Memunculkan kreatifitas ternyata susah.
Saya selalu kagum kepada bangsa yang bisa mengubah alam liar menjadi peradaban yang maju. Mereka datang dari tempat yang jauh ke tempat yang tak tersentuh. Awalnya daerah hutan belantara, bertahun-tahun kemudian berubah menjadi kota. Bagaimana caranya semua itu bisa terjadi?
Menurut Napoleon Hill, semua yang terjadi di dunia ini berawal dari pikiran manusia. Saya pun merasa jika perubahan yang terjadi berawal dari dalam pikiran. Masalahnya, bagaimanakah seharusnya kita berpikir agar peradaban itu bisa terwujud? Bagaimanakah seharusnya kita berpikir agar lanskap yang semula tak tersentuh manusia kini menjadi sumber kehidupan yang bermanfaat?
Apakah ada hubungannya antara sikap inferior warga desa dengan kreatifitas yang tumpul?
Sebelum kreatifitas muncul, seharusnya kita bertanya kepada diri sendiri, "apa tujuan hidup kita di dunia?" Jika pertanyaan demikian terlalu luas untuk sebuah jawaban, maka kita turunkan dengan menjawab pertanyaan, "apa tujuan hidup kita di desa?"
Saya setuju jika ada orang yang bilang apabila tujuan hidup penting.
Tidak selamanya kesempatan datang, kadangkala harus diciptakan. Tidak selalu hidup bisa mengalir begitu saja, mengikuti arus kalau ternyata arus tidak cukup deras untuk membawa kita ke muara. Andaikan saat ini kita sedang berada dalam sebuah perahu, tepat di tengah sungai yang berarus deras maka cukup yakin akan sampai di muara impian. Namun, bagaimana jadinya jika saat ini tak ada arus yang membawa untuk sampai di muara?
Tentu saja harus berpikir bagaimana caranya perahu bisa melaju. Entah menggunakan dayung atau mesin tempel.
Tidak ada alasan untuk menerapkan filsafat fatalisme di tengah abad 21 yang penuh tentangan. Filsafat nerimo atau terima nasib ini meredupkan gairah, menghancurkan ambisi. Selanjutnya, mendatangkan kemalasan untuk berpikir.
Saya merasakan sendiri, jika kemiskinan bisa membuat orang enggan untuk mengubah diri. Seakan strata sosial yang diembannya sebuah kutukan yang tak mau diubah. Masalahnya, bukan sekedar jumlah harta yang tak bertambah tetapi sikap toleransi terhadap kemalasan dan keengganan untuk menata diri. Seakan-seakan orang miskin boleh hidup berantakan, compang-camping, dan hidup tanpa aturan. Orang miskin terlanjur menerima cap jelek sejak masa kolonial.
Tidak perlu penelitian untuk bagaimana cara berpikir orang miskin. Keluarga kami bagian dari sekian juta orang miskin di Indonesia. Entah apa kriteria orang miskin menurut Badan Pusat Statistik, pokoknya keluarga saya dilabeli miskin. Namun, bukan berarti menjadi orang yang enggan untuk berpikir.
Ingat, kemiskinan bukan berarti alasan bagi kemalasan untuk berpikir.
Anak-anak harus disekolahkan, bagaimana keadaan ekonomi keluarganya. Alasan yang bisa diterima jika bersekolah sebagai cara untuk keluar dari jerat kemiskinan. Sayang, hal demikian tidak selalu berhasil. Ada banyak hambatan--selain pendidikan--apabila lingkaran kemiskinan susah terentaskan. Lantas, pada akhirnya diserahkan kepada setiap individu untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.
Kata orang, sekolah bisa mengasah ketajaman berpikir seseorang. Sayang, siswa yang dijejali hafalan malah menumpulkan pikiran. Orang demikian tidak terangsang untuk berpikir. Bagi mereka, belajar adalah suatu proses yang membosankan bukannya menyenangkan. Saya pun mengira jika kebosanan inilah yang membuat kreativitas tidak muncul ke permukaan. Katanya, kegiatan yang berulang dan membosankan bisa membuat orang tidak kreatif. Tidak terangsang untuk melakukan sesuatu yang baru. Begitu pula keadaan yang begitu tenang tanpa rangsangan.
Sekolah telah usai dilaksanakan, kini berdiri menatap tepat di bingkai pintu. Apa yang harus dilakukan? Berdiam diri saja atau melakukan sesuatu, tentu dengan sebuah tujuan.
Jika kamu melihat sekeliling, alam pedesaan gitu meninabobokan. Justru berbanding terbaik dari penjelajah yang tadi saya bicarakan, melihat alam liar seakan sebuah potensi besar yang harus dioptimalkan kebermanfaatannya.
Kalau orang kreatifitas itulah yang melihat sesuatu yang tampak tidak berguna atau setidaknya terlihat biasa saja akan menjadi sesuatu yang luar biasa. Pada fase inilah kreativitas sangat dibutuhkan. Saya pikir tidak bisa kalau alam hanya dibiarkan begitu saja tanpa dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Sekali lagi, seharusnya alam merangsang manusia untuk berpikir. Kalau bukan alam, lantas siapa yang merangsang manusia untuk berpikir?
.png)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar...