Manusia
menjadi makhluk yang memiliki naluri untuk mempertahankan dirinya di dunia.
Sebagai makhluk yang memiliki akal, manusia senantiasa terus menggunakan alam
pikirannya untuk menjadikan hidupnya lebih baik. Keinginan manusia untuk hidup lebih baik ini
dimanifestasikan dalam bentuk upaya manusia untuk mempermudah segala
aktifitasnya.
Upaya manusia
untuk mempermudah kehidupannya bisa berupa mekanisasi dalam berbagai hal.
Banyak hal yang kita lakukan dengan bantuan peralatan sederhana hingga
peralatan canggih dengan segala mekanismenya yang rumit. Tahukah kita bahwa
peralatan yang telah dibuat adalah bagian dari budaya suatu masyarakat sejak
manusia ada di muka bumi.
Lalu, ada
banyak orang _mungkin termasuk kita_ justru tidak memiliki kebiasaan untuk
mempermudah aktifitas kita dengan bantuan peralatan. Banyak para petani yang
masih menggunakan alat sederhana untuk mengolah lahannya, pedagang yang tidak
menggunakan kotak pendingin untuk mengawetkan sayuran atau bahkan pemulung
sampah yang mengais-ngais sampah hanya dengan tangan. Jika disebutkan memang
masih banyak contoh profesi yang masih bertahan dengan cara-cara lama tanpa ada
upaya untuk mempermudah pekerjaannya sehingga mendapatkan hasil yang maksimal.
Budaya
mekanisasi sepertinya masih belum mengakar dalam benak masyarakat kita. Berbeda
ketika memperhatikan masyarakat Eropa, Amerika atau masyarakat Asia Timur,
disana mekanisasi aktifitas sudah menjadi bagian dari budaya mereka. Lalu
kenapa masyarakat Indonesia pada umumnya tidak menjadikan mekanisasi
aktifitasnya sebagai bagian dari budaya kesehariannya? Justru masyarakat kita
cenderung menyempitkan arti budaya hanya pada karya seni semata tanpa
memahaminya dalam arti luas.
Ketika Budaya Mekanisasi Menjadi
Penting
Budaya
merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia. Imajinasi kita tentang masa
depan sepertinya berpengaruh pada pola pikir kita. Ketika kita 'malas'
berimajinasi untuk menata masa depan yang lebih baik maka tidak aneh jika
'mempermudah aktifitas dengan peralatan' tidak menjadi fokus pikiran kita.
Orientasi hidup manusia _dengan aktifitasnya_ yang cenderung hanya untuk jangka
pendek dan menengah secara sadar membuat kita tidak mau menjadikan masa depan
yang lebih baik. Misalnya, jarang kita menemukan petani di pedesaan yang
menemukan alat pertanian yang bisa membantu mempermudah pekerjaannya. Mereka
cenderung 'merasa cukup' dengan apa yang ada dan 'enggan' meningkatkan hasil
panennya dengan berbagai eksperimen dan inovasi.
Kedua,
mungkin saja potensi berpikir masyarakat sudah 'terbunuh'. Padahal sudah
menjadi fitrah manusia untuk selalu ingin tahu akan apa yang telah dan akan
terjadi dalam kehidupannya. Seorang ilmuwan antropologi dari Amerika, Francais
K.L. Hsu pernah menganalisis kenapa budaya Timur dan Barat begitu berbeda dalam
hal kemajuan berpikir mereka. Masyarakat Timur cenderung nyaman dengan apa yang
ada sedangkan masyarakat Barat senantiasa gigih untuk mencari kemajuan diri
karena mereka belum bisa menemukan ketenangan dan ketraman jiwa jika
keinginannya belum tercapai. Masyarakat Barat cenderung mengaktualisasikan
kegundahannya dengan mencari tahu segala hal di luar dirinya.
Ketiga,
semuanya berakar pada sistem pendidikan kita yang tidak mengajarkan peserta
didiknya untuk berpikir.
Biasakanlah untuk Berpikir Tentang Masa Depan yang Lebih Baik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar...