Sumber: Google |
Perubahan masih sangat diharapkan oleh
masyarakat dimanapun terlepas dari cepat atau lambatnya perubahan itu. Sebagai
makhluk yang dinamis, manusia senantiasa mendambakan kehidupan yang lebih baik
di masa depan. Hanya saja, perbaikan seperti apa dan bagaimana yang didambakan
masih bersifat bias. Manusia masih meraba-raba layaknya anak kecil belajar
berjalan.
Proses belajar masyarakat itu perlu pembimbing
yakni orang yang akan mengarahkan ke arah mana sebaiknya kita melangkah.
Gambaran masa depan yang masih bias bisa dijelaskan oleh orang-orang yang
memiliki kecakapan lebih dalam banyak hal dibandingkan dengan yang lain.
Merekalah agen-agen pembaharu dalam proses pembangunan. Para agen pembaharu ini
bisa seorang ulama, politisi, media atau
para entreupreuneur.
Jika dahulu pembangunan masyarakat masih
dipimpin oleh para ulama yang membimbing ke arah kehidupan menurut perspektif
ulama itu sendiri. Ternyata, kini para masyarakat lebih suka dipimpin oleh
orang-orang yang bisa memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka. Kepemimpinan dalam
masyarakat desa yang informil sejak dahulu, kini sudah berubah menjadi pola
kepemimpinan formil. Adanya lembaga pemerintahan setingkat desa, peran
lokomotif pembangunan itu sedikit demi sedikit beralih. Hanya saja, itu tidak
terjadi pada semua kondisi dan situasi. Pemerintah desa bisa saja hanya
bersifat administratif belum bisa menjadi pengarah bagi kemajuan kehidupan masa
depan.
Padamulanya, melembagakan pola kepemimpinan
warga dinilai bagus untuk meningkatkan taraf hidup. Tetapi, seiring berjalannya
waktu semuanya mengalami 'kegagalan' karena berbagai sebab. Orang desa
sepertinya sudah memiliki pandangan sendiri tentang bagaimana mengelola
hidupnya sendiri. Keakuan sudah tumbuh dalam diri warga desa karena pengaruh
pendidikan, media massa dan pola meniru warga kota.
Begitupun para politisi yang secara kelembagaan
menjadi pemimpin mereka, hanya berlaku dalam skala yang sangat luas. Dalam
skala kecil, seperti di desa, politisi kurang mempunyai peran dominan. Celakanya,
ulama pun perannya semakin berkurang seiring begitu kompleksnya kepentingan
warga. Tidak hanya kebahagiaan akhirat yang diharapkan manusia, tetapi kepuasan
materi dan kebebasan berkehendak juga menjadi kepentingan yang senantiasa
diperjuangkan (Memudarnya Masyarakat Tradisionil, Daniel Lerner, Gadjah Mada
University, 1978)
Pemimpin sebagai Penemu Solusi yang Dibutuhkan Warga Desa
Sebagaimana ditulis dalam buku Manajemen
Waktu (James T. McCay, Cypress, 1979) disebutkan bahwa di abad ini orang
yang akan menjadi pemimpin adalah sosok yang bisa menemukan solusi bagi
masyarakat di sekitarnya. Siapa pun itu, apakah dia seorang guru, ilmuwan,
politisi bahkan seorang petani. Kenapa? Karena sosok penemu ini memiliki
kepedulian untuk menyelesaikan masalah orang lain. Sosok yang dibutuhkan kini
bukan yang paling pintar atau pendidikannya paling tinggi juga bukan orang
paling kaya. Tetapi, dialah yang kreatif juga senantiasa menginvestasikan
waktunya untuk terus belajar demi bertambahnya pengetahuan dan keterampilannya.
Kreatifitasnya muncul dari bagaimana dia
mencerna realita tidak hanya melulu mengele-elukan teori ilmu pengetahuan.
Misalnya, ketika dahulu para ulama ortodoks senantiasa menganggap bahwa
kepentingan akhirat harus selalu didahulukan sebagaimana dalil Al-Quran.
Tetapi, apakah itu masih berlaku ketika ketidakberdayaan (kemisikinan warga,
kebodohan berpikir) masih menjadi momok menakutkan? Mungkin kepercayaan orang
terhadap teori ini semakin runtuh karena sangat tidak sesuai dengan apa yang
mereka butuhkan. Orang justru semakin percaya pada siapa yang bisa memberikan
solusi materi layaknya para konglomerat yang menyediakan pekerjaan bagi nafkah
keluarganya. Jangan aneh jika orang lebih menurut kepada omongan boss daripada nasehat
ustadz.
Orang yang bisa memperjuangkan kepentingan
materi, kebebasan berkehendak dan kebahagiaan akhirat secara sekaligus memang
jarang ditemukan. Secara sederhana, jarang kita jumpai ulama yang sekaligus
pengusaha (untuk memenuhi kebutuhan materi) dan politisi (untuk menyalurkan
aspirasi). Orang dengan kriteria tersebut mungkin hanya ada pada politisi
berlatangbelakang pengusaha yang soleh.
Industriawan yang Bisa Memimpin seperti Rosululloh dan Para Sahabat
Apabila memperhatikan para agen
pembaharu-pembangunan saat ini maka jarang memiliki kriteria politisi
berlatarbelakang pengusaha yang soleh. Setiap lini seakan 'memisahkan diri'.
Ulama sibuk dengan urusan ibadah ritualnya dan mengurusi akhlaq ummat. Politisi
sibuk dengan berbagai program pemerintah yang harus dijalankan sehingga lupa
menjaga karakter bangsa. Begitupun pengusaha enggan ikut-ikutan urusan
'akhirat'.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa kompleksnya
masalah warga tidak hanya diselesaikan oleh satu cara pandang saja. Tetai,
harus bisa dilihat dari berbagai aspek. Hanya saja 'kebiasaan' kita untuk
memberikan solusi yang terpisah membuat kita menjadi terpisah secara konsep
penyelesaiannya. Misalnya, bagaimana meningatkan tarap hidup petani di desa. Banyak
yang memberikan solusi dari aspek produksi saja dengan memberinay bantuan
peralatan. Tetapi itu saja tidak cukup, petani perlu motifasi secara psikologi
juga perlu wahana untuk belajar bahkan butuh sarana untuk terus mengembangkan
potensi pribadinya. Dengan begitu, perlu banyak orang dengan latar belakang
keahlian untuk turut menyelesaikannya. Celakanya, ulama di desanya _sebagai
pemimpin informil_enggan turun tangan dengan alasan itu adalah urusan
keduniaan.
Padahal, Islam telah menyontohkan bahwa solusi
kesejahteraan adalah tidak memisahkan antara aspek duniawi dan ukhrowi.
Alhasil, secara teknis para petani bisa terbantu, secara psikologis mereka
termotifasi karena mereka menganggap bertani adalah bentuk ibadah kepada Alloh
SWT. Bantuan dana pun bisa terselesaikan karena si kaya membantu si miskin.
Sosok yang bisa menyelesaikan problem sejenis
adalah industriawan. Dia bisa memahami masalah teknis, penyandang/pengelola
dana, memahami manajemen dan juga bisa memotifasi. Pemimpin formil itu bukan
lagi seorang pejabat pemerintahan tetapi bisa seorang direktur dari perusahaan.
Industriawan membela kepentingan ekonomi warga bila itu adalah yang dibutuhkan.
Pola hubungan sosial bisa terbentuk dengan baik tanpa harus banyak 'diceramahi'
karena warga menuruti kehendak positif si pengusaha. Dia dipercaya secara konsep dan praktek bisa
memberikan solusi bagi pembangunan desa di masa depan.
Jika selama ini nyaris tidak ada hubungan
antara lembaga pendidikan dengan lembaga ekonomi maka sekarang justru semkin
erat. Pengusaha menyubsidi kepentingan pendidikan dan menyediakan lapangan
pekerjaan bagi lulusannya. Pengusaha bisa membangun sarana olahraga untuk
rekreasi warga dan pembinaan jasmaninya. Pembangunan mesjid dan madrasah untuk
dakwah bisa berjalan karena pengusaha menyokong dalam bentuk materil ataupun
imateril.
Dakwah seperti inilah yang seharusnya
dilakukan. Semua aspek kehidupan tersentuh oleh konsep Islam. Pengaruh kepemimpinan
secara otomatis ada dalam masyarakat tanpa ada kesan dipaksakan. Kesan bahwa
idnsutrialisasi memberikan pengaruh negatif bagi kehidupan sosial tidaklah
tebukti. Justru, industrialisasi menjadi lokomotif bagi pembangunan selanjutnya
pada berbagai lini kehidupan. Industialisasi bukan membunuh karakter malahan
membangun karakter bangsa sejak dari desa hingga kota. Industrialisasi bukan
merusak alam malahan memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya demi kepentingan
rakyat. Jika ada yang menganggap industrialisasi itu negtif itu hanya upaya
untuk melemahkan pemikiran kita sehingga kita akan terus kesulitan
menyelesaikan permasalahan kehidupan.
Alhasil, warga akan merasa puas karena
kreatifitasnya terasah, produktifitasnya meningkat. Bahagia karena kebutuhannya
terpenuhi juga tentram karena dapat melaksanakan ibadah dengan khidmat tanpa
harus memikirkan problematika kebutuhan rumah tangga. Kesejahteraan umat akan
terlaksana. Hidup yang diridhoi oleh Alloh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar...