Resensi Buku Memudarnya
Masyarakat Tradisional, Daniel Lerner, Gadjah Mada University, 1978.
Sumber : Google |
Golongan transisional ini memang mempunyai
tempat tersendiri dalam lingkup budaya masyarakat modern. Ketika modernisasi
terus berlanjut maka mereka berusaha menempatkan diri pada situasi yang 'menengah'.
Golongan ini memandang bahwa dunia semakin meluas dalam artian selalu ada
harapan diluar lingkungan terdekatnya. Meskipun golongan ini belum bisa
mencapai gaya kosmopolitan sebagaimana kaum modern. Mereka berada pada situasi
'mengambang' menunggu perkembangan selanjutnya namun tidak ekspansif dengan
giat membuat perubahan.
Mungkin kebanyakan dari kita adalah golongan
transisional. Menurut Lord Maculay, dalam kebudayaan modern seperti saat ini
berlaku 'kebudayaan akal' dimana imajinasi kesuksesan ditentukan oleh semakin
cerdasnya seseorang atau semakin efisiennnya seseorang menggunakan kemampuannya.
Berbeda dengan dulu yang masih berlaku 'kebudayaan keberanian' dimana
kesuksesan diukur dengan kesetiaan seseorang pada tradisinya juga keberanian
dalam menghadapi tantangan berbahaya (halaman 132). Mungkin, kita masih menganggap bahwa kesuksesan
dapat diukur secara perhitungan materil tetapi kitapun masih enggan
meninggalkan kesetiaan akan tradisi. Memang begitulah ciri golongan
transisional, terkatung-katung antara sikap tradisional tetapi belum memiliki
sikap modern.
Golongan transisional menganggap dunia ini
berkembang dan meluas. Ada keinginan untuk mengikuti perkembangan zaman hanya
saja belum punya kemampuan untuk menyamai masyarakat modern yang bersikap
kosmopolitan. Latar belakang mereka yang lahir di kota kecil atau pedesaan
belum bisa terhapus karena pengaruh lingkungan di masa pertumbuhannya. Ketika
terjadi kegamangan dalam jiwanya _antara mengikuti sikap modern tetapi tidak
melanggar kesetiaan pada tradisi_ maka kebanyakan dari mereka meninggalkan
tanah kelahirannya. Golongan transisional biasanya berurbanisasi untuk memenuhi
keinginannya.
Dalam memenuhi keinginannya, tidak hanya
raganya saja yang berpindah tetapi juga jiwanya. Cara berpikir yang kurang
terbuka dengan perlahan diubah menjadi lebih bisa mellihat berbagai
kemungkinan. Hanya saja, golongan tradisonal secara tegas belum punya
keberanian untuk mengatasi kesulitannya. Kebanyakan dari mereka 'sekedar
coba-coba' dan 'ikut-ikutan' dalam banyak hal. Dalam menentukan pilihan, mereka
masih mengekor pada apa yang sudah ada. Jika melihat seseorang sukses dalam
satu bidang profesi maka ada keinginan untuk menirunya.
Golongan ini belum bisa membedakan antara
keharusan menjalani profesi itu atau keinginan/hasrat yang timbul dari lubuk
hati yang terdalam. Harapan-harapan yang mereka idamkan tidaklah sejelas
golongan modern. Jika orang modern sudah bisa 'merekayasa masa depan' maka
golongan transisional ini masih meraba-raba dalam kegelapan. Tapi itu lebih
baik dibandingkan orang tradisional yang hanya diam saja dalam kegelapan. Tanpa
memiliki keinginan untuk bergerak maju ke depan.
Karena sifatnya yang masih meraba-raba, maka
konsep kebahagiaan yang mereka miliki masih bias. Kadang mereka tidak puas
dengan apa yang terjadi, tetapi bingung harus berbuat apa. Mereka sering tidak
puas dengan profesi yang sedang dijalani.
Ukuran kebahagiaan adalah seberapa banyak penghasilan yang mereka dapat. Untuk
itu, mobilisasi jiwa dan raga menjadi cara yang banyak ditempuh dengan harapan
akan mendapatkan penghasilan yang lebih dari biasanya. Walaupun caranya belum
tahu secara tegas harus bagaimana. Ilmu pengetahuan yang dimiliki belum cukup
untuk meretas jalan kemasa depan.
Celakanya, ketidakpuasan ini malahan membuat
mereka sedikti melupakan konsep kabahagiaan yang sudah diterimanya dari orang
tua ketika masih kanak-kanak. Imajinasi bahwa kebagiaan itulah dengan masuknya
manusia ke dalam sorga, lambat laun memudar. Bagi mereka, perasaan tidak puas
selalu berisfat meteri bukan kepuasan rohani. Sekularisasi merajarela tanpa
bisa dikendalikan. Para alim ulama tidak bisa mengontrol karena mereka pun
tidak bisa membari contoh dan solusi atas kemalangan yang dihadapi.
Jika para ulama tradisional selalu memberikan
ceramah tentang tindakan ritual rohani untuk mendapatkan kebahagiaan, maka kaum
transisional justru cenderung berorientasi tindakan ekonomi. Baginya, agama
hanyalah sebagai 'pengisi waktu luang', bukan sebagai sarana untuk mencapai
kebahagiaan dunia. Golongan transisionil cenderung rasional, artinya kepuasan
akal menjadi ukuran. Konsep-konsep irasional masih mereka pegang, hanya saja tidak ekstrem. Mereka
lebih suka mengikuti konsep yang praktis dari semua lini dan bisa dilihat
dengan mata telanjang. Konsep-konsep yang datang dari Kitab Suci _walaupun
mengenai urusan dunia_ kurang dipercayai.
Solusi untuk Mengakomodasi Golongan Transisional
Islam sudah mewanti-wanti hal ini akan terjadi.
Untuk itu, solusi yang diberikan tidak bersifat parsial. Tidak memisahkan
antara pencapaian materi duniawi dengan pencapaian kepuasan rohani. Konsep
kebahagiaan begitu jelas/tegas yakni tercapai kesejahteraan di dunia dan di
akhirat. Sosok yang bisa mengakomodir mereka adalah sosok yang memiliki/mengorganisir
dana, kemampuan manajemen yang baik, membela kepentingan ekonomi dan memiliki pemahaman
agama yang baik. Walaupun sosok seperti itu jarang ditemukan. (selanjutnya
baca Industriawan Lokomotif Pembangunan di www. ayomembangundesa.blogspot.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar...