-model futuristik.
Tidak ada alasan mengapa kita tidak boleh
menganggap bahwa setiap kelompok budaya mempunyai citra masa depan yang
tertentu, yang boleh jadi sama atau berbeda dengan citra masa depan yang
dimiliki oleh anggota kelompok budaya yang lain. Pendeknya, konsepsi waktu dan
perspektif budaya yang berbeda adalah perbedaan utama diantara
kelompok-kelompok budaya dan perlu diperhatikan
oleh orang-orang yang meneliti komunikasi antarbudaya.
Kemampuan mengantisipasi akibat dan
menangguhkan pemuasan kebutuhan merupakan kegiatan yang diperkokoh secara
kultural dan melibatkan perspektif futuristik. Penangguhan
pemuatan dan antisipasi akibat sangat berkaitan dengan kekayaan, kondisi ekonomi, dan kehidupan
suatu kelompok budaya. Tetapi kelompok-kelompok budaya mempunyai cara-caranya
sendiri yang tradisional dalam mengantisipasi akibat maupun menangguhkan
gratifikasi. Cara yang khas ini dapat berintraksi dengan perubahan kondisi
ekonomis dan sosial dan perubahan pacu kehidupan dengan bermacam-macam cara.
Dalam sebagian kelompok budaya, arah yang
jelas dan tindakan masa depan dilakukan dengan menetapkan dan menggunakan
berbagai macam jadwal kegiatan, dengan mengikuti langkah-langkah yang
ditetapkan adat dan kebiasaan, atau dengan dengan cara-cara menciptakan suasana
peluang. Kadang-kadang, benturan perspektif budaya dapat dikontraskan secara
tajam.[2]
Contoh: Dua Budaya Memaknai Waktu
Waktu
dan ketepatan waktu lebih penting di Belanda. Meskipun demikian seorang Belanda
di Indonesia dianjurkan untuk menepati waktu seperti ketika ia berada di
negerinya sendiri. Di Indonesia, derajat ketepatan waktu yang diharapkan
bergantung pada hubungan sosial; orang lebih tepat waktu terhadap seorang
atasan (namun, aturan ini terdapat pula di Belanda). Orang-orang Indonesia
cenderung menganggap waktu sebagai berputar (cyclical) ketimbang sebagai
suatu proses lurus (linier); oleh karenaitu, mereka kurang bersifat
terburu-buru. Disamping itu, orang Indonesia merasa bergantung pada
kekuatan-kekuatan mistis dalam kasus-kasus yang bagi orang-orang Belanda
dianggap suatu kebetulan. Ramalan-ramalan mistis penting di Indonesia:
keputusan-keputusan penting harus diambil pada hari-hari baik. Pada beberapa
hari tertentu bisnis tak mugkin dilakukan atau perjanjian-perjanjian tiba-tiba
dibatalkan bila harinya dianggap tidak menguntungkan.[3]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar...