Menghadapi era globalisasi seperti sekarang ini, warga desa harus
bisa menyesuaikan diri dengan pola-pola kerja warga asing. Ini berguna ketika
investasi asing sudah masuk ke pedesaan, warga desa diharapkan tidak hanya
menjadi ‘penonton’ tetapi juga bisa menjadi ’pemain’.
Perbandingan Antara Penyelenggaraan Organisasi
Kerja Indonesia dan Belanda
Bagi orang Belanda di Indonesia terdapat
pola budaya Indonesia yang berbeda dari pola budayanya sendiri, dan yang harus
diperhitungkan bila berhubungan dengan organisasi-organisasi di Indonesia. Dimensi
individualisme-kolektivisme merupakan satu-satunya dimensi dalam semua budaya
Barat mempertentangkan diri dengan budaya-budaya Asia. Ini mengimplikasikan
bahwa organisasi-organisasi kerja di Negeri-negeri Asia cenderung berfungsi
secara berbeda dari organisasi-organisasi kerja di negeri-negeri Barat dalam
sejumlah aspek.
a.
Hubungan antara
majikan dan pegawai bersifat moral ketimbang bersifat kalkulatif.
b.
Para pegawai
mempunyai kewajiban-kewajiban besar terhadap kaum kerabat mereka.
c.
Dalam kontrak-kontrak
bisnis, hubungan lebih utama daripada tugas.
d.
Ada kebutuhan yang
kuat akan harmoni dan pemeliharaan hubungan.
e.
Pendapat-pendapat
ditetapkan secara kolektif.
Perbedaan-perbedaan dalam penyelenggaraan
antara organisasi-organisasi kerja Indonesia dan organisasi-organisasi kerja
Belanda membatasi penerapan metode-metode manajemen Belanda di Indonesia. Tentu
saja terdapat suatu batas untuk menerapkan metode-metode manajemen dari negeri
asing mana pun, khususnya dari Amerika Serikat dan dari Jepang. Saya tidak
menggunakan istilah metode-metode manajemen “Barat” karena terdapat banyak
perbedaan budaya antara negeri-negeri “Barat” yang berlainan;
perbedaan-perbedaan ini dan implikasi-implikasinya bagi praktik manajemen
sering diremehkan. Meskipun demikian, sejumlah hambatan yang dibahas berikut
ini berlaku untuk metode-metode manajemen Belanda dan Amerika.
Seleksi pegawai harus mempetimbangkan
faktor-faktor etnik dan keluarga.
Imbalan berdasarkan prestasi kerja jarang
terjadi.
Penilaian langsung atas prestasi kerja
adalah sulit.
Pemecatan pegawai secara kultural tidak
diharapkan.
Metode-metode bagi pengembangan manajemen
harus menghindari konfrontasi langsung.
Para perantara mempunyai suatu peranan
yang penting.
Dari waktu ke waktu “gotong-royong” dapat
dilaksanakan.
Model-model manajemen pastisipatif tidak terdapat di
Indonesia.
Orang-orang menginginkan
perbedaan-perbedaan status.
Kesopanan yang formal dan pengendalian
emosi penting sekali.
Ketepatan waktu dan ketelitian teknis
membutuhkan suatu proses belajar yang panjang.
Secara teoritis simpati terhadap kaum
yang lemah jangan diharapkan.
(Sumber: Deddy Mulyana dan Jalaludin Rahmat
(editor), Komunikasi Antar Budaya, Rosda, Bandung: 2010.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar...