Sumber: Google |
Saya mulai memahami mengapa orang desa terlihat
mengalami kesulitan membangun masa depannya. Warga desa begitu tergantung pada
apa yang mereka terima dari 'dunia luar'. Peran pemerintah begitu dominan
sehingga kemandirian ekonomi tidak tumbuh. Mending jika pemerintah giat
melakukan pembangunan, tetapi keadaan menjadi sebaliknya apabila pemerintah
enggan membangun desa sebagai hulu bagi kemandirian ekonomi nasional.
Ternyata, sebelum aspek fisik dibangun secara
berkala harus ada 'pembangunan' pemikiran terlebih dahulu. Pemikiran orang desa
yang masih dalam masa transisi bahkan masih tradisional menganggap masa depan
adalah suatu yang ganjil. Begitu tabu ketika orang bercerita tentang bagaimana
masa depan akan diciptakan. Baginya semua yang terjadi di masa depan adalah
kehendak Tuhan yang tidak bisa diramalkan. Bagi mereka yang berpikir seperti itu,
tidak ada kesempatan yang bisa dibuat karena kesempatan itu datang dengan
sendirinya. Walaupun tidak tahu kapan kesempatan itu akan datang.
Kesempatan baru hanya ada di perkotaan,
begitulah yang dipikirkan orang desa. Urbanisasi menjadi pilihan untuk mencari
kesempatan baru yang dimaksud. Bagi yang tetap tinggal di desa, masih memandang
sempit akan terbukanya kesempatan baru. Mekanisme perdagangan global belum
menjadi acuan bahwa kesempatan selalu terbuka lebar karena orang yang jauh
disana 'dianggap tidak membutuhkan apa yang kita punya'. Orang yang jauh di
sana dianggap tidak punya kepentingan dengan apa yang kita diperbuat sehingga
tidak terpikirkan untuk melayani kebutuhan orang yang jauh dari pelupuk mata.
Bayangan akan kekayaan yang dimiliki ternyata
begitu berpengaruh pada bagaimana warga membayangkan masa depan desanya. Ukuran
infrastruktur yang ingin dibangun sulit didefinisikan karena sulitnya menaksir
betapa besarnya biaya yang akan dikeluarkan. Bagi warga desa, membangun
infrastruktur yang mahal hanyalah urusan pemerintah. Jarang terlintas dalam pikiran untuk membangun
irigasi di desa jika ternyata biaya untuk membangunnya pun sangat tinggi.
Sehingga tidak aneh sudah berpuluh tahun banyak desa yang tidak memiliki
irigasi. Alhasil, pertanian pun mengalami penurunan produksi secara signifikan
dari musim ke musim.
Perasaan tidak berdaya begitu menghinggapi
masyarakat tradisional seperti ini. Untuk sekedar berpikir tinggi pun
sepertinya hal yang tabu. Mempunyai cita-cita tinggi hanyalah pantas bagi orang
yang bependidikan tinggi. Tingkat pendidikan yang rendah malahan membuat warga
enggan menggunakan kecerdasan pikiran untuk menciptakan hal besar. Padahal tingkat
kecerdasan manusia tidak berbanding lurus dengan tingkat pendidikan formal yang
dialaminya.
Bagi warga desa, bekerja dengan menggunakan
kecerdasan pikiran hanyalah berlaku bagi orang kota setidaknya pegawai
pemerintahan atau guru di sekolah. Keengganan untuk berpikir lebih maju mungkin
sangat terpengaruhi oleh rangkaian kemudahan hidup yang mereka miliki. Mereka
sudah merasa cukup dengan apa yang dimiliki. Karunia alam sudah menjadi sumber
kehidupan dan tidak perlu untuk menambahnya lagi. Jika ingin menambahnya, maka
tempatnya hanyalah ada di kota. Dan, berbondong-bondonglah orang desa ke kota
dengan harapan bisa bertambah kekayaannya. Bukan dengan membuka usaha di desa
dengan memanfaatkan potensi yang mereka miliki.
Pikiran begitu mengakibatkan rendahnya
inisiatif untuk mengembangkan segi kehidupan yang telah lama ada. Inisiatif
bukanlah tidak ada dalam pikiran, tetapi semacam ada kekhawatiran untuk gagal.
Dalam waktu lama, tidak adanya kemauan seperti ini mengubur segala ide yang
terlontar. Bagi masyarakat tradisional menjalankan ide baru hanya akan
mengundang 'masalah' baru. Resiko ketidakpastian senantiasa menghantui kemudian menghilangkan harapan baik yang
selama ini diinginkan.
Harapan yang hilang ini meredam imajinasi
karena baginya imajinasi sama dengan mengkhayalkan sesuatu yang tidak mungkin.
Berimajinasi seakan sesuatu yang 'haram'. Warga lebih suka melibatkan diri pada
jalur profesi yang pernah ada bahkan sangat menghormati profesi formal.
Makanya, melakukan hal yang berawal dari imajinasi adalah hal cenderung untuk
dihindari.
Mencari tahu apa yang sedang terjadi di 'luar
sana' pun tidak menjadi kebiasaan. Wajar jika imajinasi pun terbatas. Baginya
waktu begitu lambat dan tempat begitu sempit. Waktu seakan terlambat karena jarang
terjadi perubahan dari hari ke hari. Tempat terasa begitu sempit karena sulit
membayangkan akan terjadi perubahan pada tempat tinggalnya di kemudian hari.
Secara psikologi, anggapan seperti ini tidak mendorong manusia untuk mengubah
kondisi. Sulit membayangkan adanya hubungan antara yang terjadi di tempat nun
jauh disana dengan kondisi sekitarnya kini dan nanti.
Ketertarikan warga akan apa yang sedang terjadi
di belahan dunia lain menjadikan lemahnya fungsi sarana informasi dan
komunikasi. Padahal, dengan semakin canggihnya sarana sumber pengetahuan
tersebut bisa membuka wacana berpikir kita. Sebagaimana diketahui, semakin
banyak informasi yang diterima maka bisa merangsang imajinasi masa depan desa
kita. Tak apa kita berpikir besar _dan seharusnya begitu_ tetapi kita pun bisa
memulainya dengan hal-hal kecil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar...